Tapak Suci Putera Muhammadiyah merupakan perguruan pencak silat historis dari Jogja. Mojok berkunjung ke Bina Manggala, tempat bersejarah yang jadi saksi kelahiran dan perkembangan aliran ini di Kauman, Jogja. Menggali alasan mengapa perguruan ini memilih menanggalkan tenaga dalam.
***
Suara hantaman pukulan dan tendangan ke samsak terdengar jelas saat saya berjalan kaki mendekati Bina Manggala. Sebuah tempat pemusatan latihan atlet Tapak Suci yang terletak di sisi utara Masjid Gede Kauman, Yogyakarta.
Bina Manggala merupakan tempat bersejarah bagi perkembangan perguruan ini. Bangunan ini berdiri medio 1980-an di sebidang tanah pemberian dari Sri Sultan HB IX. Saat ini berfungsi menjadi tempat latihan para atlet pembinaan prestasi di bawah Pimpinan Daerah Tapak Suci Kota Yogyakarta.
Sebentar lagi pukul empat sore. Waktunya para atlet mulai berlatih di gelanggang tersebut. Para remaja berseragam merah-kuning terlihat berseliweran. Ada yang datang sendiri dan ada juga yang diantar oleh orang tua.
Saat anak-anak masuk ke dalam untuk mulai pemanasan di atas matras, sebagian orang tua bercengkerama dan bertukar cerita di depan. Ada tiga orang ibu-ibu yang menarik perhatian saya. Mereka asyik memakan kudapan sambil menunggu putra mereka.
Tiga ibu-ibu itu berasal dari Kotagede. Tiga kali dalam sepekan, mereka mengantar dan menunggu anaknya berlatih. Sebentar lagi ada Kejuaraan Nasional Tapak Suci di Padang yang bertepatan dengan momentum pertambahan usia perguruan yang ke-60, 31 Juli 2023.
Alasan orang tua dukung anaknya latihan Tapak Suci
Salah satu di antara mereka, Juwarti (53) sedang mengantar anak lelakinya yang berusia 16 tahun. Anaknya akan bertanding di kelas fighter di Padang bulan depan.
Awalnya Juwarti tak pernah menargetkan anaknya agar bisa berprestasi di dunia pencak silat. Baginya, mengikuti bela diri supaya anaknya bisa membentengi diri. Ia mengaku yakin dengan Tapak Suci lantaran aliran ini “sejuk”.
“Nuansa agamanya kuat. Di jiwa rasanya sejuk saja gitu. Walaupun bela diri tapi nggak jago-jagoan. Bukan untuk unjuk gigi,” ujarnya. Rekannya sontak tertawa sambil menunjuk gigi Warti yang sudah tanggal.
Menurut Warti, keikutsertaan anaknya di Tapak Suci membuatnya sedikit tenang. Anaknya bisa terhindar dari kenakalan pelajar yang marak di Jogja. Energi remajanya yang melimpah tersalurkan di gelanggang.
“Ini walaupun bela diri saya justru tenang. Pelatih ikut mengawasi anak-anak jangan sampai ikut klitih opo geng-gengan. Banyak kan sekarang pelajar itu,” curhatnya. Ibu-ibu ini asyik berbincang sambil memakan klepon yang mereka beli dari pedagang asongan.
Saya lantas, melangkahkan kaki ke dalam gedung, para siswa TS sudah mentas dari pemanasan. Mereka mulai terpecah menjadi dua kelompok yakni seni dan petarung. Suara hantaman di samsak dan suara berdengus melepaskan energi, terdengar bersahut-sahutan.
Tapak Suci tidak ingin punya banyak pendekar
Bowo Saputro (47), pelatih bersabuk biru lantas menyambut saya. Kami telah membuat janji wawancara sebelumnya. Di tengah riuh gelanggang kami mulai berbincang.
Tapak Suci memiliki tiga jenjang yakni siswa, kader, dan pendekar. Siswa menggunakan sabuk kuning, kader berwarna biru, dan pendekar menggunakan sabuk berwarna hitam.
Perlu proses panjang untuk menjadi pendekar di perguruan ini. Menamatkan jenjang sabuk kuning saja perlu waktu paling cepat 2,5 tahun. Berlanjut pada jenjang kader yang memakan durasi rata-rata lima tahun. Beberapa perguruan lain, hanya butuh 2-3 tahun sampai bisa menyandang gelar pendekar.
“Kalau sesuai kurikulum, bisa sabuk hitam paling cepat 7,5 tahun. Tapi realitanya kebanyakan jauh lebih lama,” terangnya.
Perguruan ini banyak berkembang lewat jaringan sekolah Muhammadiyah. TS menjadi ekstrakulikuler di SD sampai SMA. Di perguruan tinggi juga menjadi salah satu unit kegiatan mahasiswa. Hal itulah yang membuat kurikulum menyesuaikan kemampuan instansi pendidikan.
Di luar itu, terdapat cabang-cabang Tapak Suci yang terbuka bagi peserta umum. Di Jogja, beberapa contohnya ada di Kotagede dan Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
Idealnya latihan berlangsung dua kali setiap pekan. Sedangkan di sekolah umumnya kegiatan ekstrakulikuler hanya ada satu kali dalam setiap minggu.
“Nah makannya, kenaikan tingkat yang idealnya enam bulan sekali, di sekolah jadi setahun sekali,” papar sosok yang juga aktif di Biro Pendidikan dan Anggota Pimda TS Kota Yogyakarta ini.
Di jenjang siswa dan kader sendiri TS memiliki lima tingkatan melati yang terpasang di sabuk. Sedangkan di tingkatan pendekar ada empat plus satu tingkatan.
Setiap siswa TS harus memahami gerak dasar pencak silat dengan baik saat hendak naik tingkat. Tidak sekadar menghafal, tapi juga punya pengetahuan yang matang. Buat Bowo, cepat naik tingkat tidak selalu sejalan dengan kualitas didikan.
“Di perguruan kami, tidak mengejar banyak pendekar supaya terlihat ‘wah’. Lebih menekankan pemahaman gerak bela diri yang matang dan juga akhlaknya,” terangnya.
Pertikaian di jalan adalah hal memalukan
Bowo mengaku, di kalangan TS, terlibat perselisihan di jalan yang melibatkan perguruan adalah hal yang sangat dihindari. Baginya, itu merupakan sesuatu yang memalukan.
“Gesek di jalan itu memalukan. TS terikat dengan induk organisasi yakni Muhammadiyah. Kita juga membawa nilai Islam,” katanya.
Bowo tidak memungkiri bahwa ada segelintir anggota yang terlibat pertikaian di jalan. Namun, perguruan tidak akan terlibat jika itu merupakan urusan personal. Lain hal jika urusan itu melibatkan nama TS, maka anggota lain akan mencoba membantu.
Jika anggotanya terbukti benar maka rekan seperguruan akan turun tangan memberikan dukungan dan bantuan. Jika salah pun tak segan menegur serta mengingatkan.
“Kalau dia mau berkelahi di jalan tentu nggak boleh bawa nama perguruan. Menang urusan sendiri dan kalah juga demikian,” ungkapnya
Bowo mengakui bahwa perguruan ini memang tidak punya doktrin kebersamaan dan kekeluargaan yang menonjol. Itu suatu hal yang menurutnya menjadi kekurangan. Di perguruan lain, menurut Bowo, persaudaraan sejatinya bisa membawa banyak hal baik.
“Doktrin kebersamaan itu salah satu daya tarik pencak silat. Kebersamaan itu kekuatan,” terangnya.
Jika berada di jalur yang tepat kebersamaan bisa membawa banyak maslahat. Ia bercerita, praktik di berbagai perguruan, ketika ada anggota yang sakit keluarganya bisa nyaris tidak mengeluarkan biaya. Hal itu karena saudara di perguruan membantunya bersama-sama.
“Kita mengakui belum bisa sampai di titik itu,” ujarnya.