Kelompok difabel kerap menghadapi stigma negatif. Paling umum, mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak berdaya. Namun, mereka kini dapat membuktikan keberdayaan melalui medium seni. Yayasan Jogja Disability Arts (JDA), adalah kawah candradimuka-nya.
***
Penyandang disabilitas, atau dalam terminologi yang lebih baru disebut difabel, akan selalu menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Sialnya, kalau menukil laporan kumparan.com, dalam kesehariannya, mereka masih kurang mendapatkan akses yang memadai terhadap fasilitas publik.
Kendati demikian, kelompok ini tetap berusaha untuk memberdayakan dirinya melalui seni.
Di Jogja sendiri, ada sebuah yayasan kesenian kelompok difabel. Jogja Disability Arts (JDA) namanya.
Mengutip laman resmi JDA, ia merupakan yayasan yang didukung oleh orang-orang profesional dengan berbagai disiplin ilmu, praktisi, dan pemerhati disabilitas yang mempunyai visi dan misi yang sama, dengan mengupayakan keterpaduan langkah, potensi disabilitas dalam rangka peningkatan kualitas, efektifitas, efisiensi dan relevansi atas kemitraan yang saling menguntungkan dan bermartabat.
Pada Selasa (15/7/2025), Mojok mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Sukri Budi Dharma, atau sering dipanggil Mas Butong, selaku ketua dari JDA.
Berawal dari komunitas, kini menjadi yayasan resmi
Sebelum JDA terbentuk, embrio yayasan tersebut bermula dari komunitas dengan nama Difabel and Friends Community (Diff Com). Diff Com dibentuk pada tahun 2009.
“Komunitas tersebut adalah tempat berkumpul untuk para difabel yang memiliki hobi dalam seni, baik itu seni rupa maupun seni musik,” kisah Mas Butong kepada Mojok.
Kendati komunitas itu telah eksis, dia menilai kalau aktivitas kesenian difabel, seperti pameran seni ataupun pertunjukan musik, masih kurang.
Oleh karena itu, komunitas tersebut pada akhirnya dilegalkan ke dalam sebuah yayasan resmi oleh Mas Butong bersama rekan-rekannya pada tahun 2020. Yayasan itulah yang kini dikenal sebagai JDA.
JDA mengedepankan prinsip keberlanjutan dan kesetaraan
Lebih lanjut, Mas Butong juga menjelaskan, JDA memang dibentuk dengan tujuan utama memajukan seni dan budaya bagi teman-teman difabel. Baik itu di tingkat nasional maupun internasional.
“Kami melihat dulu banyak acara-acara yang hanya memenuhkan hak saja, tetapi potensi teman-teman difabel itu sendiri tidak di support atau didukung,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan beberapa prinsip penting dalam JDA, yaitu keberlanjutan dan kesetaraan. Dalam keberlanjutan, misalnya, Mas Butong menekankan bahwa JDA bukan hanya menjadi tempat para difabel memamerkan karya seni mereka. Melainkan, JDA juga mendampingi proses berseni teman-teman difabel melalui rangkaian kegiatan agar ada pengembangan.

Sedangkan kesetaraan, Mas Butong menegaskan bahwa selama ini orang seringkali keliru dalam mengartikan kata “kesetaraan”. Misalnya, ada anggapan kalau memamerkan karya difabel di ruang umum sudah dianggap setara. Dalam kata lain, memberikan ruang itu sudah dianggap setara.
“Bukan salah, tetapi bukan berarti berhenti di situ. Misalnya, karya seni mereka pun dikurasi yang baik, di ruang presentasi yang baik, dan di display yang baik. Setara dengan siapa? Setara dengan seniman yang non-difabel yang profesional,” tekan Mas Butong.
Seni itu universal dan cair
Mengapa seni? Pertanyaan ini tiba-tiba meluncur di tengah obrolan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Mas Butong menjawab bahwa menurutnya seni itu universal dan cair.
“Cair dalam arti kata nggak ada yang salah. Ibarat bikin lingkaran tidak harus sempurna, karena itu bagian dari proses berseni,” ungkapnya.
Seni sendiri, dalam pandangan dia, harus dilihat bukan hanya produknya, tetapi juga bagaimana ekspresi itu sendiri bisa keluar dalam suatu medium.
Misalnya, ketika stres, seseorang dapat menyanyi untuk healing. Atau ketika pusing, seseorang dapat memuntahkannya dalam sebuah gambar.
“Sebagai contoh, teman-teman tuli-wicara. Mungkin mereka selama ini untuk berdialog sangat minim mediumnya, tetapi mereka bisa mengeluarkan apa yang ingin diceritakan itu melalui medium seni. Hal tersebut dikarenakan seni itu universal dan cair itu tadi,” tegas Mas Butong.
Empat pilar yayasan JDA
Dalam JDA sendiri terdapat empat pilar yayasan. Antara lain edukasi, presentasi, perlindungan hukum, dan penguatan ekonomi. Semua hal tersebut, kata Mas Butong, dilaksanakan dalam rangkaian pemberdayaan kelompok difabel melalui seni.
Sebagai misal, dalam pilar edukasi, di JDA terdapat workshop dan pendampingan teman-teman difabel dalam berkesenian. Menurut Mas Butong, kegiatan tersebut bertujuan untuk membuat karya seni kelompok difabel lebih berkelanjutan.
“Akan tetapi, edukasi tidak hanya terhadap teman-teman difabel sendiri, tetapi juga terhadap generasi muda mengenai memandang keberagaman, sedini mungkin lebih baik,” tuturnya.
Sementara dalam pilar presentasi, Mas Butong menekankan bahwa ini dilakukan dengan prinsip kesetaraan. Adapun, dalam dua pilar terakhir, yakni perlindungan hukum dan pemberdayaan ekonomi, dia mengungkapkan bahwa JDA bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan mengenai profesi teman-teman difabel agar terlindungi secara hukum.
“Mengenai pendapatan yang didapatkan seniman di JDA, beberapa dari mereka kami ikutkan dalam berbagai proyek. Seperti contoh beberapa teman seniman difabel kami ajak untuk ikut membuat mural ke dubes Inggris. Mereka mendapatkan honor dari situ,” jelas beliau mengenai penguatan ekonomi.
Tantangan yang dihadapi JDA
Meskipun demikian, Mas Butong tak memungkiri bahwa masih ada tantangan yang kerap dihadapi oleh teman-teman difabel. Salah satunya adalah stigma negatif dari masyarakat.
“Saya melihat masyarakat ini bukannya tidak menerima teman-teman difabel, tetapi biasanya kekurangan informasi sehingga ada stigma itu tadi,” ungkapnya.
Alhasil, hal ini pun menciptakan semacam lingkaran setan di antara kelompok difabel dan masyarakat secara umum. Teman-teman difabel, kata Mas Butong, memiliki ketakutan tidak diterima oleh masyarakat. Sementara masyarakat pun, juga memiliki kekhawatiran yang sama; takut kalau tindakan mereka dianggap menghina difabel, padahal tak niat begitu.
“Maka dari itulah, diupayakan oleh JDA dalam kegiatan-kegiatan dalam ruang publik, untuk menemukan titik temu tersebut,” kata Mas Butong.
Tantangan lain yang juga dihadapi oleh JDA adalah kepentingan-kepentingan sepihak dari pihak luar. Paling sering, sih, kelompok difabel cuma “dipinjam” untuk kepentingan politik alias pencitraan semata.
“Harapan saya sesederhana potensi-potensi teman-teman difabel ini terakomodir dan juga diapresiasi,” ujar Mas Butong. “Kami juga berharap JDA bisa menjadi suatu wadah yang profesional, yang ketika dikelola dengan metode yang baik, dapat menjadi sesuatu yang akan berkelanjutan terus,” pungkasnya.
Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Ahmad Effendi
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025
BACA JUGA: Hak Prerogatif Tuhan di Ponpes Waria Al Fatah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.