Kondektur Bus, Tukang Las Keliling, dan Jalan Hidup ke Bulu Tangkis Kursi Roda

Ilustrasi - Perjalanan hidup Supriadi menjadi atlet bulu tangkis kursi roda dan tampil di event internasional seperti Polytron Indonesia Para Badminton 2025 Solo. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Awalnya Supriadi (40-an) tidak menguasai bulu tangkis. Apalagi bulu tangkis kursi roda—salah satu kategori dalam para-badminton. Namun, dari keputusasaan karena kehilangan kaki kanan, ia kemudian menemukan nyala hidupnya kembali melalui olahraga di atas kursi roda.

***

Tangan memutar roda kursi untuk mengikuti arah shuttlecock yang dilayangkan lawan. Lalu dengan gegas harus menarik tangan dari roda untuk mengayunkan raket. Berkali-kali pula harus layback untuk mengantisipasi shuttlecock yang melambung melewati kepala. Jadi tangan harus benar-benar kuat, energi pun harus benar-benar besar.

Begitulah kira-kira gambaran setiap pertandingan bulu tangkis kursi roda. Dan itu sempat membuat Supriadi merasa kesulitan di awal-awal masa kariernya sebagai atlet bulu tangkis kursi roda. Terlebih memang, menjalani aktivitas—termasuk olahraga—di atas kursi roda bukanlah sesuatu yang ia sangka.

Supriadi, atlet bulu tangkos kursi roda di Polytron Indonesia Para Badminton 2025 Solo MOJOK.CO
Supriadi, atlet bulu tangkos kursi roda di Polytron Indonesia Para Badminton 2025 Solo. (Eko Susanto/Mojok.co)

Kondektur bus dan kecelakaan yang bikin mengurung diri

Supriadi lahir dan tumbuh di sebuah desa di Pati, Jawa Tengah. Ia lahir sebagaimana anak-anak kebanyakan. Di desanya dulu, ia bahkan aktif bermain voli bersama teman-teman desa lain.

“Dulu jarang kalau main bulu tangkis. Mukul saja sering luput,” ujar Supriadi di sela waktu istirahatnya usai bertanding di perempat final Polytron Indonesia Para Badminton International 2025 by Polytron, Bakti Olahraga Djarum Foundation, NPC Indonesia, dan BWF, Sabtu (1/11/2025) siang di GOR Manahan, Solo.

Masa ketika masih tinggal di Pati itu, Supriadi sempat bekerja sebagai kondektur bus untuk trayek Pati-Jepara. Kehidupan Supriadi berubah drastis ketia ia mengalami kecelakaan motor pada 2005, yang membuat kaki kanannya harus diamputasi.

“Awal-awal saya kecelakaan ya nggak terima. Karena keterbatasan fisik, jadi nggak bisa leluasa ke mana-mana. Keluar rumah juga nggak pede,” tutur Supriadi. Selama tujuh bulan Supriadi mengurung diri di rumah. Gairah hidupnya meredup.

Niat cari kaki palsu malah dapatkan gairah hidup lagi

Selepas tujuh bulan, Supriadi pelan-pelan mulai mencoba keluar rumah. Banyak teman desanya yang mengajaknya keluar, sekadar untuk ngopi.

Dari obrolan-obrolan tiap kumpul bersama teman-temannya, Supriadi yang awalnya berjalan mengandalkan tongkat sebagai penopang, lalu terpikir untuk memiliki kaki palsu.

Maka berangkat lah ia ke sebuah lembaga kemanusiaan di Solo. Di situ, Supriadi tak hanya mendapat kaki palsu, tapi juga gairah hidupnya kembali.

“Karena akhirnya saya melihat, ternyata yang lebih parah dari saya banyak: Nggak punya  dua kaki, nggak punya dua tangan, tapi semangat hidup mereka tinggi. Saya termotivasi,” kata Supriadi.

Kursi roda buatan sendiri untuk ikut bulu tangkis

Jalan hidup Supriadi ke bulu tangkis kursi roda kian dekat usai ia menikah pada 2009 dan pindah ke Sukoharjo. Kala itu, Supriadi mencoba bekerja sebagai tukang las, modal belajar otodidak.

Lambat laun, lewat sang istri, ia tahu bahwa ternyata ada komite olahraga khusus untuk teman-teman difabel.

“Saya nggak langsung ke bulu tangkis kursi roda. Pada 2013 itu saya ikutnya voli duduk,” kata Supriadi.

Namun, Supriadi mengakui, ia amat kesulitan mengikuti cabang olahraga tersebut. Ia merasa tak begitu menonjol ketimbang rekan-rekannya di klub. Hingga akhirnya ia tahu ada cabang bulu tangkis kursi roda.

“Saya awalnya nggak tahu cabor ini. Tapi kok menarik, akhirnya saya ikuti,” akunya.

Supriadi, atlet bulu tangkos kursi roda di Polytron Indonesia Para Badminton 2025 Solo. (Eko Susanto/Mojok.co)

Sebenarnya butuh modal besar untuk menjadi atlet bulu tangkis kursi roda. Kursi roda yang dipakai harus memliki settingan dan standar khusus. Kalau beli, kata Supriadi, harganya bisa puluhan juta.

Maka, demi bisa bermain di cabor tersebut, Supriadi—dengan modal tutorial YouTube dan keterampilan las-nya—lantas mencoba merancang kursi rodanya sendiri. Memanfaatkan bahan-bahan seadanya.

Siang-malam kerja bengkel demi bulu tangkis kursi roda dan hidupi anak istri

Jalan Supriadi tak serta merta mulus dalam meniti karier di bulu tangkis kursi roda. Tidak hanya soal kursi roda khusus dan adaptasinya. Tapi karena ia bagaimanapun harus tetap menghidupi istri dan dua anak. Jadi tidak bisa hanya fokus mengejar karier menjadi atlet.

“Waktu itu 2016, rumah masih ngontrak, anak masih kecil-kecil. Jadi saya berpikir bagaimana latihan bisa berjalan, tapi kebutuhan rumah tangga juga tetap tercukupi,” beber Supriadi.

Supriadi usai pertandingan. (Eko Susanto/Mojok.co)

Saat itu, Supriadi bisa dibilang memeras betul energinya. Pagi ia akan latihan. Siangnya ia akan bekerja di bengkel A sampai sore. Lalu malamnya ia akan kerja lagi di bengkel B.

Bahkan ia juga nyambi menjadi tukang las keliling tiap hari Minggu, mumpung tidak ada latihan dan pekerjaan lain.

Bengkel untuk teman-teman difabel

“Tapi Saya dulu di bengkel narget jangan lebih setahun. Setahun itu cukup buat cari ilmunya, untuk bekal buka bengkel sendiri,” kata Supriadi.

“Dan alhamdulillah sekarang punya bengkel sendiri. Punya pekerja juga di bengkel,” imbuhnya. Bengkel milik Supriadi di Sukahrjo bahkan kerap menjadi jujukan teman-teman difabel.

Sebenarnya Surpiadi punya spesialisasi memperbaiki vespa. Lalu, pada masa Covid-19, karena tak punya kegiatan, ia sempat coba-coba untuk modifikasi transportasi untuk teman-teman difabel.

Dari situ lah ia akhirnya kerap mendapat permintaan untuk modifikasi motor, mobil, dan lain-lain untuk menunjuang mobilitas teman-teman difabel.

Emas pertama yang tak terlupakan

Seiring itu, kiprah Supriadi di bulu tangkis kursi roda juga terus beranjak. Kendati baru ia rasakan di atas umur 30-an tahun.

Di antara perjalanannya mengikuti kejuaraan para-badminton, ASEAN Para Games 2023 di Kamboja menjadi kejuaraan tak terlupakan. Sebab, di ajang tersebut Supriadi menyabet medali emas pertamanya.

“Di tunggal putra dapat medali emas, di ganda putra dapat medali perunggu bareng Agung Widodo (rekannya),” terang Supriadi.

Supriadi berpasangan dengan Agung Widodo di bulu tangkis kursi roda. (Eko Susanto/Mojok.co)

Setelahnya, di tahun yang sama, ia juga menyabet dua gelar juara di FOX’S Indonesia Para Badminton International 2023 di Solo: Juara di tunggal putra dan ganda putra sekaligus.

“Sekarang saya kan sudah punya sendiri kursi roda yang sesuai standar. Kadang teringat dengan kursi roda yang saya buat sebagai simbol perjuangan,” ujar Supriadi.

Ah, sayangnya, kursi roda buatannya sendiri itu sudah tidak berbentuk. Supriadi sebenarnya sangat ingin menggantungnya di rumah. Namun, karena saat itu tidak cukup ruang, akhirnya ia preteli untuk tambahan material di bengkel.

Hal-hal manis di antara pahitnya hidup

Di Polytron Indonesia Para Badminton International 2025 Solo, langkah Supriadi dan pasangannya, Agung Widodo, harus terhenti di perempat final.

“The Daddies” versi bulu tangkis kursi roda Indonesia itu takluk dua set dari lawannya, pasangan Malaysia, Noor Azwan Noorlan dan Muhammad Ikhwan Ramli dengan skor akhir: 21:16, 21:6.

Langkah Supriadi dan Agung Widodo. (Eko Susanto)

Rasanya pahit, pasti. Itu tergambar dari diskusi keduanya usai keluar lapangan. Ada beberapa hal yang mereka sesali selama pertandingan.

Namun, perjalanan hidup sudah membuktikan, Supriadi selalu bisa menemukan hal-hal manis di antara kehidupan pahit yang ia cecap. Kecewa karena kalah itu akan lewat. Lalu Supriadi akan menyongsong kejuaraan internasional berikutnya: Paralimpiade ASEAN Para Games 2026 di Thailand pada Januari 2026 mendatang.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Masa Kecil Dihina hingga Bertanding kala Hamil, Perjalanan Warining Rahayu Mendulang Emas Para-Badminton Berkali-kali dengan Tangan Kiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version