Bagaimana ceritanya, Wonogiri yang sudah punya julukan sebagai “Kota Gaplek” juga punya julukan sebagai “Ibu Kota Mie Ayam”?
***
Sebagai orang asli Wonogiri, Jawa Tengah, ada satu culture shock yang saya dapatkan saat pertama merantau ke Yogyakarta pada 2017 lalu. Teman-teman saya, baik yang akamsi Yogyakarta maupun dari luar Pulau Jawa, banyak yang mengidentifikasi kota kelahiran saya tersebut sebagai “Ibu Kota Mie Ayam”.
Alasannya pun beragam, mulai dari saking banyaknya orang Wonogiri yang berjualan mie ayam di kota-kota mereka, hingga Wonogiri sendiri yang mereka anggap sebagai tempat mie ayam pertama kali ditemukan. Alasan pertama menurutku masih masuk akal, sih. Namun, untuk alasan kedua, saya sendiri meragukannya.
Perlu kalian ketahui, seumur-umur hidup di Wonogiri, saya belum pernah mendengar label bahwa Wonogiri adalah “Kota Mie Ayam”. Baru setelah merantau ke Yogyakarta, label asing tadi mendarat di telinga saya.
Menurut saya, kalau mau lebih pas, “Kota Gaplek” adalah julukan yang jauh lebih layak melekat kepada Wonogiri. Sebab, singkong kering itu memang menjadi komoditas dan bahan makanan pokok yang khas di wilayah ini.
Nah, lantas mengapa pada akhirnya julukan “Kota Mie Ayam” lebih melekat erat dengan Wonogiri? Jujur, sebagai orang yang lahir dan besar di Wonogiri, saya sendiri juga penasaran buat menelusuri akar sejarahnya.
Makan mie, bukan budaya Nusantara
Makan mie bukanlah budaya asli Nusantara. Makanan berbahan dasar tepung gandum tersebut aslinya dari negeri Tiongkok, khususnya wilayah bagian selatan seperti Fujian dan Guangdong. Budaya makan mie di Tiongkok, diprediksi sudah ada sejak 4000 tahun lalu. Sementara di Nusantara, mie mulai dikenal seiring dengan masuknya pedagang Tionghoa sejak abad ke-5 masehi dan berkembang seiring makin banyaknya pecinan.
Pada era Majapahit, misalnya, ada istilah “laksha” untuk menyebut mie. Sayangnya, makanan itu tidak terlalu populer. Catatan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa pun tak memasukannya sebagai salah satu makanan pokok, maupun panganan yang harus tersaji dalam acara-acara khusus. Pendeknya, mie memang ada tapi sifatnya masih hidden gem.
Nah, Wonogiri sendiri–yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Kuno dan Majapahit–juga belum akrab dengan mie pada masa itu. Dalam catatan tertua kuliner Jawa, yakni Serat Centhini (1814), menyebut bahwa budaya makan orang-orang Wonogiri masih sangat terpengaruh dengan tradisi Mataram. Sego-segoan lengkap dengan lauk pauk masih jadi menu andalan.
Tak ada mie di Serat Centhini
Misalnya, dalam catatan perjalanan Cebolang ke Wonogiri yang dicatat Serat Centhini, menu Gubugan Wonogiri terdiri atas nasi, opor menthok, ayam goreng, gudeg, bubuk kedelai, sambel pete ati ampela, sambel uleg, sambel emprit, telur asin, pisang emas.
Sementara pada periode lebih modern, yakni saat masa kolonialisme, Wonogiri–yang jadi bagian dari wilayah kotapraja Mangkunegaran–menyajikan menu rijsttafel buat para elite-nya. Rijsttafel sendiri secara sederhananya berarti “santapan khas indis”, yakni perpaduan kuliner Eropa dan Jawa.
Dalam sebuah perjamuan, bistik, sosis dan perkedel masih jadi andalan buat menu utama, bersama bir, limun, maupun cola sebagai pelengkapnya. Adapun bakmi, kala itu mulai masuk ke rijsttafel sebagai menu pembuka.
Catatan tersebut bisa menjadi gerbang masuk bagi eksistensi mie, berupa bakmi, yang mulai akrab di lidah orang-orang kotapraja Mangkunegaran (sekarang Solo).
Saya bersama tim liputan Mojok pun menemui sejarawan yang fokus di bidang kuliner, Heri Priyatmoko, untuk mengonfirmasi temuan tersebut. Ia merupakan penulis Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo, sebuah buku yang membahas keberagaman kuliner di Kota Solo lengkap dengan tautan sejarah, budaya, dan ekonomi yang membentuknya.
Orang Wonogiri bertemu mie di kawasan Pecinan Solo
Menurut Heri, pada masa lalu mi memang menjadi salah satu menu kondang di wilayah pecinan Solo, yakni Pasar Gede. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang-orang beretnis Tionghoa yang berjualan mie di pasar ini sejak awal abad ke-18.
“Terutama bakmi, yang bahan dasarnya saat itu menggunakan daging babi,” jelasnya, Senin (30/10/2023).
Ia melanjutkan, memasuki abad berikutnya, banyak perantau datang seiring dengan transformasi Solo sebagai salah satu kota besar di masa kolonial. Klaim Heri, kebanyakan perantau ini berasal dari Wonogiri dan sebagian wilayah Gunungkidul.
Dua wilayah tersebut memang terkenal dengan sebagai kota asal perantau. Kondisi geografis yang tandus dan tak terlalu subur, memaksa masyarakatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik ke luar daerah.
Bahasa lainnya, Wonogiri itu adoh ratu, cedak watu. Sebuah peribahasa Jawa untuk mengambarkan sebuah daerah pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan atau kota.
Bahkan, jika menilik data hari ini, lebih dari 300 ribu atau 60 persen masyarakat Wonogiri adalah perantau. Mereka ini disebut sebagai “kaum boro”, asal kata dari pengemboro atau pengembara. Artinya, tradisi merantau di Wonogiri masih terjaga hingga hari ini.
Menurut penjelasan dosen Universitas Sanata Dharma ini, “pertemuan” orang-orang Wonogiri dengan mie terjadi ketika mereka merantau ke Solo pada masa kolonial Hindia Belanda. Beberapa dari mereka bekerja untuk warung-warung mie milik etnis Tionghoa di Pasar Gede dan mendapat sedikit kemampuan bikin mie di tempat ini.
“Ada transfer pengetahuan di dalamnya, para perantau ini kemudian tahu cara membuat mie dan ketika pulang mereka memanfaatkan kemampuannya itu untuk berjualan mie,” kata dia.
“Maka tak heran jika Gunungkidul terkenal dengan bakmi-nya dan Wonogiri kemudian dengan mie ayam-nya karena mereka berasal dari akar sejarah yang sama,” tegasnya.
Baca halaman selanjutnya…
Cerita peran kaum boro yang merantau ke Jakarta