- Tilik atau menjenguk orang menjadi tradisi khas masyarakat pedesaan yang terus tumbuh lestari hingga saat ini.
- Tilik kerap diasosiasikan dengan stigma negatif ibu-ibu gosip.
- Dimensi tilik ternyata lebih luas dari sekadar urusan “tradisi”. Tapi juga mencakup sisi emosional dan ketakutan perihal imbal balik di hari depan.
***
Nyaris setiap hari dan setiap jam ada rombongan orang berdatangan di rumah sakit. Bukun untuk berobat, tapi untuk keperluan tilik: Menjenguk keluarga atau tetangga yang tengah dirawat.
Pemandangan itu saya saksikan ketika menginap di RSUD Dr Soetrasno Rembang pertengahan bulan lalu, saat adik saya harus rawat inap usai insiden di sekolah.
Tangan kirinya retak usai terjatuh dalam sesi lompat jauh (mata pelajaran Penjaskes). Tangannya harus dioperasi sekaligus harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari.
Tilik: ketakutan menghadapi kesepian
Di sebuah gazebo di area dalam rumah sakit, saya bertemu dengan seorang ibu-ibu. Ia duduk melamun.
“Tadi habis tilik tetangga, anaknya kecelakaan motor,” ucapnya saat tanya.
“Tadi rombongan pakai contang (mobil pick up). Yang lain ada di dalam, karena berjejalan saya keluar dulu,” sambungnya.
Memang, tilik atau menjenguk orang sudah menjadi tradisi yang mengakar di desa ibu-ibu itu. Rasanya kurang pas saja jika tidak ikut, karena tilik juga menunjukkan seberapa seseorang bisa hidup srawung/bermasyarakat.
Namun, ada celetukan dari si ibu yang kemudian mengena betul di hati saya. “Saya kalau tilik-tilik begini merasa harus ikut, Mas. Supaya nanti kalau saya sakit, orang-orang menjenguk saya. Peduli sama saya. Saya takut sakit dalam keadaan sendirian dan diabaikan,” katanya.
Ah, saya teringat kata almarhum Cak Rusdi Mathari ketika ia dalam sakitnya: “Jangan pernah sakit. Tetap lah sehat dan bahagia. Karena sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.”
Tilik dan kesadarn resiprositas
Karena menjadi tradisi turun-temurun, lambat laun masyarakat menyadari bahwa tilik atau menjenguk orang lain memuat nilai resiprositas. Begitu kata Radius Setiyawan, Sosiolog dan Dosen Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Kesan miring sempat tersemat pada tilik usai viralnya film “Tilik” (Bu Tedjo) pada masa pendemi Covid-19 lalu. Sebab, dalam perjalanan menjenguk orang lain, sekumpulan ibu-ibu tampak “ceriwis” dalam mengomentari hidup orang lain.
“Namun, masyarakat hari ini melihat tilik sebagai investasi moral dan sosial, dengan adanya timbal balik perhatian dan empati di masa depan,” jelas Radius.
“Seseorang membangun dan mempertahankan jaringan sosial yang kelak bisa dimobilisasi saat dibutuhkan, baik dalam bentuk bantuan, perhatian, atau dukungan emosional,” sambungnya.
Kesadaran menanti balas budi
Nilai resiprositas dulu dan sekarang memang sudah bergeser. Dulu orang tilik setidaknya berlandas pada dua hal: Satu, karena faktor tradisi. Dua, karena kebutuhan eksistensi diri (Kebutuhan untuk dianggap bermasyarakat dengan baik).
Sekali pun memang ada sebagian masyarakat yang tilik dengan landasan benar-benar peduli.
Namun, kini sebagian masyarakat desa—seperti ibu-ibu yang saya temui di rumah sakit itu—sudah sadar bahwa ada nilai investasi di dalam tradisi tersebut. Sebagaimana lazimnya investasi, terselip motif bisa “memanen” hasilnya di masa mendatang.
Muhammad Rijal Setiawan dan Ariel Suderajat dalam “Motif Budaya Reprositas Masyarakat Pedesaan dalam Kehidupan Sosial” menyebut, ada in order to motive ketika seseorang dengan sadar memberikan sesuatu pada orang lain—misalnya tilik. Di antaranya adalah seseorang sadar bahwa kelak ia akan menerima balasannya.
“Tujuan resiprositas yang terjadi tidak terlepas dari pemberian yang telah dilakukan individu lain. Ada rasa malu jika tidak membalas pemberian yang telah diberikan. Rasa Malu tersebut menjadi pendorong individu mengembalikan pemberian. Namun, pemberian yang diberikan tidak langsung,” tulis jurnal tersebut.
Kesadaran itu (malu jika tidak membalas budi), dalam konteks si ibu-ibu tadi, “dimanfaatkan” sebagai ladang investasi sosial: Sekarang saya tilik kamu, maka kelak kamu pasti nggak enak kalau nggak tilik saya. Sekarang saya peduli saat kamu kesusahan, semoga kelak kamu tak biarkan saya sendirian kala kesusahan.
Kepotangan: naluri hidup orang Jawa
Hidup di pedesaan—apalagi di Jawa—rasa-rasanya tidak akan sulit menerima imbal balik dari orang lain. Sebab, merujuk buku “Gusti Ora Sare” oleh Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto, ada nilai luhur yang sudah lama mengendap di jagat naluriah masyarakat Jawa: Nandur kabecikan, males kabecikan (Menanam kebaikan, membalas budi).
Dalam jurnal “Nilai-Nilai Kepriyayian Jawa dalam Novel-Novel Para Priyayi, Canting, dan Gadis Tangsi: Kajian Budaya, Ideologi dan Sosiopragmatika”, naluri orang Jawa memang sudah disetel dengan konsep “kepotangan”. Yakni kesadaran bahwa seseorang harus membalas budi baik orang lain. Baik dalam bentuk seruapa atau yang lain.
“Kepotangan budi kepada seseorang (dianggap) sebagai salah satu sifat luhur manusia. Karena dengan balas budi, seseorang akan merasa dirinya lemah tanpa bantuan orang lai […],” tulis jurnal tersebut. Ada ketergantungan antar-manusia di sana. Ada kesadaran bahwa seseorang akan selalu butuh bantuan orang lain, dan oleh karena itu akan membantu dan membalas kebaikan orang lain.
Apakah itu salah? Silakan nilai sendiri. Tapi saya memahami ketakutan ibu-ibu tadi. Betapa sepi-sendiri itu tidak enak sama sekali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cara Menjadi Jawa Seutuhnya dengan Mengilhami Bahasa, Tanpa Mencampurnya Jadi “Jawindo” dan Bahasa Slang ala Gen Z atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan









