Bagi Ismi (39), sulit menjadi guru honorer apabila tak dilandasi cinta. Awalnya ia bukan lulusan Jurusan Pendidikan lalu tergugah hatinya untuk kuliah lagi sembari menjadi guru TK tengah kawasan prostitusi Sarkem Jogja.
***
Saat saya berkunjung ke TK PKK Sosrowijayan Kulon kawasan Sarkem Jogja, Ismi seorang diri mendampingi 19 anak yang belajar. Pada Selasa (7/5/2024), kebetulan rekan sekaligus kepala sekolah TK tersebut sedang mendapat panggilan rapat dengan dinas.
“Bu, kapan ini pulangnya?” kata seorang anak yang menghampirinya dengan manja.
“Nanti sebentar lagi ya cah bagus. Jam setengah sebelas pulang. Sekarang main dulu,” jawab Ismi.
Banyak yang tidak mengira bahwa di tengah kawasan prostitusi Sarkem Jogja ada tempat belajar dan bermain anak-anak. Ismi, yang dulu lahir dan tumbuh di Kampung Gandekan, sisi utara kawasan ini juga merupakan alumnus TK ini.
“Dulu saya ya TK-nya di sini,” ungkap guru honorer ini.
Namun, jika hari sudah pagi suasana Sarkem berubah jadi sepi. Memang, ada beberapa perempuan pekerja yang masih duduk-duduk di teras bilik karaoke dan prostitusi. Akan tetapi mereka sudah tidak bekerja lagi.
Ada aturan tidak tertulis bahwa jika sudah pagi kegiatan prostitusi dan karaoke harus berhenti. Para pekerja pun, sebenarnya untuk duduk-duduk di emperan saja tidak boleh.
Jadi guru honorer itu seperti ibadah dan kerja bakti
Siang itu, suasana TK sedang cukup ramai. Selain anak-anak yang bermain di dalam ruang, para orang tua sedang asik berbincang di luar.
Bagi Ismi, melihat suasana TK yang hidup adalah sumber kebahagiaan. Jauh selepas ia mengenyam pendidikan anak usia dini di tempat ini, selepas lulus kuliah, Ismi sempat kerap datang untuk mengantar adiknya.
Di saat itulah ia bertemu dengan sosok guru yang dulu juga jadi pengajarnya saat masih anak-anak. Kedekatan mereka membuat Ismi mendapat tawaran untuk ambil peran.
“Awalnya saya disuruh jadi guru ngaji di sini khusus saat Ramadan,” kenangnya.
Saat itu, Ismi yang sudah lulus dari studi keuangan Islam di UIN Sunan Kalijaga menerima tawaran itu. Perlahan, ia kemudian mendapat tawaran lebih lanjut untuk membantu administrasi di TK PKK Sosrowijayan Kulon.
“Selanjutnya dapat tawaran untuk bantu administrasi ya mulai dari buku tabungan sampai mengurus SPP. Akhirnya setelah itu dapat izin untuk belajar mendampingi anak-anak,” ujarnya.
Ia memutuskan jadi guru honorer meski tidak ada tawaran materi yang menjanjikan. Gajinya, sejak awal jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan hingga sekarang pun gaji pokoknya sebagai guru honorer tidak sampai setengah UMR Jogja.
“Ya awalnya seperti kerja bakti lah hitungannya. Kalau tidak dilandasi rasa suka terhadap anak-anak dan niat ibadah ya susah. Pakai kalkulator manusia, pekerjaan ini nggak akan cukup untuk penuhi kebutuhan hidup,” terangnya.
Tantangan mengajar di tengah kawasan prostitusi Sarkem Jogja
Pada 2010, Ismi menikah. Ia kemudian pindah agak jauh ikut suaminya di Jalan Imogiri, Bantul. Namun, ia tetap bertahan menjadi guru TK. Suaminya pun mendukung penuh keputusan untuk menjadi guru honorer lantaran perempuan ini memang menyukai kegiatannya.
Demi mendalami keilmuan, Ismi lalu mengambil kuliah di Universitas Terbuka pada 2015. Sehingga, ia kemudian bisa mendapat ilmu dan gelar sarjana pendidikan anak usia dini pada 2017. Hal yang kemudian dapat menunjang kariernya.
“Akhirnya, walau belum bisa PNS, saat pandemi kemarin saya bisa dapat sertifikasi,” katanya.
Bertugas di kawasan prostitusi sesekali mengundang pertanyaan dari orang sekitar Ismi. Jika sedang ada suatu pemberitaan atau kasus tertentu di wilayah itu, ia kerap jadi orang yang ditanya-tanya.
“Padahal ya saya ini kan di sana pagi sampai siang. Kalau situasi malamnya tentu saya nggak tahu,” kelakarnya.
Dulu, saat Sarkem Jogja masih ramai, sesekali ia juga menghadapi orang mabuk yang pagi-pagi kesasar ke halaman TK. Namun, kini Sarkem juga sudah tidak segemerlap masa kejayaannya. Selain itu, sudah ada aturan dan Balai RW yang merangkat TK ini juga sudah dilengkapi pagar.
“Dulu ya, ya ada itu beberapa kali orang mabuk nyasar ke halaman depan,” kenangnya.
Kebahagiaan menjadi guru TK
Selain itu, baginya semua biasa saja. Menjadi guru TK di sini atau di tempat lain, bagi Ismi, sama-sama perlu landasan rasa cinta terhadap anak-anak.
“Sebagai guru kebahagiaan terbesar ya tentu kalau anak bisa lancar dan sukses di pendidikan selanjutnya. Itu mungkin kebahagiaan semua guru,” tutur ibu dua anak ini.
Menurutnya, tantangan terbesar bukan lah persoalan lingkungan. Namun, bagaimana agar TK ini terus bertahan dan tak kekurangan murid di masa mendatang.
Kebanyakan peserta didik di TK ini sebenarnya justru bukan berasal dari kawasan Sosrowijayan Kulon. Bahkan, ada yang jauh-jauh datang dari Godean, Sleman.
Di luar gedung, Dewi (37), seorang ibu dari Godean bercerita awalnya tidak berencana menyekolahkan anaknya di TK ini. Semuanya berawal dari tetangganya.
“Ada anak tetangga yang TK di sini, lha anak saya jadi maunya ikut dia. Kalau nggak di sini nggak mau sekolah,” kata Dewi tertawa.
Ibu-ibu lain bernama Rubinah (59) lalu menyahut. “Saya dedengkot di sini,” kelakarnya.
Pasalnya, sudah dua generasi keturunan Rubinah yang menempuh TK di tempat ini. Berawal dari anak sekarang menjadi cucu yang kerap ia temani. Rubinah tinggal di Kampung Gandekan, sisi utara Sarkem Jogja.
Katanya, selain dekat, memilih sekolahkan anak di sini karena guru TK yang baik dan memahami situasi mereka. Pembelajarannya juga tak kalah dari TK lain di sekitarnya.
Tentu, kisah-kisah dari para orang tua itu jadi kebahagiaan tersendiri bagi Ismi. Jadi pelecut semangatnya menjalani profesi sebagai guru honorer di tengah kawasan yang menyandang beragam stigma dari orang luar.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita an artikel Mojok lainnya Google News