Muhamad Syafiq Yunensa (24) keranjingan musik punk sejak duduk di bangku kelas 1 SMP. Ia juga kerap hidup di jalan alias “nyetreet”. Atau kalau lagi gabut di pondok pesantren, ia lebih suka tawuran ketimbang ngaji. Namun, masa lalu Syafiq sebagai berandal tak menghentikan langkahnya untuk kuliah sampai S3 di UIN Walisongo Semarang.
Sampah masyarakat juga bisa sekolah tinggi
Syafiq mengaku semasa sekolah ia dikenal sebagai siswa paling nakal. Hampir setiap hari ia bolos sekolah. Itu, salah satu kesalahan ringan yang pernah ia lakukan saat SD, bahkan guru-guru sempat angkat tangan mengajarinya.
“Aku ditolak daftar sekolah lewat jalur nilai karena memang raporku jelek. Hampir tidak ada yang dapat 8. Semua mata pelajaran di bawah 8, kecuali satu mapel,” kata Syafiq saat dihubungi Mojok, Selasa (29/4/2025).
Baru, setelah lulus SMA, ia ingin membuktikan bahwa dirinya bukanlah produk gagal ataupun sampah masyarakat. Ia bisa sukses bahkan melebihi mereka yang katanya rajin, pandai, dan selalu juara di kelas.
Sebagai anak yang sering dicap “nakal”, Syafiq berujar, ketimbang sekolah tinggi, yang terpenting adalah mengenal diri sendiri, serta mengetahui metode belajar yang cocok bagi dirinya.

“Aku berharap bisa lulus S3 di usia 25 tahun, hanya untuk membuktikan bahwa kuliah itu nggak terlalu penting,” kata dia.
Sejatinya, laki-laki asal Brebes itu bukanlah mahasiswa yang ambisius dalam urusan akademik. Namun, ia berusaha mengembangkan diri dengan mengikuti kegiatan di luar kampus UIN Walisongo Semarang atau pembelajaran non formal.
Seiring berjalannya waktu, tujuannya tak lagi membuktikan diri. Menginjak usia dewasa, Syafiq sadar kalau impiannya bisa menjadi tindakan sosial dan menginspirasi masyarakat sekitar.
Lulus S1 di UIN Walisongo Semarang tanpa skripsi
Saat kuliah S1 di UIN Walisongo Semarang, Syafiq sudah aktif mengikuti 20 organisasi, komunitas, maupun lembaga, baik di tingkat kampus hingga provinsi. Ia pun berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 3,5 tahun, tanpa skripsi.
UIN Walisongo Semarang memang memiliki kebijakan lulus dengan cara lain, seperti menerbitkan artikel di jurnal terakreditasi SINTA, buku ber-ISBN, atau karya monumental seperti bisnis yang sudah berjalan. Syafiq sendiri lulus S1 Pendididikan Agama Islam karena berhasil menyelesaikan tugas akhir dengan menerbitkan novel ber-ISBN.
“Tugas akhirku adalah novel best seller Catatan Sang Berandal dan artikel pendamping karya berjudul ‘Pendidikan Karakter Berbasis Kenakalan’ dalam novel tersebut,” kata Syafiq.
Padahal, sebelum memutuskan untuk mengumpulkan tugas akhir, Syafiq sebetulnya sudah mengajukan judul dan menyusun skripsi soal kehidupan anak punk di Semarang. Ia mengaku sudah melakukan pendekatan ke subjek penelitian selama satu tahun.
Baca Halaman Selanjutnya
Lulus S2 UIN Semarang di usia muda
Namun saat itu, ia juga punya ide untuk mengajukan tiga novel lain sebagai karya akhir. Dua novel lainnya yaitu Berandal Bermoral dan Joni Melawan Arus hingga terpilihlah satu novel berjudul Catatan Sang Berandal untuk tugas akhirnya tadi.
Laki-laki asal Brebes itu bercerita, proses pembuatan novel Catatan Sang Berandal membutuhkan waktu empat bulan. Kurang lebih, isinya bercerita soal kehidupan pribadinya yang mencintai musik punk tapi juga kental dengan dunia santri.
“Saya mondok sejak usia 9 tahun dan lulus MTs di Cirebon. Sejak kelas 1 MTs itu saya kenal musik punk terus mulai ‘nyetreet’ saat ada konser atau ziarah ke makam Sunan Gunung Jati,” kata dia.
Lulus S2 di UIN Walisongo Semarang di usia 22 tahun
Usai lulus S1 di UIN Walisongo Semarang, Syafiq makin haus akan ilmu. Ia pun melanjutkan studi S2-nya di kampus dan jurusan yang sama. Serta, berhasil menyelesaikan studi S2-nya di usia 22 tahun sebagai lulusan terbaik di jurusannya.
Setelah lulus kuliah S2 di tahun 2023 dengan judul tesis “Pendidikan Agama Kaum Punk”, ia bekerja sebagai staf ahli di DPRD Provinsi Jawa Tengah hingga November 2024. Di masa-masa itu, Syafiq mulai bermuhasabah dan memikirkan tangga kariernya.
“Saya punya cita-cita membangun penerbitan buku dan mencetak banyak penulis muda, serta ingin menjadi dosen,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan kemampuannya, Syafiq memutuskan kuliah S3 (tetap) di UIN Walisongo Semarang. Ke depan, ia ingin membangun yayasan pendidikan yang bisa dipakai sebagai sekolah alternatif untuk masyarakat kurang mampu.
“Saat ini, saya sedang memproses pengajuan SK Yayasan Pendidikan Digdaya Book. Dari sini saya ingin mencetak ratusan penulis buku baik solo maupun antologi, serta bisa diakses secara gratis via penerbit Digdaya Book,” harap Syafiq.
Mahasiswa S3 UIN Walisongo Semarang itu menegaskan kunci sukses dalam pendidikan tidak bergantung pada pendidikan formal saja, melainkan pendidikan dalam masyarakat.
“Sejak menjadi siswa, saya sering belajar di pesantren, jalanan, dan tempat mana pun di alam raya ini. Gurunya semua orang atau apa pun yang kutemui,” kata Syafiq.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tuntaskan S3 UGM dengan IPK Sempurna, Meski Sempat Ditolak Beasiswa karena Usia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.