Di Balik Denyut MICE di Jogja, Ada Sembilan Comm yang Selalu Siap di Belakang Panggung

sembilan comm, event jogja.MOJOK.CO

Ilustrasi - Di Balik Denyut MICE di Jogja, Ada Sembilan Comm yang Selalu Siap di Belakang Panggung (Mojok.co)

Malam itu, Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM riuh dengan sorak-sorai penonton. Di panggung utama Jogja Volkswagen Festival (JVWF) 2025, yang tak jauh dari GIK UGM, ribuan orang melompat bersama ketika intro lagu “Dan” mengalun dari suara khas Duta Sheila On 7. 

Lampu LED menyorot kerumunan yang padat, efek visual berwarna biru-putih menari di layar raksasa. Sementara dari balik barikade, puluhan kru bekerja nyaris tanpa henti, memastikan setiap detik pertunjukan berjalan sempurna.

Di balik gegap gempita itu, ada satu nama yang tidak muncul di poster utama acara, tapi berperan besar dalam kesuksesannya: Sembilan Communication, atau biasa disebut Sembilan Comm, sebuah event organizer asal Jogja yang tahun ini genap berusia 17 tahun.

Sembilan Comm didirikan pada 2008 oleh Prakoso Mukti, sosok yang di kalangan industri event lebih akrab disapa Mas Kobok. Awalnya, timnya hanya beranggotakan sembilan orang. Oleh karena itu, penamaan EO ini adalah “Sembilan”. 

Mereka memulai dengan idealisme sederhana: mengerjakan event dengan profesional, tapi tetap menjaga hubungan kekeluargaan dengan vendor dan mitra.

“Dulu kami cuma sembilan orang, tapi niatnya bikin perusahaan yang bisa hidup panjang, bukan cuma komunitas proyek,” kata Mas Kobok saat berbincang dengan Mojok, Kamis (18/9/2025) lalu.


Kini, di bawah payung PT Jawara Kreasitama, Sembilan Comm memiliki sekitar 40 karyawan tetap dan ratusan tenaga kontrak di berbagai lini. Kantor pusatnya di Jogja, tapi jejaringnya telah merambah ke Semarang dan Jakarta.

Sejak awal, perusahaan ini dibangun dengan struktur formal: ada komisaris, direktur, hingga staf lapangan. Setiap karyawan punya jenjang karier jelas—dari staf junior hingga bisa mencapai posisi manajerial. 

Bagi Mas Kobok, itu penting agar orang yang bekerja di Sembilan Comm tak sekadar “bekerja di EO”, tapi punya masa depan.

“Meski kami jalin dengan idealisme kekeluargaan, tapi kami juga merasa penting kalau orang yang bekerja di sini punya masa depan,” tegasnya.

Awalnya musik, kini “merangkul” MICE

Sebelum dikenal lewat event korporasi, Sembilan Comm lebih dulu membangun reputasi lewat festival musik dan brand activation. Tahun-tahun pertama mereka diwarnai proyek besar bersama merek rokok dan promotor musik nasional. 

“Dari artis legend sampai yang baru, hampir semua pernah kami garap,” ujarnya mengenang masa-masa itu.

Salah satu yang paling membekas terjadi September lalu, yakni adalah JVWF, festival otomotif sekaligus musik terbesar di Jogja yang melibatkan ribuan komunitas Volkswagen dari dalam dan luar negeri. Dalam edisi 2025, Sembilan Comm dipercaya menangani konser musik penutup yang menampilkan Sheila On 7. 

“Kalau konser, ruang eksplorasinya lebih bebas. Kita bisa bermain dengan ambience dan pengalaman penonton,” kata Mas Kobok.

Namun, yang perlu digarisbawahi, fokus Sembilan Comm tak berhenti di konser. Jogja sendiri tumbuh menjadi kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition), sebuah ekosistem industri yang memadukan wisata, pertemuan bisnis, dan pameran. 

“Sekitar 2012 ke atas, banyak perusahaan dan BUMN mulai bikin acara di Jogja. Formatnya bisa tiga hari dua malam, lengkap dengan gala dinner dan outing,” tuturnya.

Gelombang industri MICE di Jogja

Perjalanan industri event di Jogja sendiri, kata Mas Kobok, terbagi dalam beberapa fase. Di awal 2000-an, event lebih banyak berupa aktivasi produk. Misalnya pameran di mal, lomba keluarga, atau promosi langsung ke konsumen. Gelombang MICE mulai terasa kuat pada 2010-an, seiring berkembangnya infrastruktur hotel dan pariwisata di Jogja.

Lalu datang pandemi Covid-19, dan seluruh industri “tiarap”. Hampir semua event dibatalkan, banyak EO gulung tikar. 

“Saya menyebutnya masa ketika ‘negara api menyerang’,” ujarnya sambil tertawa. 

Namun, justru di momen ini ketahanan Sembilan Comm diuji. Mereka bertahan dengan mengandalkan unit-unit usaha pendukung seperti 162 (penyedia panggung, lighting, toilet portable) serta JBL dan LV (penyedia LED dan sound system).

Saat pandemi mereda, gelombang baru MICE dan konser muncul. Orang-orang kembali haus akan interaksi dan hiburan. Banyak EO baru lahir, tapi tidak sedikit juga yang tenggelam karena salah perhitungan. 

Sembilan Comm sendiri masih berada di jalur yang tepat. Mereka berhasil bangkit lebih cepat, dengan proyek-proyek konser dan korporasi berskala besar.

“Kalau dulu yang ramai itu activation dan MICE, setelah pandemi justru konser musik yang naik. Tapi keduanya saling berkaitan, karena event seperti JVWF juga termasuk dalam ranah MICE,” jelas Mas Kobok.

“Bisnis harus untung, hubungan wajib sehat”

Salah satu kunci keberlangsungan Sembilan Comm adalah etika dan relasi kerja. Di dunia EO, vendor adalah tulang punggung. Salah satu kebanggaan Mas Kobok adalah reputasi perusahaannya yang dikenal selalu membayar vendor tepat waktu. 

“Insya Allah, di Jogja nggak ada orang yang bilang Sembilan nggak bayar. Kita jaga itu,” tegasnya.

Baginya, bisnis event bukan sekadar proyek, tapi ekosistem kepercayaan. Dari kru panggung, penyedia tenda, sampai penyanyi di atas pentas, semua terhubung dalam satu rantai kerja yang harus saling menghormati. 

“Bisnis boleh cari untung, tapi hubungan harus tetap sehat,” ujarnya.

Selain menjaga mitra, Sembilan Comm juga menekankan kesejahteraan internal. Semua karyawan tetap mendapat hak sesuai regulasi, termasuk BPJS dan cuti. 

Di ruang kerja mereka di kawasan Jogja selatan, suasana kekeluargaan terasa. Banyak karyawan yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun, bukti kecil bahwa loyalitas tumbuh dari rasa saling percaya.

Menjawab masa depan MICE

Kini, dengan usia 17 tahun, Sembilan Comm berdiri di tengah industri yang terus berubah. MICE di Jogja semakin padat: ada konferensi universitas, rapat korporasi, pameran kreatif, hingga festival komunitas seperti JVWF. Di sisi lain, tren teknologi, efisiensi anggaran, dan kebutuhan sustainability menjadi tantangan baru.

Namun, bagi Mas Kobok, semua perubahan itu hanyalah bentuk lain dari siklus bisnis yang harus dihadapi dengan adaptasi. 

“Yang penting konsepnya matang. Orang datang ke event bukan cuma lihat artisnya atau dekorasinya, tapi merasakan suasananya,” katanya.

Itulah yang membuat Sembilan Comm tetap relevan. Mereka tidak hanya membuat acara berjalan lancar, tapi memastikan setiap momen punya makna bagi peserta dan penyelenggara. Seperti malam itu di GIK UGM, ketika ribuan lampu ponsel menyala mengikuti Sheila On 7 menyanyikan “Melompat Lebih Tinggi”. Itu bukan sekadar konser, melainkan perayaan kebersamaan setelah masa-masa sunyi.

Meskipun–kalau dalam konteks guyonan–kata Mas Kobok, “dunia event tidak pernah benar-benar tenang”. Misalnya, ada saja klien yang berubah konsep di detik terakhir, revisi desain tanpa henti, atau perubahan izin mendadak. Tapi di balik kekacauan itu, ada semangat kolektif yang membuat semuanya layak dijalani. 

“Kami bukan EO paling besar, tapi kami ingin jadi yang paling bertahan lama,” ucapnya.

Bertahan, dalam konteks Sembilan Comm, bukan sekadar soal bisnis. Ia adalah soal manusia, tentang cara menghargai waktu, tenaga, dan ide orang lain. Di tengah hiruk pikuk MICE dan konser yang terus menggeliat di Yogyakarta, Sembilan Comm tetap berdiri, sebagai bukti bahwa profesionalisme bisa berjalan seiring dengan kehangatan dan rasa hormat.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa Jogja Cari Dana Event Kampus dengan Mengamen: Tanda Kreativitas Mahasiswa Seret atau Dana Kampus yang Mepet Banget? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version