Ketulusan Pedagang Rujak Lotis di Jogja, Antarkan Anak Cucu Hidup Mapan hingga ke Jepang dan Belanda  

Ketulusan Suroto, pedagang rujak lotis di Jogja. (Melvinda Eliana/Mojok.co)

“Tailor Swift itu di Amerika Serikat, kalau di Jogja Tailor Street,” tulis seseorang pada laman Facebook-nya. Tailor Street yang dimaksud adalah lokasi bergerombolnya puluhan jasa permak jins di persimpangan Jalan Dr. Sardjito dan Jalan C. Simanjutak, Jogja.

Di seberangnya, seorang penjual rujak lotis tengah duduk di atas dingklik kecilnya dengan menyorongkan tubuh pagar tanaman. Barangkali tengah mengurai lelah.

Tapi tulisan ini tidak akan berbicara tentang Tailor Street. Ia cuma jadi semacam latar belakang gambar ketika penjual rujak lotis itu berdiri. Suroto namanya, tukang buah–begitu ia menyebut dirinya–depan Mirota Kampus, Jalan C. Simanjutak, Jogja.

***

Sudah 28 tahun Suroto (60-an tahun) berjualan rujak lotis di Jogja. Hari-harinya bergelut dengan aneka macam buah, sambal, dan terik matahari atau rinai hujan di jalanan.

Tiap pukul 05.00 atau 06.00 pagi, ia berangkat ke daerah Giwangan untuk membeli buah, sedang sambal rujak ia siapkan lebih awal. Baru setelah itu ia mangkal di depan Mirota Kampus, Jalan C. Simanjutak, Jogja, sekitar pukul 11.00 siang hingga 17.00 sore. Kadang-kadang Suroto mangkal di Nologaten. Kalau jualannya tidak habis, ia akan berjualan keliling.

Demikian ia lakukan puluhan tahun: jualan dan berkeliling dengan motor hitam tua, boks kaca di belakang, serta payung oranye yang setengah robek. Sejak dulu, hal yang bersemayam dalam benaknya hanyalah keinginan untuk membiayai anaknya supaya “dadi wong” (jadi orang sukses).

Sumringah wajah Suroto tampak jelas ketika saya temui di siang terik itu, Senin (25/08/2025). Ia selalu antusias menyapa dan melayani pembeli yang datang.

Suroto (60) <yoastmark class=

Sesekali juga mengajak pembeli ngobrol ngalor-ngidul. Itu menjadi semacam SOP rujak lotis Suroto. Hal itu saya saksikan ketika Suroto menjelaskan khasiat buah pada seorang pembeli.

“Jambu monyet itu bagus buat pencernaan, kalau daun pepaya itu buat asam lambung sangat berkhasiat (meredakan), Mbak,” jelas Suroto.

Cukup dengan uang Rp15.000, olahan rujak lotisnya tersaji: satu piring berisi potongan jambu monyet, mangga, melon, semangka, bengkuang, tomat, timun, pepaya, apel, hingga sawo dan nangka. Sambal rujak lotis dengan tekstur kacang yang masih setengah utuh yang diguyur di atasnya langsung membuat bibir tiba-tiba kemecer. 

Rujak lotis buatan Suroto. (Melvinda Eliana/Mojok.co)

Jualan rujak lotis di Jogja untuk memberi segalanya pada keluarga

Suroto sebenarnya bukan warga asli Jogja, melainkan Klaten. Saudaranya masih banyak yang hidup di sana, kecuali kakaknya. Sebab, sang kakak sudah berpulang pada pangkuan Gusti.

“Aslinya kakak saya yang jualan rujak lotis, tapi meninggal ditabrak mobil jadi jualannya tak lanjutin,” kenang Suroto.

Dengan berjualan rujak lotis di Jogja, Suroto mengaku sangat bahagia karena mampu mengantarkan anaknya hingga hidup mapan. Ia juga bersyukur lantaran istrinya juga setia menemani dalam setiap kondisi yang Suroto alami. Sang istri tidak hanya mengurus rumah, tapi juga membantu hal lain seperti mengurus ternak sapi.

Suroto mengaku tak banyak mengatur anak-anaknya. Pokoknya, setiap hal yang sang anak impikan, maka akan terus Suroto usahakan. Termasuk mendukung mimpi anaknya untuk dapat bekerja di Jepang.

Kini anak pertamanya sukses bekerja di Jepang. Anak keduanya bekerja sebagai pegawai bank di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Sedang anak ketiganya sesekali membantu dirinya jualan rujak lotis.

Anak-anak tak nikmati hidup enak sendiri

Berulang kali Suroto meringis, matanya menyipit, ia tampak antusias menceritakan anaknya kembali. Bukan karena tinggi hati, melainkan wujud bangga pada buah hati.

“Anak saya yang pertama udah bisa bangun rumah mewah di Klaten sana, mewah kayak rumah menteri, marmer semua!” Tutur Suroto.

Anak keduanya juga meski harus melaju Jogja-Sukoharjo, tetapi sangat giat bekerja. Tak berhenti di situ, cucu pertamanya dari anak pertama, setelah mentas dari UGM, kini tengah bekerja di Belanda.

Anak-anak Suroto pun tidak menikmati “hidup enak” mereka untuk diri sendiri. Mereka merenovasi total rumah tua Suroto, tempat ia menghabiskan masa tua bersama istri dan sapi ternaknya. Motor baru pun mereka belikan untuk Suroto mondar-mandir, meski pada akhirnya jarang ia pakai.

“Rumah dibagusin, dibeliin motor bagus, tapi malah kebagusan, jadi jarang dipakai,” celetuk Suroto.

Cucunya yang berada di Belanda bahkan menghadiahkan mobil kepada bulik-nya (anak kedua Suroto), lantaran welas melihatnya melaju Jogja-Sukoharjo. Suroto tentu tak hentinya bersyukur. Kehidupan terasa teramat baik padanya.Hidu

Lelah itu niscaya…

Lantaran sudah terhitung mapan, anak-anak Suroto kerap menyarankan agar Suroto pensiun berjualan rujak lotis di Jogja. Cukup beristirahat di rumah saja, tidak perlu susah payah mencari uang.

Namun, Suroto tetaplah Suroto. Pria berkopiah itu enggan berhenti berjualan.

Wegah njagakke anak, luwih penak iso golek duit dhewe (Tidak mau mengandalkan anak, lebih enak bisa cari uang sendiri),” sahut Suroto, dulu kala menjawab anaknya.

Baginya, berjualan rujak lotis sudah lekat dengan kehidupan sehari-hari. Daripada menganggur di rumah, lebih menyenangkan mengais pundi-pundi rupiah.

Yaaa.. setidaknya buat pegangan sama istri, juga buat ngopeni sapi,” ujar Suroto sambil tertawa. Perkara lelah, itu niscaya, tapi begitulah hidup.

Angin wira-wiri beradu dengan deru lalu-lalang kendaraan menjadi semacam harmoni di tengah perbincangan kami. Sesekali sirine ambulans meraung, juga celoteh PKL lain saling bersahutan.

Hiruk-pikuk justru kerap membuat Suroto mengantuk. Itulah kenapa, sesaat sebelum saya temui, ia tampak menyorongkan badannya ke pagar tanaman (setengah bersandar untuk istirahat), sembari menunggu Tuhan mengirim rezeki melalui perantara pembeli.

Ketulusan tukang rujak lotis di Jogja yang membekas di ingatan (1)

Gerobak Suroto tentu tak pernah sendiri. Beberapa PKL lain juga mangkal di sekitaran Jalan C. Simanjutak, Jogja. Pedagang bakwan kawi, misalnya, jadi teman ngobrol Suroto di sela menunggu pelanggan. Bahkan, ketika pembeli datang tetapi pedagang lain sedang tidak ada, Suroto tak segan menolong dengan melayaninya. Pemandangan itu saya saksikan sendiri.

Memang, dibandingkan PKL lainnya, gerobak Suroto cenderung lebih sepi. Jarang-jarang anak muda jajan rujak lotis. Tapi hal itu bukan menjadi persoalan serius bagi Suroto. Ia santai saja. Malahan tak ada rasa iri dalam dirinya. Ia percaya semua sudah ada porsinya masing-masing.

Suroto membantu melayani lapak pedagang lain. (Melvinda Eliana/Mojok.co)

Tak berselang lama, seorang ibu-ibu (40-an) menghampiri gerobak Suroto. Sembari mencandai Suroto, ia memesan rujak lotis untuk dibawa pulang.

“Saya udah langganan lama banget, puluhan tahun,” ungkap si ibu. Saking lamanya berlangganan, ibu itu mengaku amat sering diberi bonus oleh Suroto.

Apa yang Suroto lakukan mungkin tidak sempurna. Tapi setidaknya itu mencerminkan ketulusannya: memberi sebaik-baiknya pada orang lain.

Ketulusan tukang rujak lotis membekas di ingatan (2)

Ketulusan Suroto tidak hanya sebatas itu. Caranya menyajikan rujak lotis adalah seni: membuat orang senang dengan pembawaannya yang ramah dan terbuka. Ketulusan-ketulusan itupun juga diamini oleh ibu-ibu tadi.

Di rumah saja, motor pemberian sang anak yang nganggur justru ia pinjamkan pada tetangga. Suroto merasa welas saja, lantaran tetangganya ngelaju untuk mengenyam pendidikan profesi di Ceper.

Suroto, pedagang rujak lotis di Jogja saat melayani pembeli. (Melvinda Eliana/Mojok.co)

Wis nggonen wae, eman wong kui ono motor ora tak nggo (Sudah pakai saja, sayang, ada motor tidak dipakai),” ucap Suroto pada tetangganya.

Sebelum saya pamit, Suroto menitip pesan agar orang-orang di luar sana berani untuk menghadapi kehidupan.

“Saya sudah mengalami sendiri, tekad dan nekat, itu kuncinya,” tuturnya.

“Bahkan anak seorang tukang buah, kini bisa membangun rumah mewah,” pungkasnya. Terdengar dan terasa tulus sekali.

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025. 

Penulis: Melvinda Eliana
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Masruroh, Ibu Penjual Burjo Gerobak yang Bahagia Bisa Antarkan Anak Lulus Cumlaude di UNY atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 



 

 

 

 

 

 

Exit mobile version