Novandya Tjokrosoeharto (30) memutuskan tak melanjutkan koas atau program profesi dokter gigi setelah kuliah di salah satu kampus swasta di Surabaya. Perempuan asal Malang itu memilih bekerja sebagai peternak maggot di Kota Batu. Selain menghasilkan cuan, ia juga ingin membangkitkan gerakan peduli lingkungan dan sosial di daerahnya.
***
Sudah menjadi rahasia umum jika Kota Batu punya permasalahan sampah tiap tahun. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mencatat produksi sampah Kota Batu telah meningkat pesat terutama dengan berkembangnya sektor pariwisata.
Tahun 2009, Kota Batu dapat menghasilkan 84 ton per hari lalu meningkat menjadi 120-130 ton per hari di tahun 2023. Belum lagi saat akhir pekan atau libur panjang, angkanya bisa mencapai 158 ton per hari.
Tempat pembuangan akhir (TPA) Tlekung yang menjadi salah satu pusat pembuangan di Kota Batu, muatannya makin tak terbendung seiring dengan bertambahnya produksi sampah dari sektor pariwisata dan rumah tangga.
Pada Agustus 2023, TPA tersebut justru ditutup oleh pemerintah setempat. Alhasil, warga lebih memilih membersihkan lahan dan membakar sampah mereka. Kondisi itu memunculkan ide bagi Novandya untuk memelihara maggot ketimbang membakar sampah.
Maggot adalah larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) dikenal sebagai dekomposer. Ia mampu mengurai sampah organik dengan memakan organisme mati dan produk-produk limbah dari organisme lain.
Selain itu, maggot juga baik digunakan untuk pakan ternak seperti ikan dan unggas karena mengandung sumber protein tinggi. Maggot yang mati dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Melihat potensi tersebut, Novandya jadi tergiur untuk membudidayakan maggot sebagai bisnis maupun gerakan sosial. Keputusan itu pun tak mudah dibuat, mengingat ia kuliah di kampus swasta Surabaya Jurusan Kedokteran Gigi dan tak tahu-menahu soal beternak. Semua itu ia lakoni dari nol dengan tekad dan motto hidup yang selama ini ia pegang.
Mulai pelihara maggot di Kota Batu karena lucu
Sebetulnya, menjadi dokter gigi bukanlah keinginan Novandya sejak awal. Tapi orang tuanya keukeuh menginginkan Novandya kuliah di Jurusan Kedokteran Gigi walau harus berada di luar kota seperti Surabaya. Bahkan di kampus swasta yang jauh dari Kota Batu. Karena terlanjur diterima, Novandya akhirnya menjalani masa kuliahnya selama empat tahun.
“Setelah itu, aku nggak mau lanjut koas. Aku akhirnya bilang, ‘tanggungjawabku kan wes tak selesaino to, tapi kan sekarang ini hidupku, keinginanku. Harus tak penuhi’,” ucapnya saat dihubungi Mojok, Rabu (25/6/2025).
Setelah itu, Novandya pindah dari Surabaya ke Kota Batu. Ia nekat membangun bisnisnya sendiri. Mulai dari berjualan online sampai akhirnya direkrut sebagai tim marketing di salah satu perusahaan makanan di Malang. Tak hanya itu, ia juga bertugas memegang media sosial di salah satu agensi.
Tugas itu ia jalani selama empat tahun, sampai akhirnya ia merasa bosan apalagi semasa Covid-19. Di sela-sela gabutnya itu, Novandya tak sengaja menemukan konten di media sosial berisi orang yang memelihara maggot. Entah kenapa, ia merasa hewan berupa ulat itu tampak lucu.
“Sejak kecil aku suka lingkungan dan suka hewan, termasuk maggot,” ucap perempuan asal Malang tersebut.
Mendatangi langsung para peternak di Kota Batu
Di sela-selanya mencari referensi cara memelihara maggot, Novandya justru menemukan ide untuk mengembangkan hobinya menjadi uang. Ia mulai menyumbangkan maggotnya ke gereja-gereja dan peternak unggas di Kota Batu.
Untungnya, jemaat gereja menyambut ramah ide tersebut sebagai gerakan mengurangi sampah. Petugas gereja bahkan bersedia menyediakan sisa lahannya untuk tempat budidaya maggot. Sementara itu, dari peternak, ia jadi tahu kenapa banyak dari mereka yang tak mau menggunakan maggot untuk bahan pakan.
“Jadi pas aku datangi ke peternak-peternak itu, mereka malah mengeluh kalau maggot bikin ikan atau unggas mereka mati,” kata Novandya.
Novandya yang merasa aneh dengan alasan tersebut akhirnya melakukan riset kecil-kecilan. Ia pun jadi sadar kalau peternak di Batu hanya belum tahu cara merawat dan mengelola maggot sebagai pakan.
Banyak dari mereka yang menggunakan maggot berkulit keras untuk pakan. Alhasil, hewan-hewan ternak yang mereka pelihara jadi mati karena sulit mencerna. Novandya akhirnya menawarkan maggotnya secara gratis kepada peternak sebagai uji coba.
Dari sana ia mulai dipercaya bahkan menjadi pembicara di desanya, Kota Batu untuk mengedukasi soal budidaya maggot. Tak sampai di situ, ia juga mendatangi kampus-kampus di sekitar Kota Batu dan Malang untuk sekadar menimba ilmu. Utamanya ke dosen-dosen Peternakan.
Maggot sebagai gerakan sosial dan upaya mengurangi sampah
Lambat laun, ia jadi dikenal dan sering diundang sebagai pembicara di kampus. Tak jarang, para dosen juga menitipkan mahasiswanya untuk magang, melakukan penelitian skripsi, lomba pekan ilmiah, bahkan mahasiswa PKL.
“Aku berharap mahasiswa ini bisa menurunkan ilmunya dari aku ke warga setempat soal budidaya maggot ini,” kata Novandya.
Kini, bisnis maggot Novandya pun semakin pesat. Ia bahkan mengembangkan ternak bebek di Kota Batu. Jika ditotal, ada enam pegawai yang membantunya. Meski omsetnya tak terlalu besar, tapi ia masih bisa mencukupi upah karyawannya.
“Saya berkali-kali merugi, tapi yang namanya rezeki selalu ada. Karena tujuan saya nggak hanya berorientasi melulu soal uang tapi kebermanfaatan saya untuk sekitar,” ujar Novandya.
“Salah satu motto hidupku adalah meninggalkan legasi baik untuk sekitarku dan masih bermanfaat di masa depan. Jadi semisal aku mati nih, aku terkenalnya bakal seperti apa? Aku ingin memberikan kontribusi terbaikku selama hidup.” tuturnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Meninggalkan Surabaya yang Sumpek, Pilih Hidup Jadi Petani Stroberi di Kabupaten Malang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












