Mencari tempat rental komik di Jogja saat ini bukan hal mudah. Hanya sedikit yang bertahan di bawah gempuran modernitas gawai lewat situs scan dan baca komik ilegal yang kian marak. KK Book Rental adalah salah satu yang bertahan sekaligus berinovasi.
***
Jika Anda membuka Google Maps, lantas memasukkan kata kunci “rental komik Jogja”, maka hanya beberapa saja yang muncul. Yakni Conan Book Rental di Jalan Perumnas, Condongcatur, Sleman, Taman Bacaan Rizky di Ring Road Utara, dan KK Book Rental di bawah Jembatan Layang Lempuyangan, Jalan Doktor Sutomo.
Dulu, medio 2010-an di Jogja, mencari rental komik itu sama seperti mencari warnet. Ya, banyak sekali pating tlecek. Rental komik sama banyaknya dengan penyewaan VCD. Bahkan, bisa dibilang lebih banyak dari kafe yang hadir di Jogja pada tahun itu. Kami mengunjungi Shopping Center di Taman Pintar, guna melacak dan menanyakan alur penjualan komik bekas. Dari berbagai sumber yang kami temui, kebanyakan penjaja di sini mulai meninggalkan penjualan komik bekas. Alasannya nampak seragam, komik bekas sudah tidak ada harganya. Toko-toko buku raksasa seperti Gramedia, ketika membuka pameran buku, bahkan komik yang masih segel bisa dijual dengan harga Rp10 ribu dapat tiga eksemplar.
Jika komik-komik segel saja dijual dengan harga yang kelewat miring, lantas berapa harga komik-komik bekas yang sudah lecek, berstempel, dan sudah disteples bagian sampingnya? Bahkan, dari sumber dalam, banyak komik yang sudah dijadikan bubur. Lantas pulp tadi kembali dijadikan buku yang lain.
Kata salah satu pemilik lapak di Shopping Center, komik bekas pun kini sudah sepi yang mencari. Zaman keemasan penjualan komik bekas di Shopping Center setali dengan kehancuran rental-rental komik di Jogja. Meningkatnya pengguna internet, sekitar tahun 2010-an, rental-rental di Jogja banyak yang menjual koleksi komik mereka di Shopping Center.
Harga penjualan komik bekas kepada pelapak di Shopping Center pun kelewat tak masuk akal. Lebih parah, seakan sudah tak ada harga, komik dijual dengan harga perkilo, bukan lagi pereksemplar. Salah satu owner rental komik MHS di Brontokusuman yang sekarang mengubah lapaknya menjadi toko sembako pun mengungkap hal yang sama. ketika kami hubungi, koleksi komik di rental MHS sudah diloak.
Bisnis sewa buku komik seperti sebuah senjakala yang begitu menyeramkan. Namun, mengapa masih ada orang yang mau menjalankan bisnis ini di tengah gempuran situs-situs scan ilegal? Lebih membuat heran, apakah ada yang masih mau menyewa komik di tengah kemudahan peralihan zaman atas nama gawai?
Mojok.co ngobrol banyak dengan salah satu owner rental komik yang memilih bertahan dan juga pelanggan yang lebih memilih membaca di lembar demi lembar buku ketimbang scroll gawai canggihnya.
Alasan mereka tetap menyewa komik di rental
Ketika masuk di kios KK Book Rental, di Jalan Doktor Sutomo, Baciro, saya jadi merasa muda lagi. Kaki saya seperti dibawa menuju masa lalu, ketika saya SD di mana masalah utama dalam kehidupan bukanlah uang, melainkan berkutat pada pikiran apakah Naruto bakalan masuk Akatsuki atau tidak. Pikiran paling sulit jelas bukan karena PR matematika, melainkan kenapa Luffy tidak memaksa Nevertari Vivi jadi kru Mugiwara.
Saat mengambil beberapa komik Giant Killing, mata saya tak sengaja menatap mata seorang perempuan yang tengah berada di balik lemari komik satunya. Saya tahu persis, ia sedang mengambil komik Gisèle Alain jilid 4. Saya menganggukan kepala, menyapanya. Sedang perempuan itu langsung melengos begitu saja ke lemari-lemari komik berikutnya.
Seperti penguntit yang menyebalkan, saya penasaran dengan dirinya. Rasa penasaran saya bukan karena suka atau lain hal yang biasanya ditampilkan dalam komik demografi shōjo bergenre melodramatik. Penasaran saya timbul karena masih ada orang yang sudi datang ke rental komik di kala banyaknya situs illegal yang menyediakan komik-komik scan bajakan.
“Nama saya Ninda,” katanya ketika saya ajak kenalan. Perempuan yang merupakan alumnus UMY ini menuturkan alasan utama mengapa masih memilih ngerental komik ketimbang membaca di situs internet. Alasan pertama, Ninda merasa lebih nyaman ketika membaca buku cetak. Kedua, jika menggunakan gawai, fokus membaca akan terpecah jika ada notifikasi dari aplikasi lain.
Di hadapan komik-komik shōnen generasi baru seperti Kimetsu no Yaiba dan Fire Force, Ninda mengungkapkan bahwa meminjam buku di rental itu lebih banyak manfaatnya. Ia bisa memilih komik yang berjejer di rak yang kadang tidak ada versi online-nya, baik yang terjemahan Indonesia maupun Inggris sekalipun. “Terutama komik-komik jadul atau komik non-populer, hanya ada di rental (di situs scan illegal nggak ada),” ungkapnya.
Tak hanya rental komik, Ninda juga mencurahkan banyak hal seputar rental novel. Ninda mengatakan bahwa kadang perpustakaan online tidak lengkap koleksinya, harga buku versi e-book juga hampir sama harganya dengan harga buku versi cetak, sedang Ninda hanya ingin sekali baca saja. Menurut Ninda, rental menjadi pilihan tepat karena ia tidak perlu tempat penyimpanan—baik storage digital maupun ruang untuk buku cetak.
Sambil memegang novel seri detektif karangan S. Mara Gd yang judulnya Misteri Matinya Wanita Simpanan, perempuan yang suka buku-buku genre suspense dan komedi ini berkata, “Beberapa judul tidak tersedia dalam versi online atau e-book, sedangkan di rental koleksinya hampir lengkap.”
Saya juga bertemu dengan pelanggan lainnya. Namanya Ananda Riska (20). Perempuan yang akrab disapa Nana ini banyak bercerita tentang hobinya, yakni membaca komik sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ketika kecil, ia tak bisa beli komik yang harganya Rp12 ribu sampai Rp15 ribu karena uang jajannya tidak cukup, maka ia melampiaskan hobi dengan cara datang ke rental komik. Dan kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
Di rental komik, ia cukup mengeluarkan uang sebesar Rp500 rupiah untuk satu komik jadul, sedang untuk komik keluaran baru seharga seribu rupiah. “Kalau komik jadul, pengembalian buku bisa dilakukan selama satu minggu. Jika komik baru, maksimal tiga hari saja,” kata perempuan yang sedang melanjutkan studi di UGM itu.
Seiring berjalannya waktu, Nana menjadi terbiasa membaca di buku cetak, bukan lagi di gawai. “Kalau baca di hape (cepat bikin) ngantuk,” katanya, di balik lemari-lemari KK Book Rental yang berjejeran, wajahnya pun turut merona.
Baik Nana maupun Ninda sepakat ketika ditanya tentang situs scan komik illegal. Kata Ninda, “Pembajakan itu sama seperti pecurian.” Ninda melanjutkan, alasan mulusnya aksi pembajakan itu karena mudahnya akses dan banyak yang mendukung secara tidak langsung. Situs illegal tidak butuh pendaftaran apapun seperti input KTP dan kebanyakan yang singgah di situs itu anak sekolah yang belum berpenghasilan.
Sama seperti Ninda, di akhir obrolan saya dengan Nana. “Kadang lucu. Situs ilegal sering bilang pembacanya suruh support dan hargai si situs ilegal ini dengan cara sertakan kredit kalau ada yang mirror, padahal mereka sendiri nggak support sama mangaka yang udah capek-capek bikin komik tiap minggu.”
Alasan KK Book Rental bertahan di balik gempuran situs scan komik ilegal
“KK coba menciptakan pasar, bukan mengikuti pasar,” begitu kata Teddy (47) selaku pemilik KK Book Rental ketika ditanya bagaimana cara bertahan hidup di balik gempuran situs scan komik ilegal. Teddy mengatakan bahwa kebanyakan rental yang sudah kolaps itu karena kebanyakan mengikuti pasar. Pasar komik memang berjalan fluktuatif. Seperti kondisi hari ini, situs scan komik illegal makin marak, karena KK tidak mengikuti pasar, ia tidak tumbang.
Apa arti “tidak mengikuti pasar” yang dimaksud oleh Teddy?
Teddy mempunyai siasat, ia ogah tanggung-tanggung dalam membangun bisnis rental komik. Baginya, tempat yang sempit akan membuat pikiran konsumen mengira koleksinya tidak lengkap dan kumuh. Ia membangun lapak di Baciro awalnya lebih besar jasa pengiriman ketimbang rental komik. Lantas ia mengubahnya, jasa pengiriman hanya satu petak kecil, sedang sisanya adalah lemari komik yang berjejeran dengan megah.
Untuk bertahan dan menggaet pelanggan baru, setidaknya ia percaya kepada dua hal. Pertama, kecepatan update komik baru. Kedua, tempat yang besar agar komik baru tidak menggeser komik lama. Bertahannya KK itu 90% justru dari keberadaan komik lama. Komik-komik lama ini biasanya sulit ditemukan di situs-situs ilegal baik berbahasa Indonesia maupun Inggris sekalipun.
KK memang menetapkan harga sewa komik dan novel baru itu 10% dari harga aslinya. Namun tetap saja komik lama menjadi tulang punggung KK. “Makanya kalau tempat kecil, mengutamakan komik baru lalu komik lama di masukkan gudang atau justru dijual, itu namanya bunuh diri,” cerita Teddy dalam upaya berjuang melawan situs-situs scan illegal.
Bagi Teddy, memang ada orang yang suka membaca di ponsel, namun basic kenyamanan orang Indonesia adalah membaca buku cetak. Sejak berdiri pada tahun 1992 dan mulai membuat cabang pada 1994, KK di tangan Teddy terus mencoba membuat gebrakan, sekaligus pembeda dalam dunia rental komik di Jogja.
Laki-laki yang menggemari komik silat ini mengatakan, semua rental komik era 90-an mengusung konsep yang kurang lebih sama, yakni konsumen datang menyebutkan komik dan petugas mencarikan. KK hadir dengan gebrakan, konsumen bebas hilir mudik rental untuk melihat-lihat komik. Dengan begitu, konsumen bisa menambah daftar komik yang ia tidak tahu dan kemudian menyewanya. Gebrakan lainnya yang KK ciptakan adalah tidak menahan kartu identitas.
Teddy tidak percaya kepada teori bahwa internet akan memakan konsumennya—pembaca komik. Teddy sempat menghentikan pembelian komik, setelah tiga tahun berlangsung, ia sadar bahwa banyak rental komik yang mati karena percaya kepada teori yang salah. “Gramedia masih bertahan, Shopping masih ada. Mereka bertahan, berarti mereka ada peminatnya,” tegasnya.
KK sebenarnya berasal dari nama adik Teddy, yakni Keke. “Kalau ditulis Keke agak aneh,” celetuk Teddy sembari tertawa. Dengan konsep percaya kepada konsumen dengan tidak menahan identitas, maka KK mempunyai akronim dari “kejujuran awal kepercayaan”.
Saya pun bercanda, berarti konsumen KK yang tidak jujur tidak ada? Teddy tertawa dan berkata bahwa yang tidak mengembalikkan komik, dari tahun ke tahun pasti ada. Bahkan ada juga kolektor komik yang menyamar menjadi konsumen. Lantas tidak membalikkan komik yang ia sewa.
Teddy siang itu banyak mengenang. Terutama masa jaya persewaan komik di Jogja. KK sendiri awalnya hanya gubuk kecil di samping rumah Teddy, Perumahan Ganesha. Makin banyak koleksi, maka ia memutuskan pindah dan menyewa lapak di tempat yang lebih layak.
Ia mendirikan dua lapak di sekitar Jogja bagian tengah. Satu untuk komik, satunya untuk persewaan DVD yang berujung nahas karena kiosnya terbakar. Tahun 1994 ia membuka cabang di Terban, lantas pada 1999 ia membuka lagi di Bumijo.
Teddy memulai KK dari masa kejatuhan komik silat di tahun 1990. Pelakunya kejatuhan komik silat sudah jelas, yakni gempuran komik Eropa seperti Asterix, Quick and Flupke, Lucky Luke, Spirou dan Fantasio. Ketika banyak rental yang mengubah display menjadi komik Eropa, KK justru banting arah menuju komik Jepang. Hasilnya cukup moncer, karena komik Eropa kebanyakan seri lepas dan tidak bersambung, hype-nya cepat naik pula cepat juga turunnya.
Masalah omset di masa kini, Teddy merahasiakan hal tersebut. Namun menurut keterangannya, 20-50 orang pelanggan bisa dikumpulkan KK perhari. Teddy masih sering hunting komik baru. Dulu ia bisa membeli banyak karena pihak Gramedia memang perminggu bisa mengeluarkan puluhan judul. Jika di masa seperti ini, Teddy bisa belanja sampai Rp300 ribu untuk komik dan Rp200 ribu untuk novel perhari. Bagi Teddy, yang mahal itu novel, bekal Rp200 ribu hanya bisa untuk 2 novel.
Pertanyaan saya menuju hal yang cukup muluk-muluk, “Apakah KK dulu ada niatan meningkatkan minat baca di Jogja medio 90-an?” Teddy menjawab dengan sederhana, katanya, ia hanya tidak mau anak-anak d zaman itu menjadi robot.
Baginya, komik menyelamatkan anak-anak untuk kebebasan yang lebih masif akan berekspresi. Anak kecil bukan robot yang memiliki pikiran ajeg, komik mengubahnya menjadi luwes.
Dan KK, dari zaman Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo sampai Masashi Kishimoto dan Eiichiro Oda memutuskan untuk tetap ada. Ia hadir untuk menghidupi imajinasi-imajinasi anak-anak di Yogyakarta yang tak terbatas itu. Dari dulu hingga kini. Sebab itu KK menolak untuk mati.
Reporter: Gusti Aditya
Editor: Agung Purwandono