Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal

Sinci Gus Dur di Altar Pecinan Semarang, Papan Arwah untuk Bapak Tionghoa

Aninda Putri Kartika oleh Aninda Putri Kartika
31 Januari 2022
dalam Liputan
Beranda Liputan
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Gus Dur dikenang jasanya oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sebagai penghormatan, di Gedung Rasa Dharma Semarang ada sinci Gus Dur. Menjelang Imlek warga Tionghoa di Semarang turut memanjatkan doa untuk Gus Dur.

***

Bangunan di salah satu sudut Jalan Gang Pinggir Kranggan, Kawasan Pecinan Kota Semarang menarik perhatian saya. Bukan lantaran bentuk arsitekturnya, namun adanya prosesi jelang Imlek di tempat tersebut.

Saya lantas masuk ke gedung bersejarah yang dibangun puluhan tahun silam dengan nomor 31-31A itu pada hari Rabu (26/1). Bentuknya memang tampak seperti rumah toko (ruko) biasa. Di atas pintu masuknya terpampang papan beraksen aksara Han atau aksara Tiongkok, jika diartikan dalam aksara Indonesia, berbunyi Perkoempoelan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma).

Gedung Rasa Dharma Semarang mojok.co
Tampak depan Gedung Rasa Dharma Semarang. (Anin Kartika/Mojok.co)

Aroma wangi dupa dari dalam gedung tersebut tercium hingga luar bangunan kala berada di depan Gedung Rasa Dharma. Lebih masuk ke dalam, angka 1876 di dinding berbalut keramik putih, yang merupakan tahun terbentuknya gedung tersebut menyambut saya.

Jeruji besi berwarna merah menyala berukir huruf Tiongkok terlihat memagari altar utama tempat untuk bersembahyang. Tentunya altar tersebut dilengkapi lilin, dupa dan beberapa sinci atau papan arwah yang tertanam aksara Han. Di altar tempat berdoa itu, tampak tiga orang keturunan Tionghoa tengah melakukan sebuah prosesi.

Menyalakan dupa menjadi awal prosesi mereka, setelah itu ketiga orang itu melantunkan doa di depan altar yang dipagari jeruji besi tersebut. Kim Cua atau uang arwah berwarna kuning mereka siapkan, bersamaan dengan itu, satu tampah bambu juga telah dibawa satu di antara mereka.

Uang arwah tersebut kemudian ditempatkan ke dalam tampah bambu untuk dibawa ke luar gedung. Beberapa orang tersebut kemudian beriringan menjauh dari altar utama untuk membawa uang arwah ke luar gedung.

Suasana jelang Imlek di Gedung Rasa Dhrama Semarang mojok.co
Suasana jelang Imlek di Gedung Rasa Dhrama Semarang. (Anin Kartika/Mojok.co)

Suara simbal pun mengiri langkah mereka hingga ke luar ruangan. Sampainya di luar Gedung Rasa Dharma, uang arwah yang ditempatkan di tampah bambu pun dibakar. Tampah bambu pun diangkat hingga abu sisa pembakaran uang arwah berhamburan terbawa angin. Alat musik pukul berupa simbal pun seketika dihentikan setelah abu sisa pembakaran uang arwah hilang terbawa angin.

Setelah itu, beberapa orang yang mengikuti prosesi melangkah kembali ke altar utama. Di depan altar utama, mereka langsung membersihkan papan arwah yang ada di meja altar.

Sinci Gus Dur

Dari beberapa papan arwah atau sinci, ada satu yang membuat saya penasaran. Pasalnya semua papan arwah di altar itu terbenam aksara Han, namun ada satu yang yang terukir dengan aksara Indonesia dengan kombinasi aksara Han.

Tulisan KH. Abdurrahman Wahid, sangat jelas terukir di papan arwah tersebut yang di sisi kanan kirinya terukir aksara Han. KH. Abdurrahman Wahid yang dimaksud adalah sosok Gus Dur tokoh pluralisme dan juga Presiden keempat Indonesia.

Jelang Imlek, sinci Gus Dur yang ada di Gedung Boen Hian Tong tak luput dari prosesi pembersihan. Prosesi sakral itu juga menjadi pembuka rentetan acara jelang Imlek oleh anggota Perkumpulan Boen Hian Tong.

Imlek mojok.co
Prosesi pembersihan jelang Imlek. (Anin Kartika/Mojok.co)

Selesai dengan prosesi tersebut, saya lantas berbincang dengan seorang perempuan paruh baya yang mengenakan baju batik. Ia adalah Wenshi Ling-Ling atau Indriyani Hadisuwarto (59), yang juga mengikuti prosesi di Gedung Rasa Dharma.

Iklan

Ling-Ling mengaku sebagai Sekretaris Perkumpulan Sosial Rasa Dharma, Ia pun bercerita banyak mengenai prosesi yang telah berlangsung, dan menjawab rasa penasaran saya mengenai sinci bertuliskan KH. Abdurrahman Wahid.

Diterangkan Ling-Ling, papan arwah di tempatkan di meja altar untuk mengenang dan menghormati para leluhur entnis Tinghoa. Tak hanya itu, ia juga menceritakan bagaimana papan arwah Gus Dur bisa ada di meja altar Gedung Rasa Dharma.

“Awalnya pada 2012 silam Ketua Komunitas Tionghoa Kota Semarang, Harjanto Halim,mendapatkan inisiatif dari seorang cendikiawan dari Bandung yang bernama Soegiri. Ia menyampaikan agar Gus Dur dapat dikenang serta mendapatkan penghormatan dari komunitas Tionghoa di Semarang,” katanya.

Sinci Gus Dur mojok.co
Sinci Gus Dur. (Anin Kartika/Mojok.co)

Dilanjutkannya, hal tersebut dikarenakan jasa-jasa Gus Dur terhadap komunitas Tionghoa yang ada di Indonesia. Ling-Ling menuturkan, awal pembuatan sinci Gus Dur melalui proses yang sangat panjang, karena harus meminta izin kepada istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, hingga diskusi santai dengan sahabat Gus Dur yakni KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.

“Istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah sangat mendukung papan arwah Gus Dur ditempatkan di Gedung Rasa Dharma. Namun ia meminta agar komunitas Tionghoa Rasa Dharma berdiskusi dengan Gus Mus terkait konsep sinci yang akan dibuat,” paparnya.

Ling-Ling juga mengatakan, Gus Mus merupakan sahabat terdekat Gus Dur yang diyakini mengetahui seluk-beluk serta keinginan sang Bapak Tionghoa tersebut. “Papan arwah atas nama Gus Dur itu tidak semata-mata langsung dibuat dan ditempatkan di sini. Prosesnya cukup lama hampir dua tahun karena harus meminta izin ke ibu Sinta dan Gus Mus, akhirnya ditempatkan di altar Gedung Rasa Dharma pada 2014,” ucap Ling-Ling.

Desain mirip atap Masjid Demak

Menurut Ling-Ling pembuatan bentuk sinci Gus Dur berdasarkan hasil diskusi dengan Gus Mus. Dan disepakati bentuk sinci Gus Dur menyerupai atap Masjid Demak yang memiliki tiga tingkatan.

“Waktu bertemu Gus Mus kami sempat memiliki ide bentuk sinci Gus Dur setengah lingkaran menyerupai kubah Masjid, tapi Gus Mus menolak lantaran itu bukan yang diinginkan Gus Dur. Katanya Gus Dur lebih menyukai arsitektur Masjid Demak yang memiliki makna kebajikan, Islam dan Iman pada setiap tingkatnya,” jelasnya.

Selain berbentuk atap Masjid Demak, Ling-Ling menuturkan aksara Han yang ada di sisi kanan kiri sinci Gus Dur, berarti Bapak Tionghoa Indonesia. Ling-Ling juga menyebutkan, Gus Dur merupakan tokoh agama Islam yang menurut beberapa tokoh Islam, sosoknya tidak boleh digambarkan dan dibuat patung.

Sinci Gus Dur mojok.co
Ling-Ling, di depan sinci Gus Dur. (Anin Kartika/Mojok.co)

“Kami menghormati itu, jadi sinci ini menjadi hal tepat karena tidak menggambarkan sosok menyerupai Gus Dur,” terang Ling-Ling.

Ia menambahkan sesembahan pada sinci Gus Dur juga berbeda dengan sinci lainnya. “Tidak ada daging babi untuk sinci Gus Dur, biasanya kami berikan mendoan, kopi dan ayam ingkung. Namun tetap kami bersihkan sinci tersebut ada saat jelang Imlek, hal itu juga sebagai momentum pembuka rangkaian acara Imlek,” tambahnya.

Ling-Ling menuturkan, bahwa bentuk penghormatan kepada Gus Dur dari etnis Tionghoa tidak hanya ketika hari raya Imlek saja di Gedung Rasa Dharma. Namun, setiap bulan Desember ketika memperingati Haul Gus Dur. Gedung Rasa Dharma juga dijadikan tempat bagi para Gusdurian, Ansor, Banser dan komunitas lintas agama.

“Ketika haul Gus Dur gedung ini juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya para komunitas lintas agama,” terang Ling-Ling.

Sang Bapak Tionghoa

Bagi etnis Tionghoa, Gus Dur merupakan Bapak Tionghoa lantaran jasanya kepada etnis Tionghoa saat menjabat sebagai Presiden keempat Indonesia pada 1999 silam.

Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur menerbitkan Intruksi presiden Nomor 6/2000, pada 17 Januari tahun 2000, tentang etnis Tionghoa bebas menganut kepercayaan dan berekspresi dalam adat budaya atau tradisi Tionghoa.

Usai menerbitkan Inpres, pada 9 April 2001 silam Gus Dur meresmikan tahun baru China atau Imlek sebagai hari libur nasional, melalui Keputusan Presiden nomor 9 tahun 2001.

“Seperti yang masyarakat ketahui jasa Gus Dur selama menjadi Presiden sangat berarti bagi masyarakat maupun Komunitas Tionghoa, tak hanya di Kota Semarang bahkan hingga di pelosok Indonesia,” jelas Ling-Ling.

Sementara itu, Ling-Ling kembali mengenang tatkala Gus Dur di nobatkan sebagai Bapak Tionghoa pada 2004 silam di Klenteng Tay Kak Sie yang jaraknya tak sampai satu kilometer dari gedung Rasa Dharma.

Foto Gus Dur juga dipasang di Klenteng Tay Kek Sie sebagai bentuk penghormatan etnis Tionghoa kepada tokoh Pluralisme di Indonesia. Lebih lanjut Ling-Ling menceritakan, bahwa Gus Dur juga merupakan keturunan etnis Tionghoa.

“Beliau dulu dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa juga di sini tepatnya di Klenteng Tay Kek Sie yang jaraknya tidak jauh dari sini,”ucap Ling-Ling.

Gedung Rasa Dharma Semarang mojok.co
Gedung Rasa Dharma Semarang. (Anin Kartika/Mojok.co)

Sementara itu Ling-Ling menuturkan, mengenai cerita singkat sejarah cikal bakal dari Gedung Perkoempolan Sosial Rasa Dharma (Bion Hong Tong), Gedung yang didirikan pada 1876 silam merupakan tempat berkumpulnya para cendikiawan etnis Tionghoa di era tersebut.

Menurut Ling-Ling pada zaman dahulu tak semua orang Tionghoa mau masuk dalam perkumpulan tersebut lantaran dianggap sebagai perkumpulan elite orang Tionghoa. Tak hanya itu, ketika awal didirikan tak ada satu pun perempuan yang tergabung.

“Kalau zaman dulu sekali mayoritas anggota itu laki-laki dan orang-orang Tionghoa tertentu saja,”jelasnya.

Ling-Ling menuturkan, seiring berjalannya waktu banyak perubahan dari perkumpulan sosial Rasa Dharma. Lantaran pada dasarnya Rasa Dharma merupakan sebuah perkumpulan yang fokus pada aktifitas sosial.

Selain itu, kini banyak perempuan yang masuk dalam kepengurusan perkumpulan Rasa Dharma. Tak hanya itu, komunitas lintas agama juga ikut andil dalam berjalannya perkumpulan tersebut.

“Anggota Rasa Dharma sekarang ada 250 orang dan itu juga tidak hanya orang keturunan Tionghoa saja, ada juga anak-anak dari lintas agama,”terangnya.

Hingga Kini Gedung Rasa Dharma masih aktif dalam setiap kegiatan sosial, prosesi ritual jelang Imlek dengan memberikan doa kepada para leluhur, termasuk peringatan Haul Gus Dur sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak Pluralisme sekaligus Bapak Tionghoa Indonesia.

Reporter : Aninda Putri Kartika
Editor     : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Pengakuan Admin @TxtdrBerseragam: Publikasikan Aparat Nakal Bukan karena Benci dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Tags: Gus Durimlekpapan arwahrasa dharma semarangSemarangsinci gus durtahun baru imlektionghoa
Pos Sebelumnya

Pengakuan Admin @TxtdrBerseragam: Publikasikan Aparat Nakal Bukan Karena Benci

Pos Selanjutnya

Elisha Orcarus: Dalang Perempuan dan Sinden Andalan Ki Seno Nugroho

Aninda Putri Kartika

Aninda Putri Kartika

Jurnalis suka nongkrong dibawah pohon ringin

Artikel Terkait

Kafe Gethe di Kampung Sekayu Semarang. MOJOK.CO
Ragam

Rogoh Kantong Pribadi Sampai Ratusan Juta demi Bikin Kafe Bergaya Retro di Tengah Permukiman Padat Kota Semarang

14 November 2025
Pemkot Semarang kuatkan usulan gelar pahlawan nasional ke KH. Sholeh Darat MOJOK.CO
Kilas

KH. Sholeh Darat Semarang Harusnya Semat Gelar “Pahlawan”: Penyusun Tafisr Al-Qur’an Jawa Pegon-Guru bagi RA. Kartini hingga KH. Hasyim Asy’ari

12 November 2025
Pemkot dan Warga Kota Semarang Berduka atas Wafatnya V. Djoko Riyanto, Suami Wali Kota Semarang MOJOK.CO
Kilas

Pemkot dan Warga Kota Semarang Berduka atas Wafatnya V. Djoko Riyanto, Suami Wali Kota Semarang

10 November 2025
Seorang bapak di Semarang tak tega lihat anak stunting, hindari isu fatherless. MOJOK.CO
Ragam

Awalnya Tak Tega Lihat Anak Sakit hingga Dampingi Istri ke Puskesmas, Lalu Sadar Pentingnya Peran Seorang Bapak

7 November 2025
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Elisha Orcarus: Dalang Perempuan dan Sinden Andalan Ki Seno Nugroho

Elisha Orcarus: Dalang Perempuan dan Sinden Andalan Ki Seno Nugroho

Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.