Mojok berbincang dengan anak muda yang telah menyandang gelar warga sekaligus pendekar di perguruan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Mereka berbagi cerita bagaimana perkenalan hingga menemukan kecintaan. Meski di tengah rentetan konflik yang kerap melibatkan perguruan yang berpusat di Madiun ini.
***
Bentrok antarkelompok di Jogja yang melibatkan perguruan silat Persaudaraan Setia Hati Terate membuat Salman Alfarisi (19) harus berhati-hati di jalan. Ia merupakan atlet pencak silat Jogja yang tumbuh dari perguruan PSHT.
Sehari setelah pertikaian yang terjadi pada awal Juni lalu, pelatih di Pelatda DIY, langsung menginstruksikan untuk menghindari penggunaan pakaian silat IPSI saat perjalanan. Sebab, warnanya hitam, sama dengan seragam PSHT.
“Selain itu beliau juga berpesan agar atribut perguruan sementara tidak digunakan dulu. Stiker di motor, helm, saya lepas. Untuk jaga-jaga,” ujarnya.
Tumbuh di wilayah basis suporter
Bagaimana pun, sebagai atlet yang sedang bersiap untuk seleksi Pra PON DIY, Faris harus menjaga diri. Menghindari segala potensi yang mencederai dan menghambat prestasinya.
Saat bentrokan memanas di bilangan Jalan Taman Siswa pun, Faris memilih menghindar. Ia yakin, andai ikut ke sana tidak ada solusi yang ia berikan. Justru membahayakan dirinya sendiri.
Tumbuh besar di Jogja, membuat Faris berada di lingkungan kantong basis supporter yang kemarin berseteru dengan PSHT. Namun menurutnya, antara ia dan rekannya supporter pun tidak ada ketegangan.
“Saat kejadian, kami justru bercanda dan saling bertanya kenapa nggak ikut ke tempat kejadian,” kenangnya tersenyum.
Saya bertemu Faris di sebuah kedai kopi sekitar Kotagede, Jogja. Kawasan ini memang jadi salah satu basis PSHT di Jogja dengan ditandai keberadaan rayon dan tugu perguruan ini.
Menyelakan waktu untuk wawancara sebelum berangkat latihan, ia datang mengenakan hoodie berwarna hitam. Saat menjabat tangannya, genggaman Faris langsung membuat saya sedikit terhenyak. Lengannya besar dan badannya kokoh. Seketika saya tidak meragukan lagi latarbelakangnya sebagai atlet yang disiplin latihan.
Faris datang bersama Aufa Nada (23) yang juga merupakan atlet silat berlatarbelakang perguruan yang berpusat di Madiun ini. Bedanya, Faris meniti ilmu di Rayon Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) sedangkan Aufa di Rayon Kotagede. Kendati begitu, keduanya merupakan anggota yang sejak awal fokus di pembinaan prestasi.
“Kalau di kami itu memang ada dua. Ada yang sejak awal fokus di prestasi dan ada yang memang kategori ajaran untuk mendalami ilmu PSHT,” terang Aufa, yang juga menggunakan pakaian serba hitam.
“Kami nggak janjian, kok!” ujar Aufa, tertawa saat saya singgung perihal kesamaan warna baju mereka berdua.
Bagaimana mereka mengenal PSHT
PSHT merupakan salah satu perguruan silat terbesar di Indonesia. Basis massanya paling kuat ada di Jawa Timur. Namun, anggotanya nyaris ada di seluruh penjuru tanah air bahkan hingga luar negeri.
Dua anak muda ini menjadi saksi, bagaimana perguruan ini melakukan kaderisasi dengan cukup baik. Setiap anggota bisa menjaring penerus hingga generasinya tak pernah terputus.
Aufa misalnya, ia mengaku bisa bergabung karena ajakan seorang kakak kelasnya. Mulanya, saat masih duduk di bangku SD ia sudah pernah mencicipi belajar silat lewat perguruan Tapak Suci. Hal itu karena ia bersekolah di SD Muhammadiyah yang menjadikan TS sebagai ekstrakulikuler wajib.
Ia lantas melanjutkan pendidikan SMP dengan kelas khusus olahraga. Ia memang sudah punya keinginan untuk mendalami beladiri. Di sekolahnya, ia mendapat saran dari guru untuk melanjutkan belajar pencak silat di rumah dengan mengikuti perguruan.
“Kakak kelas saya kebetulan ada yang sudah jadi pelatih PSHT. Dia ngajak untuk gabung. Ternyata di dekat rumah saya ada tempat latihan,” kenangnya.
Singkat cerita, Aufa akhirnya bergabung dengan perguruan ini terhitung sejak 2013 saat masih duduk di bangku SMP. Bagi mereka yang bergabung di usia belia dan memiliki potensi, biasanya memang ada arahan untuk mendalami jalur keprestasian.
Hal serupa juga dialami oleh Faris. Ia bergabung saat masih duduk di bangku SMP. Awalnya, ia tidak punya orientasi untuk meraih prestasi. Pemuda ini hanya punya ketertarikan di dunia beladiri.
Perkenalannya dengan PSHT berawal dari ajakan seorang gurunya di SD. Suatu ketika, saat sudah SMP ia kembali bermain ke tempat sekolahnya dahulu.
“Ini lucu. Saya itu suka main pakai celana congkrang silat. Guru SD saya yang kebetulan warga perguruan, akhirnya mengajak untuk bergabung,” terangnya. Akhirnya ia mulai latihan di rayon terdekat dari rumahnya yakni di UST.
Jadi pendekar, belajar sabar
Setelah mengikuti latihan, proses pendidikan di perguruan mulai mereka lakukan. Proses menjadi pendekar melewati empat tingkatan sabuk. Mulai dari sabuk polos berwarna hitam, sabuk merah muda, sabuk hijau, hingga sabuk putih mori.
Menjajaki PSHT sejak awal, Faris merasakan betapa kerasnya latihan. Ia masih ingat, mendapat instruksi posisi kuda-kuda tengah. Lalu buk… Pukulan telak mengenai dadanya. Saat itu yang ia rasakan hanyalah sesak.
Pemuda ini masih berusia empat belas namun ikut latihan dengan para peserta lain yang sudah anak kuliahan. Kendati begitu, pelatih tidak memberikan keringanan dan perlakuan special. Porsi latihan berat tiga kali sepekan pun langsung ia dapat.
Usia yang masih muda membuat Faris mendapat arahan untuk menekuni bidang prestasi. Setiap hari Minggu ia menjalani latihan khusus sejak jam delapan pagi hingga dua belas siang.
Ia mengaku awalnya memang sekadar ikut ajakan. Namun setelah mulai latihan banyak melakukan pencarian di internet tentang identitas perguruan yang ia masuki. “Batin saya saat itu, ternyata sangar juga ya,” kenangnya tertawa.
Kebanggaan mulai tumbuh di dada Faris. Meski belum resmi menjadi warga -sebutan untuk anggota PSHT yang sudah lolos ujian- ia sudah merasa menjadi bagian dari perguruan dengan simpatisan besar di Indonesia.
“Tapi jujur, kebanggaan itu malah nggak bikin saya senang berkelahi,” sergahnya.
Pendekar yang fokus mengejar prestasi
Beratnya latihan membuat ia banyak mengalami rasa sakit. Dan itu tidak ingin ia lanjutkan di luar gelanggang. Padahal, Faris mengaku kalau dulunya ia gemar berkelahi saat masih di sekolah dasar.
“Ada yang berubah. Saya nggak kaya sebelumnya lagi yang suka berantem dan kepancing emosi. Selain itu, rasanya jadi lebih mandiri dan nggak gampang mengeluh,” terangnya.
Faris berhasil menapaki jenjang demi jenjang selama dua tahun sampai akhirnya menyandang gelar warga PSHT. Ia juga sudah bisa disebut pendekar tingkat pertama di perguruan ini.
Prestasinya pun, dua tahun terakhir sedang mengalami peningkatan. Faris awalnya didapuk menjadi atlet di tarung. Namun, setelah menjajal beragam kompetisi ia belum menemukan jalan peruntungan.
Hingga akhirnya ia mencoba jalan di sektor seni tunggal. Ia berlatih bersama tim Kota Yogyakarta. Saat peluang untuk mengikuti Porda datang, Faris berusaha maksimal sehingga berhasil meraih medali perak.
“Juara satu dan dua mendapat panggilan pelatihan daerah. Seminggu lima kali, untuk nantinya seleksi di Pra Pon,” ujarnya bungah.
Baca halaman selanjutnya
Hal yang membuat mereka cinta PSHT
Hal yang membuat mereka cinta PSHT
Setelah melewati proses panjang, Faris mengaku kecintaannya terhadap perguruan ini makin dalam. Salah satunya timbul karena solidaritas dan kekeluargaan sesama warga.
PSHT resmi berdiri pada 1922 di Madiun. Seperti namanya, persaudaraan begitu kental di antara anggota. Solidaritas itu juga yang dirasakan Aufa setelah resmi menjadi warga. Hal yang membuatnya mantap untuk terus berkhidmat di perguruan setelah resmi menjadi menjalani prosesi “wisuda” pada 2015.
“Saya sampai pernah berpikir, kalau nggak ikut PSHT ini jadi seperti apa ya hidup saya,” kata Aufa, mengingat ia bisa banyak menorehkan prestasi di kejuaraan daerah saat masa SMP-SMA dulu.
Persaudaraan di PSHT baginya kuat dan tidak mengenal usia. Sebagai warga yang masih tergolong muda ia juga merasa dihargai lantaran sudah menempuh proses panjang untuk menjadi pendekar. Selain itu, pelatih kerap menyambanginya ke rumah untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga.
Jalinan persaudaraan itu menurutnya juga memupuk kepercayaan dalam diri. Ia mengaku menjadi lebih percaya diri untuk berkompetisi karena dukungan rekan seperguruan. Meskipun Jogja bukan tempat mayoritas mereka berada, ia merasakan kehangatan.
“Setelah wisuda dan jadi warga, saya lebih percaya diri dan bisa juara. Dulu, kejuaraan kalah terus,” celetuknya.
Menjadi warga sekaligus pendekar, baik Aufa maupun Faris mendapat amanah untuk turut melatih para siswa. Selain itu, pelatih juga berpesan kepada mereka supaya bisa menemukan generasi baru. Mendampingi calon-calon warga mendapat sabuk putih mori penanda sah menjadi bagian dari keluarga.
Hal itu coba Aufa jalankan dengan maksimal. Namun, belum sampai mengajak secara langsung, keluarganya malah sudah berbondong-bondong ikut perguruan. Bapaknya menyusul pertama hingga resmi menjadi warga pada 2017. Berlanjut ibu dan adiknya pada 2021 lalu.
“Itu lucunya. Dulu saya sempat dilarang karena suka pulang malam. Malah mereka gabung setelah saya,” kenangnya terbahak.
“Mungkin ya mereka melihat ada perubahan dari diri saya. Jadi lebih mandiri dan sopan terhadap orang tua,” sambungnya.
Tetap bertahan di tengah konflik
Menjadi pendekar dan bagian dari keluarga PSHT sudah menjadi jalan yang Aufa dan Faris pilih. Meski mereka tahu di luar sana banyak warga yang terlibat pertikaian. Baik antar perguruan beladiri hingga dengan kelompok massa tertentu.
Kabar-kabar semacam itu sudah Aufa dengar beberapa kali selama aktif di persaudaraan ini. Di Jawa Timur, PSHT punya konflik panjang dengan perguruan Setia Hati Winongo. Pernah juga bertikai dengan IKSPI Kera Sakti dan Pagar Nusa.
“Pasti selalu didasari kesalahpahaman,” ujarnya.
Menurutnya tak pernah ada ajaran untuk saling bentrok di PSHT. Namun sebagai organisasi besar, jika ada yang mengusik, pasti banyak yang anggota yang ikut tersulut.
Faris juga berpendapat serupa. Baginya, sulit untuk menyatukan ribuan kepala dengan beragam latarbelakang di tubuh perguruan. Satu hal yang jelas, ia mengaku tidak pernah mendapat ajakan untuk turun ke jalan jika ada anggota yang tersakiti.
Sebagaimana saat konflik di Jogja, keduanya memilih menghindar. Momen itu merupakan pertama kalinya, mereka menyaksikan pertikaian besar yang membawa persaudaraannya terjadi di Jogja.
Aufa mengaku hal yang paling membuatnya terpukul adalah proses latihan calon warga PSHT yang harus berhenti sampai waktu yang belum ia ketahui. Hal itu lantaran tempat yang biasa mereka gunakan, untuk sementara melarang kegiatan perguruan.
“Latihannya di semacam gedung serbaguna. Ada larangan jadi sementara latihan kami off dulu. Entah sampai kapan,” ungkapnya.
Padahal menurutnya bebeberapa tahun belakangan peminat PSHT mengalami peningkatan. Aufa masih ingat, pada 2013, rekan satu angkatannya di rayon hanya sebelas orang. Generasi beberapa tahun terakhir sudah bisa mencapai lima puluh orang per angkatan.
Mereka hanya bisa berharap konflik semacam ini tidak terjadi lagi. Sehingga anak-anak muda yang ingin belajar pencak silat, lewat perguruan apa pun tidak terhalang lagi.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Tantangan Terbuka Untuk Perguruan Pencak Silat PSHT
Cek berita dan artikel lainnya di Google News