Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan

Praja Pratama (21) hanya bisa terduduk lesu di atas tribun Supersoccer Arena Kudus (SSA), lokasi di mana MilkLife Archery Challenge (MLARC) KEJURNAS Antar Club 2025 digelar. Yakni sebuah kompetisi panahan yang digagas Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), Milklife, dan Djarum Foundation.

Sejak Kamis (18/12/2025) siang, pemuda dari DAD Archery Club itu sudah bertanding dalam beberapa kategori hingga sore hari. Namun, ia tak mendapat medali emas sama sekali.

Di tengah kegalauannya itu, sang ibu, Lela (48) hanya bisa mendampingi sekaligus menguatkan putra sulungnya tersebut. Bagi Lela, tujuan dari pertandingan ini bukan semata-mata untuk memperoleh juara, tapi untuk mengukur hasil latihan Praja selama ini.

“Juara itu hanya bonus, kalau kalah, ya artinya latihannya harus ditingkatkan lagi. Dievaluasi, apa yang kurang? Toh, dari pertandingan ini kan dia jadi bisa kenal banyak peserta lain dan belajar dari mereka,” kata Lela di tribun SSA, Kudus, Kamis (18/12/2025).

Lebih dari itu, Lela tetap bangga kepada Praja karena sudah berjuang sampai akhir meski banyak terkendala di lapangan. Misalnya, beberapa jam sebelum pertandingan, anak panah Praja ada yang rusak, sehingga mengganggu konsentrasinya saat bertanding.

Praja Pratama berfoto dengan ibu. MOJOK.CO
Praja Pratama (kiri) didampingi oleh sang ibu, Lela (tengah) dan adiknya, Afgan (kanan). (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Sebagai ibu yang selalu mendampingi Praja, Lela pun tahu seberapa keras perjuangan Praja sejauh ini. Bahkan saat sebelum ia mengikuti panahan hingga menemukan semangat hidup dari panahan.

Nyaris menyerah karena tremor dan jantung lemah

Lahir dari keluarga yang memiliki klub sepak bola, ternyata tak membuat Praja Pratama mengikuti jejak ayahnya. Segala olahraga pernah ia coba, mulai dari sepak bola, basket, tenis, pingpong, hingga berenang. 

Namun, karena kondisi fisiknya tak mendukung, Praja nyaris menyerah untuk menemukan olahraga yang ia suka. 

“Aku punya jantung yang lemah, kena hujan dikit saja sakit. Kena debu langsung bersin-bersin. Aku juga punya tremor, bawaan dari lahir. Jadi nggak bisa olahraga fisik yang berat-berat, tapi aku ingin coba,” kata Praja saat ditemui Mojok di Supersoccer Arena (SSA), Kudus.

Sebagai anak dari pemilik klub sepak bola, Praja ingin membuktikan ke orang sekitarnya, bahwa ia juga bisa berprestasi di bidang olahraga.

Di tengah kegalauannya itu, Praja yang saat itu masih berusia 13 tahun tak sengaja melihat alat panah milik pamannya. Barulah ia tahu kalau pamannya ikut olahraga panahan di sebuah klub. 

Peserta panahan mengikuti pertandingan MilkLife Archery Challenge Kejuaraan Nasional Antarklub 2025 di SSA, Kudus. (Sumber: MilkLife)

Mulanya, Praja tak langsung tertarik, tapi mencari tahu soal olahraga panahan dari YouTube. Kata kunci yang ia cari pun spesifik, yakni “paralympic archery”. Dari situlah pemuda asal Bangka Belitung itu pun tercengang.

“Ada yang buta, yang nggak punya kaki, bahkan nggak punya tangan juga ada, tapi mereka bisa memanah,” kata pemuda asal Bangka Belitung itu. “Nah, kalau mereka bisa mengambil kesempatan itu, kenapa aku nggak? Mangkanya aku langsung coba.”

Diremehkan gara-gara kondisi fisik

Praja pun mulai latihan panahan sejak tahun 2017 di sebuah klub yang diikuti pamannya. Sepulang sekolah, ia selalu menyempatkan diri latihan panahan dengan busur kayu. 

Kala itu orang tuanya belum tahu. Mereka mengira, Praja hanya main seperti biasa dengan teman-temannya.

Di awal latihan, tentu saja Praja tidak langsung bisa. Senior-seniornya bahkan menilai perkembangan Praja cukup lambat, karena selama dua tahun lamanya, Praja belum bisa betul-betul mengenai target. 

“Saya selalu nembak ke arah semak-semak. Terus waktu saya ambil anak panah, jadinya lama kan karena harus nyari. Nah, bukannya bantuin, aku malah dikata-katain. Ada yang bilang orang tremor tuh nggak bakal bisa manah. Aku cuman dengarkan aja waktu itu,” tutur Praja di sela-selanya menonton pertandingan final di SSA, Kudus.

Tangan patah tapi tetap memanah

Sejumlah anak panah mengenai target. (Sumber: MilkLife)

Alih-alih patah semangat, hinaan itu justru memotivasi Praja untuk membuktikan diri. Saban hari ia terus latihan. Sampai orang tuanya mulai bertanya-tanya, kenapa anaknya selalu pulang jelang malam? Saat itu Praja memang belum mau mengaku.

Sampai kemudian, ia nekat mendaftar pertandingan olahraga panahan yang diadakan di Bangka Belitung. Seminggu sebelum pertandingan, Praja malah mendapat musibah. Saat pulang sekolah, ada sebuah motor yang melaju kencang dan menyerempet tubuhnya.

Praja pun jatuh sampai masuk ke ruang ICU. Tangan kanannya patah, tapi ia keukeuh tak mau dioperasi, mengingat pertandingan panahan yang sudah dekat. Akhirnya, ia hanya diurut dan tetap melanjutkan pertandingan.

“Waktu itu aku masih nggak punya alat panahan sebetulnya, jadi pakai punya paman yang berat tarikannya (LBS) 28. Seharusnya aku pakai 18 atau 20. Jadi bayangkan saja sakitnya seperti apa saat tanding dengan kondisi tangan yang patah dan tremor,” kata Praja.

Menularkan ilmu panahan ke sekitar

Tanpa disangka, dengan kondisi tangan patah dan tremor, Praja berhasil meraih medali emas. Sejak saat itu, orang tuanya pun mulai mendukung. Lela, ibu Praja, sempat syok karena ia baru mengetahui kejadian itu. Tapi ia tak bisa menampik rasa bangganya pada sang anak. 

Ayah Praja bahkan langsung membelikan busur recurve untuknya. Bahkan, adik beserta orang tuanya kini mengikuti jejak Praja bermain panahan.

“Jadi kami biasa latihan di lapangan bola depan rumah. Aku sendiri lebih melatih endurance ku ketimbang power karena fisikku nggak memungkinkan,” kata Praja.

Diniar Anggietrilaksono (kiri) dari klub Wibawa Mukti Archery dan Praja Pratama (kanan) dari DAD Archery Club. (Sumber: MilkLife)

Tak hanya itu, Praja juga diminta melatih panahan di klubnya. Mulai dari usia anak-anak hingga yang tua. Ia berharap ilmunya bisa bermanfaat dan memotivasi mereka untuk semangat. Sebab, bagi Praja, panahan tidak hanya melatih fisik tapi juga pikiran.

Di sisi lain, Praja ingin menjadi sosok pelatih yang selalu mendampingi atletnya. Hal itu terinspirasi dari sosok pelatihnya bernama Afif Rosadi. Afif juga lah yang menemani Praja di saat pertandingan pertamanya.

“Waktu itu posisinya hujan besar, nggak ada yang mau nemenin masuk. Dan masih banyak orang yang meremehkanku karena peluangnya kecil. Posisiku ada di dua terendah, tapi dia datang. Aku ingat betul sepatunya sampai basah,” ucap Praja.

Panahan olahraga sempurna

Meski tak menang dalam pertandingan MilkLife Archery Challenge (MLARC) KEJURNAS Antar Club 2025 yang diselenggarakan Selasa (9/12/2025) hingga Jumat (19/12/2025) di Kudus, panahan tetap menjadi olahraga favorit Praja. Sebab, dari sana lah ia mendapat banyak pengalaman berharga.

Dari ambisi dan obsesinya terhadap panahan, Praja merasa tumbuh lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Ia pun lebih disiplin dan punya jiwa pemimpin. Ia juga jadi lebih sabar dalam menghadapi masalah, dan fokus untuk menemukan solusi.

“Oleh karena itu, aku berani bilang kalau panahan ini olahraga sempurna. Cocok untuk semua umur dan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.” Ujar Praja.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version