Selepas Kehilangan Kedua Orang Tua, Berlabuh ke Surabaya dan Meraih Gelar Sarjana

Azmi Izuddin lulus wisuda di Universitas Muhammadiyah Surabaya. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Azmi Izuddin (25) kehilangan kedua orang tuanya saat remaja. Laki-laki asal Tulungagung itu kemudian pindah ke Surabaya untuk menyambung hidup dan tinggal di salah satu panti asuhan Muhammadiyah. Dari sana, ia mulai mendapat kebermaknaan hidup.

***

Saat duduk di bangku kelas 6 SD, Azmi hanya bisa termenung ketika keluarganya mendapat informasi jika ayahnya tiada. Ketika itu ia belum paham betul tentang kematian, tapi menginjak dewasa ia jadi tahu jika ayahnya mengidap sakit yang parah seperti darah rendah. Karena kelelahan, ayahnya mengalami gejala struk ringan hingga meninggal.

Setelah itu, ibu Azmi harus berjuang sendirian menghidupi keluarganya. Bagi ibu tunggal yang memiliki tiga orang anak, kondisi tersebut tentu tak mudah. Mau tak mau, ibu Azmi harus merelakan anak bungsunya, yakni Azmi untuk merantau ke Surabaya dan tinggal di panti asuhan

“Ayahku sempat komunikasi dengan salah satu panti asuhan yang ada di Surabaya, tapi nggak sampai satu bulan, ayahku wafat. Sepertinya beliau memang punya firasat,” kata Azmi saat dihubungi Mojok, Selasa (4/3/2025).

Jujur saja, sebagai anak bungsu ia pernah mendapatkan momen dimanja dan dihujani kasih sayang. Oleh karena itu, ia sedikit terkejut saat mendengar pilihan orang tuanya yang ingin Azmi merantau diusianya yang masih belia. Mulanya, Azmi memang terpaksa, tapi ia pun tak bisa mengelak. Namun, setelah menjalaninya, ia mengaku tak menyesal tinggal di Surabaya karena bisa menempa diri di sana.

Sendiri dari Tulungagung ke Surabaya saat belia

Azmi berangkat ke Surabaya tahun 2012 dan langsung merujuk ke Panti Asuhan Muhammadiyah, Genteng, pilihan ayahnya. Kemudian, ia mendaftar sebagai siswa SMP. 

Panti Asuhan Muhammadiyah, Genteng, Surabaya. MOJOK.CO
Azmi bersama anak-anak panti asuhan Muhammadiyah. (Dok.Pribadi)

Pertama kali tiba di Surabaya, Azmi tak terbiasa dengan cuaca panasnya. Berbanding terbalik dengan suasana di desanya, Tulungagung. Belum lagi soal perbedaan bahasa. Walaupun sama-sama menggunakan bahasa Jawa Timur, Azmi merasa bahasa di Surabaya lebih kasar. 

Selain itu, masa remaja membuat hatinya berkecamuk. Banyak hal yang harus ia hadapi setelah ayahnya meninggal. Azmi merasa terpaksa keluar dari daerah asalnya dan harus berpisah dengan ibu serta dua orang kakaknya.

“Awal-awalnya memang tidak kerasan, tapi ketika hidup di Surabaya ternyata banyak yang welcome. Aku menyadari harus berjuang lebih daripada teman-teman yang lain,” ujar Azmi.

Lambat laun, Azmi mulai bangkit berkat dukungan dari orang-orang sekitarnya, khususnya di Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng. Ia sudah terbiasa dengan logat bicara orang Surabaya, termasuk cuacanya yang panas. Sebab, kata dia, masih banyak ruang publik seperti taman-taman yang sejuk dan ramah di kantong.

Selain itu, setelah melihat sekolah-sekolah di Surabaya ia jadi tahu alasan orang tuanya memutuskan Azmi merantau. Barangkali, ayah ibunya ingin memberikan pendidikan yang lebih bagus, mengingat fasilitas sekolah yang ada di Surabaya.

 “Aku melihat beberapa bangunan dan fasilitas SMP begitu mewah, yang nggak ada di desa. Aku jadi merasa bangga sekolah di Surabaya,” kata Azmi.

Kabar buruk datang lagi

Baca Halaman Selanjutnya

Kabar buruk datang lagi

Bisa dibilang, sejak SMP hingga saat ini Azmi dibesarkan di Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng, Surabaya. Ia membiasakan hidup disiplin, mulai dari salat subuh, zikir pagi, dan membaca ayat suci Al-Qur’an selama 15 menit. 

Setelah itu, ia dan anak-anak lainnya membersihkan panti, baru pergi ke sekolah. Sepulang sekolah, menjelang maghrib hingga isya, mereka salat berjamaah. Lalu zikir dan mengaji kembali.

Azmi saat menjadi pembawa acara di salah satu kegiatan sekolahnya. (Dok. Pribadi)

“Ada jadwalnya masing-masing, seperti tajwid, tafsir, hafalan, belajar pidato, dan lain-lain,” kata pemuda asal Tulungagung tersebut.

Selepas isya, mereka makan malam bersama, mengerjakan tugas sekolah masing-masing, atau bebas melakukan aktivitas selainnya. Yang jelas, anak-anak harus sudah tidur pukul 22.00 WIB. 

Baru saja merasakan ketenangan hidup, Azmi mendapat kabar jika ibunya meninggal karena sakit yang dideritanya. 

“Ibu meninggal sebelum aku kuliah sekitar tahun 2020, beliau meninggal setelah operasi angkat kanker,” ucapnya.

Mengejar gelar sarjana di Universitas Muhammadiyah Surabaya

Setiap orang tentu tak pernah siap kehilangan, tapi Azmi tak ingin sedih berlarut-larut. Ia memilih menyibukkan diri dengan mengukir banyak prestasi seperti lomba pidato, tahfidz, hingga mendapat Beasiswa Unggulan dari Kemendikbudristek untuk berkuliah di Universitas Muhammadiyah Surabaya Jurusan Pendidikan Agama. 

Azmi Izuddin di acara wisuda Universitas Muhammadiyah Surabaya, lulus dengan IPK 3,8. (Dok. Pribadi)

“Waktu seleksi berkas dan wawancara, aku tidak terlalu tegang karena punya pengalaman saat SMA. Aku pernah seleksi program pertukaran pelajar ke Malaysia dan Singapura di tahun 2013,” ucap pemuda asal Tulungagung tersebut.

Kini, Azmi berhasil meraih gelar sarjananya dengan predikat cumlaude. Di mana, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya selama 3,5 tahun dengan IPK 3,83. Azmi ingin mengejar mimpinya menjadi penulis, peneliti, dan melanjutkan studi S2-nya. 

Dengan begitu, ia bisa membahagiakan almarhum orang tuanya. Selain itu, ia ingin menjadi contoh kepada adik-adik di Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng, Surabaya yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. 

Azmi ingin membuktikan, kondisi seperti kehilangan orang tua dan keterbatasan ekonomi tak membatasi mereka untuk bermimpi, salah satunya dengan meraih pendidikan tinggi.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Perjuangan Satpam Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya, Lulus Sarjana dengan Pujian atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version