Rizky (25) sudah mendengar wacana Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang akan menaikan upah minimum provinsi (UMP) daerah tempatnya bekerja. Alih-alih senang, berita itu ia respons dengan pertanyaan kilat:
“Emang naiknya berapa, sih?” ujarnya saat ditemui Mojok, Kamis (27/11/2025) malam.
Dua tahun Rizky bekerja di Jogja. Dua tahun juga, ia merasakan kenaikan UMP kota pelajar. Namun, ia merasa, kenaikan ini tak terlalu signifikan. Bahkan dalam bahasa dia, “cuma bersifat seremonial”.
“Lihat kota-kota lain sekitar Jakarta, naiknya berapa? Kemudian lihat Jogja tahun lalu, berapa naiknya? Padahal biaya hidup sama-sama tinggi, tapi kenaikan jauh berbeda,” tegasnya.
Menurut data resmi, UMP DIY tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp2.264.080,95 per bulan. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 6,5 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sialnya, kalau menilik data kenaikan UMP DIY dalam, setidaknya, lima tahun terakhir saja, nominalnya terkesan kecil. Kenaikannya lambat. Kalau kata Rizky, “naiknya nggak teras”.
Sejak 2020 hingga 2025, UMP DIY hanya naik sekitar Rp250 ribu. Dari Rp2.004.000 pada 2020, menjadi Rp2.264.080 di tahun 2025. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang naik lebih dari Rp1 juta selama lima tahun: Rp4.276.349 (2020) ke Rp5.396.761 (2025).
“Kos, sama-sama mahal. Makan, sama mahalnya. Tanah? Nyaris tak terbeli. Tapi UMP Jogja naiknya nggak kerasa.”
UMP DIY tak cukup untuk hidup layak
Senada dengan Rizky, Wahid juga merasa bahwa kenaikan UMP DIY bukan lagi soal wacana, tapi nominalnya. Kalau nominalnya segitu-segitu aja, kata dia, “sama aja bohong”.
“Kalau naik cuma 200 ribu gitu ya sama aja bohong,” ujarnya.
Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY sendiri pernah melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL). Berdasarkan survei tersebut ditemukan bahwa untuk bisa hidup layak, setidaknya masyarakat di Jogja harus punya penghasilan Rp3,6 juta per bulan.
“Upah minimum Jogja selalu di bawah KHL berdasarkan survei yang kami lakukan,” tegas Ketua MPBI DIY, Irsad Ade Irawan dalam unjuk rasa yang ia lakukan Oktober lalu.
Oleh karena itu, Irsyad mengkritik kenyataan bahwa upah tetap stagnan sementara biaya hidup–termasuk makan, hunian, transportasi–melesat. Ia pun mendesak agar UMP DIY 2026 naik setidaknya ke angka Rp4 juta.
Untuk melihat relasi ini lebih jelas, simak data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DIY yang mencatat pada Maret 2025 persentase penduduk miskin di DIY adalah 10,23 persen, setara sekitar 425.820 orang.
Sementara itu, garis kemiskinan per kapita ditetapkan di angka Rp626.363 per bulan. Dan, rata-rata rumah tangga miskin di DIY memiliki 4,26 anggota. Rrtinya garis kemiskinan rumah tangga kira-kira Rp2.668.306 per bulan.
Jika dibandingkan, UMP 2025 Rp2.264.081 tidak jauh lebih tinggi daripada garis kemiskinan rumah tangga. Dengan kata lain, upah minimum yang seharusnya dianggap “cukup untuk hidup” berada di dekat ambang kemiskinan.
Ini membuka fakta keras bahwa bagi pekerja bergaji UMP (atau bahkan sedikit di atasnya), kemungkinan besar kehidupan mereka tetap berada di garis tipis antara “cukup” dan “kekurangan”. Apalagi ketika beban biaya lain-lain, seperti hunian dan pendidikan, ikut diperhitungkan.
Sepertiga gaji buat bayar kos
Salah satu tekanan terbesar bagi pekerja atau mahasiswa di Jogja adalah soal hunian. Banyak pekerja, mahasiswa, atau keluarga kecil, bergantung pada kos atau kontrakan.
Informasi dari berbagai listing kos di DIY menunjukkan bahwa sewa kamar “murah/biasa” berharga sekitar Rp300-800 ribu per bulan, sedangkan kamar kos privat atau premium dapat mencapai lebih dari Rp1 juta per bulan.
Bayangkan, seseorang bergaji UMP harus membayar sewa kos Rp800 ribu. Itu sudah mengambil lebih dari 30 persen dari pendapatannya. Jika hunian saja menyedot sepertiga pendapatan, bagaimana memenuhi kebutuhan pokok lain seperti makan, transport, kebutuhan rumah tangga, dan terutama (jika ada) persiapan pendidikan anak?
Belum lagi risiko fluktuasi sewa karena tekanan pasar properti, gentrifikasi ruang karena pariwisata, serta permintaan kos tinggi bisa membuat kos semakin mahal dari tahun ke tahun.
Wahid sendiri adalah contoh dari orang yang merasakan ini. Pada 2017 lalu, ia masih bisa menjumpai kos murah dan layak seharga Rp300 ribu sebulan. Sekarang, yang ia temukan, rata-rata berada di kisaran Rp500-800 ribu.
Pekerja ini tinggal di sebuah kos dengan biaya sewa Rp650 ribu per bulan. Sementara gajinya adalah Rp2,6 juta sebulan. Artinya, tiap bulan, ia menyisihkan seperempat gajinya cuma untuk bayar kos.
“Jadi ya susah kalau disuruh nabung lah, investasi lah. Buat makan buat sebulan saja dah untung.”
Ketimpangan yang menciptakan working poor
Tak sampai di situ. Data ketimpangan di DIY juga menunjukkan keprihatinan serius. Rasio gini per September 2022 tercatat 0,459, naik dari periode sebelumnya. Artinya, distribusi pendapatan di DIY sangat timpang. Sekelompok kecil mendapat keuntungan besar dari ekonomi, sementara banyak pekerja berada di level pendapatan rendah.
Alhasil, kombinasi dari upah minimum dekat garis kemiskinan, beban sewa hunian besar, dan biaya hidup tinggi melahirkan fenomena yang dikenal sebagai “working poor”, orang yang bekerja penuh waktu, tapi tetap miskin atau hampir miskin.
Di Jogja, fenomena ini nyata. Banyak pekerja paruh waktu, pekerja di sektor jasa, buruh harian, pekerja informal, atau pekerja dengan kontrak jangka pendek yang bergaji UMP, mengalami berbagai kesulitan. Konsumsi minimum, sedikit tabungan, sulit akses hunian layak, dan mobilitas sosial yang terbatas.
Fenomena semacam ini, pada akhirnya, memperlihatkan bahwa kemiskinan di DIY bersifat struktural. Bukan karena kemalasan, tapi karena struktur ekonomi, ruang, dan kebijakan, termasuk UMP.
“Harapanku, kalau mau menaikan UMP, ke angka yang layak lah,” harap Rizky, memungkasi obrolan.
Sementara Wahid lebih skeptis. Ia tak mau berharap banyak. Berkaca dari yang sudah-sudah, kalaupun UMP naik, angkanya tidak akan signifikan dan memuaskan.
“Tidak usah berharap sama pemerintah,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: In This Economy, Kerja Lembur Bagai Kuda Meski Gaji Tak Seberapa dan Tetap Miskin atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
