Harus diakui Tuban, Jawa Timur mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika kemudian di media sosial banyak yang menyebut Tuban semakin metropolitan. Terutama di Tuban Kota-nya.
Hanya saja, di tengah ingar-bingar dan gemerlap Kota Tuban tersebut, nyatanya masih ada saja orang-orang yang merasa tak puas: menganggap bahwa meskipun makin metropolitan, tapi Tuban masih tak bisa dibanggakan.
***
Memasuki hari ketiga Lebaran, seorang teman mengajak saya untuk meluncur ke Tuban. Pertama, ia ada urusan halal bihalal dengan rekan bisnis jual beli rumah kuno. Kedua, sekalian ia ingin mengusir rasa suntuk, mengajak saya berenang di Bektiharjo, sebuah pemandian alam yang ada di Tuban.
Singkat cerita, kami baru hendak pulang selepas Magrib. Teman saya lalu mengarahkan mobilnya ke jalur dalam (Tuban Kota). Mengingat, Tuban Kota adalah pusat kuliner dan jajanan kaki lima. Kami mengincar itu untuk berhenti mengganjal perut.
“Coba lewat Taman Hutan Kota, jadinya kayak apa ya?” ujar teman saya sembari menyisir jalan menuju titik yang ia maksud.
Gemerlap Tuban di malam hari
Saat melintasi Tuban pada pertengahan Januari 2024 lalu, saya sempat berhenti di Taman Hutan Kota Tuban, menyelonjorkan kaki di sebuah area berumput sintetis. Hanya saja, saat itu Taman Hutan Kota masih dalam masa revitalisasi dan belum selesai. Jadi masih belum kelihatan bagaimana hasil finalnya.
Nah, di hari ketika saya dan teman saya melintas itu, Taman Hutan Kota Tuban sudah banjir pengunjung. Deretan mobil dan motor memenuhi area parkir taman. Areanya luas dan hijau. Ada semacam play ground untuk anak-anak.
Dulu suasana di sepanjang jalan Taman Hutan Kota Tuban cukup gelap dan lengang, tapi sekarang sudah dipenuhi lampu-lampu yang berpijar. Suasananya pun cukup riuh.
“Alun-Alun Lasem (Rembang) yang dulu katanya desainnya keren, kalah jauh lah sama ini,” celetuk teman saya.
Kejutan masih berlanjut ketika memasuki jalanan dalam kota. Saya seperti tak mengenali Tuban Kota lagi. Padahal selama enam tahun selalu saya lewati tiap perjalanan Rembang-Surabaya (dan sebaliknya).
Tuban begitu gemerlap. Outlet FnB bertebaran. Coffee shop menjamur. Pokoknya outlet-oulet penunjang life style berderet di sana-sini. Mayoritas baru. Karena dulu saya tak pernah melihatnya.
Jalanan Tuban rusak bikin malu
Saya lalu mengontak seorang teman yang asli Tuban, Imran (26). Ia sependapat dengan saya dan banyak orang lain bahwa Tuban makin gemerlap dan metropolitan. Yang mana itu memudahkan orang Tuban sendiri dalam mengakses banyak hal.
“Misal, dulu nggak ada bioskop sekarang ada. Kan enak. Dulu nggak ada outlet fashion brand ternama, sekarang ada.” tutur Imran, Sabtu, (13/4/2024).
Namun, entah kenapa Imran masih belum menganggapnya sebagai pencapaian yang bisa dibanggakan. Pasalnya, setiap kali ia berbincang dengan orang luar Tuban dan pernah melintas di Tuban, kesannya mesti buruk.
Hal pertama yang pasti di-notice oleh orang luar Tuban, kata Imran, tidak lain tidak bukan adalah perihal jalanan Tuban yang masih banyak yang rusak dan bergelombang.
“Nggak cuma jalan nasional ya, jalan-jalan di beberapa titik di Tuban masih bergelombang. Menyebalkan sekali buat pengendara,” ucap Imran.
Bagi Imran, gemerlapnya Tuban Kota dan revitalisasi fasilitas publik di sana justru semakin menunjukkan ketimpangan pembangunan di Tuban. Sebab, jika sudah keluar dari Tuban Kota, baik ke arah barat maupun timur, akan terlihat pemandangan yang berlawanan: daerah-daerah di Tuban dengan kondisi memprihatinkan.
Lapangan kerja minim
Imran sendiri bukannya tak menerima perkembangan Tuban seandainya kelak benar-benar menjadi semetropolis Surabaya (misalnya). Namun, gelar kota metropolitan untuk saat ini agaknya tidak pas Tuban sandang.
“Kalau metropolitan, harusnya cari kerja dengan gaji UMR Tuban (Rp2,9 juta) gampang di sini. Tapi nyatanya, orang Tuban apalagi yang dari desa seperti saya tetap merantau juga ke Surabaya,” keluh Imran.
Tuban memang memiliki dua pabrik semen besar, Dynamix dan Semen Gresik. Tapi tentu tak menyerap tenaga kerja dari orang Tuban sendiri secara merata. Selebihnya kalau tidak jadi pedagang, karyawan outlet, atau malah jadi honorer bergaji kecil.
Untuk menjadi karyawan outlet pun bahkan terasa sulit karena tentu persaingannya tinggi sekali.
“Kalau untuk sektor-sektor vital misalnya pegawai pemerintahan di Tuban, ya apalagi. Malah makin sulit,” sambung Imran.
Baca halaman selanjutnya…
Tak punya kampus elite
Karena merupakan guru honorer di sebuah SD di Tuban, Yeni* (25), bukan nama asli, lebih menyoroti dari aspek pendidikan.
Meskipun kata orang-orang Tuban semakin metropolitan, tapi Yeni sendiri tak begitu bangga. Masalahnya satu bagi Yeni, Tuban masih belum memiliki kampus elite besar sebagaimana kota-kota metropolitan pada umumnya.
“Misalnya di Surabaya, orang Surabaya bisa bangga-banggain UNAIR, UNESA, atau ITS. Jogja punya UGM, Malang punya UB, UM, dan lain-lain. Kalau Tuban?,” ucap Yeni.
Tuban memang memiliki beberapa kampus swasta. Akan tetapi, memang hanya satu kampus saja yang berlabel sebagai kampus swasta terpopuler di Tuban, yakni Universitas PGRI Ronggolawe (UNIROW).
Sepengalaman Yeni ngobrol sama orang-orang luar Tuban, rata-rata bahkan tak tahu kalau ternyata di Tuban ada kampus. Apalagi tahu apa itu UNIROW, jangan harap.
“Maksudku, ya jangan cuma membranding sebagai kota metropolitan cuma karena gemerlap kotanya saja. Tapi aspek pendidikannya juga harus ikut kebranding sih. Karena bagiku bukti sebuah peradaban itu maju ya pendidikannya juga maju,” beber Yeni.
Ia pun sependapat dengan bagian “ketimpangan” yang Imran sampaikan sebelumnya. Bagi Yeni, pembangunan di Tuban masih belum merata. Ketimpangannya masih sangat kentara.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News