Cerita Rarasmudo Budoyo dan Batari, Sanggar Seni di Jogja yang Manfaatkan Jalanan untuk Berkesenian

Ilustrasi - Sanggar seni di Jogja dengan konsep kesenian jalanan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sanggar Rarasmudo Budoyo dan Sanggar Batari di Jogja memberikan pengalaman berkesenian yang lebih terbuka dan tidak terlalu formil. Dua sanggar seni di Jogja tersebut memiliki konsep berkesenian yang cukup menarik, yakni konsep street art (kesenian jalanan).

***

Selasa, (27/8/2024) malam WIB, berlokasi di Jalan Malioboro, Jogja, berlangsung acara kebudayaan rutin bertajuk “Sekarinonce”. Acara ini berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dan rutin diadakan setiap Selasa dan Sabtu.

Acara “Sekarinoce” berlangsung di pinggir Jalan Malioboro tanpa panggung khusus atau dekorasi mewah, hanya menggunakan ruang publik yang tersedia. Meski begitu, para penampil nampak mempersiapkam pertunjukan sebaik mungkin. Para penampil dari dua sanggar seni di Jogja itu tampil dengan pakaian adat Jawa lengkap dengan atribut-atributnya.

Karena berada di pusat keramaian, membuat pertunjukan lebih mudah diakses oleh siapa saja yang lewat, termasuk turis asing dan warga lokal. Tanpa adanya pembatas antara penonton dan penampil, suasana pun menjadi lebih intim dan interaktif.

Biasanya, acara ini diisi oleh beberapa sanggar seni berbeda di Jogja, yang telah diseleksi oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Adapun yang berkesempatan mengisi acara malam itu adalah Sanggar Rarasmudo Budoyo dan Sanggar Batari.

Acara diawali dengan tarian pembuka dengan tujuan untuk menarik perhatian para pejalan kaki di sepanjang Jalan Malioboro.

Rarasmudo Budoyo dan Batari, Sanggar Seni di Jogja dengan Konsep Kesenian Jalanan MOJOK.CO
Sanggar Batari menampilkan pertunjukan tari. (Adelia Melati Putri/Mojok.co)

Kolaborasi musik bambu dan alat musik modern

Setelah tarian dari Sanggar Batari, Sanggar Rarasmudo Budoyo lalu melanjutkan pertunjukan dengan mempersembahkan musik bambu yang dikolaborasikan dengan alat musik modern seperti gitar dan biola.

Musik bambu (alat musik tradisional) memang menjadi ciri khas dari sanggar seni di Jogja ini. Dengan tambahan alat musik modern, mereka menciptakan aransemen yang unik dan segar.

Sanggar seni di Jogja tersebut tidak sedang berusaha menghilangkan keaslian musik tradisional. Tambahan elemen-elemen modern justru agar musik mereka lebih mudah diterima oleh generasi muda.

Malam itu, Sanggar Rarasmudo Budoyo membawakan beberapa lagu bertema zaman dahulu (tembang dolanan) yang di-mix dengan lagu-lagu tradisional lainnya seperti “Gambang Suling”, “Gundul-Gundul Pacul” “Suwe Ora Jamu” dan “Padhang Bulan”.

Sanggar seni Jogja yang lahir dari proses otodidak

Setelah acara berakhir sekitar pukul 23.00 malam WIB, saya berkesempatan melakukan wawancara singkat dengan Aulia Cita Rahmawati, ketua Sanggar Rarasmudo Budoyo dan Sherli Merliana, pembimbing Sanggar Batari.

Cita menjelaskan, acara Sekarinoce ini biasanya diadakan di beberapa titik di sepanjang Jalan Malioboro, seperti di Teras Malioboro 1 dan 2 serta Pasar Beringharjo.

Namun, karena Selasa itu ada kekhawatiran dengan potensi demonstrasi, acara pun dipindahkan ke ujung Jalan Malioboro untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan para penampil dan penonton.

Cita dan Sherli menceritakan, Sanggar Rarasmudo Budoyo selalu mengedepankan fleksibilitas dan kesederhanaan dalam setiap penampilan mereka.

Meskipun tidak memiliki tempat latihan khusus, sanggar seni asuhannya tetap bersemangat untuk terus berkarya dan tampil di berbagai lokasi. Termasuk di jalanan sebagai bagian dari upaya memperkenalkan seni dan budaya kepada masyarakat luas, khususnya seni yang mereka ciptakan agar semakin terkenal.

Sanggar Rarasmudo Budoyo telah berdiri selama tiga tahun dan memiliki fokus utama pada musik tradisional

Sanggar seni di Jogja ini memulai kiprahnya secara otodidak. Percaya atau tidak, mereka mengawali sanggar dalam kondisi belum memiliki pengalaman di bidang tari maupun musik.

Sherli menjelaskan, musik bambu yang dibawakan pada acara tersebut adalah hasil ciptaan dari Sanggar Rarasmudo Budoyo sendiri.

Sanggar seni di Jogja yang tidak fokus ke satu kemampuan

Sanggar Rarasmudo Budoyo memilki fokus pada musik, sementara Sanggar Batari fokus pada seni tari melalui “Sanggar Batari’. Telah berdiri selama sepuluh tahun, sanggar tari itu lahir berawal dari hobi Sherli sejak SMP.

“Waktu aku SMA, aku coba-coba untuk ajak anak-anak kampung latihan menari dengan pengetahuanku yang seadanya. Sampai akhirnya jadilah Sanggar Batari ini, Mbak,” kenang Sherli mengingat perjuangannya dulu untuk membentuk sanggar seni di Jogja tersebut.

Sanggar Batari menampilkan berbagai jenis tarian, termasuk tarian tradisional, tarian kreasi, tarian klasik gaya Jogja dan Solo, serta tarian ciptaan mereka sendiri yang diberi nama “Tari Jagat.”

“Di sanggar ini, yang menari pasti bisa menyanyi, dan yang menyanyi pasti bisa menari,” jelas Sherli.

“Jadi, kita nggak fokus ke satu kemampuan saja, kita mencoba untuk mengembangkan anak-anak, hingga mereka mampu menguasai tari maupun musik sekaligus,” sambung Sherli.

Meskipun pada awalnya Sanggar Batari hanya memiliki tiga penari, kini mereka telah berkembang pesat dengan memiliki sekitar 30-40 penari muda berbakat.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari seringnya mereka ikut serta dalam berbagai pentas di Jogja dan sering memenangkan penghargaan. Capaian itu tentu saja menarik minat banyak anak muda untuk bergabung.

Sanggar seni di Jogja dengan konsep kesenian jalanan

Kedua sanggar ini, baik Rarasmudo Budoyo maupun Batari, menekankan bahwa mereka terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar dan bergabung, tanpa syarat apapun dan tanpa biaya sepeserpun.

Mereka juga menekankan bahwa penampilan mereka selalu mengusung konsep “street art” (kesenian di jalanan). Bukan di tempat-tempat formal seperti pendopo atau acara besar Kesultanan.

Hal ini dilakukan untuk menjangkau lebih banyak penonton dan membuat seni budaya lebih inklusif. Hal ini memungkinkan berbagai kalangan masyarakat, termasuk turis, untuk menikmati dan mengapresiasi pertunjukan budaya.

Selain menerapkan konsep “street art” hal menarik lainnya dari Sanggar Rarasmudo Budoyo dan Sanggar Batari adalah tempat latihan mereka yang tidak biasa. Kedua sanggar seni ini tidak memiliki gedung latihan tetap atau studio khusus.

Sanggar seni yang sudah berdiri cukup lama di Jogja ini selalu memanfaatkan ruang publik, seperti jalan di kampung atau ruang terbuka lainnya sebagai tempat berlatih dan berkarya.

Selain menekankan pada fleksibilitas dan keterbukaan sanggar terhadap lingkungan sekitarnya, dengan melakukan latihan di tempat-tempat yang mudah diakses oleh masyarakat, sanggar seni di Jogja ini secara langsung membuka kesempatan bagi mereka yang tertarik untuk bergabung atau belajar lebih dalam tentang seni budaya yang mereka tampilkan.

Lebih dari sekadar tempat latihan, jalan kampung sebagai tempat berlatih memberikan nuansa yang berbeda dan lebih natural. Lingkungan yang tidak terikat pada formalitas panggung memungkinkan para anggota sanggar untuk berlatih dengan lebih bebas dan kreatif.

Selain itu, latihan di ruang terbuka juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk lebih beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan, seperti cuaca dan suasana jalanan yang dinamis, yang bisa memperkaya pengalaman tampil mereka saat berada di panggung sebenarnya.

Proses Seleksi untuk Tampil

Cita menambahkan, untuk bisa tampil dalam acara kebudayaan seperti Sekarinoce, kedua sanggar seni di Jogja ini harus melalui proses seleksi yang ketat yang diatur oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta.

Proses seleksi ini dimulai dengan mendaftarkan sanggar mereka ke Dinas Kebudayaan Yogyakarta, di mana mereka harus mengajukan proposal yang menjelaskan kelompok kesenian atau kebudayaan yang mereka miliki.

Setelah pendaftaran, sanggar seni di Jogja tersebut harus masuk dalam Rintisan Kelurahan Budaya (RKB) dan membentuk kelompok seni yang terstruktur.

Setelah itu, sanggar harus memenuhi syarat lain seperti memiliki sertifikasi Nomor Induk Kesenian (NIK) yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan.

Sertifikasi ini memastikan bahwa sanggar tersebut diakui secara resmi sebagai bagian dari kelompok seni budaya di Yogyakarta. Dengan mendapatkan NIK, sanggar berhak tampil dalam acara-acara budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan.

Jadwal penampilan biasanya diberikan dua kali dalam setahun oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta, mencakup penampilan musik dan tarian. Proses seleksi yang ketat ini memastikan bahwa hanya sanggar-sanggar yang benar-benar serius dan memiliki dedikasi tinggi terhadap pelestarian budaya yang bisa tampil, sekaligus memberikan standar kualitas pertunjukan yang ditampilkan kepada masyarakat dan wisatawan.

Penulis: Adelia Melati Putri
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA: Pengobatan Herbal Pagar Nusa Tak Mau Sekadar Mengobati, Ajari Pasien Obati Diri Sendiri

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

 

Exit mobile version