Bagi Saya, Polisi yang Baik Hati Hanya Ada di Lagu Slank

Ilustrasi Bagi Saya, Polisi yang Baik Hati Hanya Ada di Lagu Slank (Mojok.co)

Sehari setelah Aksi Tolak Omnibus Law di Malioboro Jogja pada 2020 lalu, ponsel Rizal* (26) penuh dengan panggilan masuk. Puluhan pesan yang berisi “imbauan untuk datang ke kantor Polres Jogja” pun juga ia terima. Bagi mahasiswa UNY ini, pesan yang diduga dari polisi itu tak masuk akal.

Sebab, ia sama sekali tak terlibat dalam aksi yang berakhir chaos itu. Memang, sebelumnya ia aktif dalam konsolidasi-konsolidasi menjelang aksi. Namun, pada hari H, ia harus mempresentasikan penelitian yang diikutkan dalam sebuah lomba. Sehingga, Rizal harus melewatkan aksi yang berlangsung pada Kamis (8/10/2020) tersebut

“Aku aslinya berniat datang agak sorean, abis presentasi di zoom,” kata Rizal saat diwawancarai Mojok, Senin (26/8/2024) malam. “Tapi ibuku lihat di medsos, demonya ricuh, polisi ngeluarin gas air mata. Makanya aku dilarang ikut,” sambungnya, mengingat kejadian empat tahun lalu itu.

Makanya, saat pesan imbauan tadi ia terima, lelaki asal Jogja ini merasa dilema. Di satu sisi, ia tak perlu repot-repot datang karena memang tak terlibat demo. Tapi di sisi lain, jangan-jangan memang dia diminta untuk membebaskan teman-temannya yang ditangkap.

“Aku dikabarin sama beberapa kawan, ada yang ditangkap. Puluhan malah. Makanya, aku mikir jangan-jangan aku diminta datang buat bebasin mereka,” jelas Rizal.

Bagi Saya, Polisi yang Baik Hati Hanya Ada di Lagu Slank.MOJOK.CO
Polisi menembakkan gas air mata dalam aksi Tolak Omnibus Law di Malioboro 2020 lalu (dok. pribadi Farras Pradana)

Sempat berniat datang ke kantor polisi, niat itu ia urungkan setelah melihat potongan video mahasiswa yang mukanya babak belur. Dalam video itu juga, terlihat beberapa orang rambutnya digunduli oleh polisi.

“Akhirnya di grup rame, ternyata nggak cuma aku yang dapat WA suruh datang ke polres. Makanya, pada sepakat kalau nggak didampingi pengacara, mending nggak usah datang sekalian,” ungkapnya, mengurungkan niat.

Berjarak satu detik dari ajal

Kalau Rizal diminta datang meski tak ikut aksi, panggilan serupa juga diterima oleh Isma* (24). Bedanya, mahasiswi PTS di Jogja ini diminta menyerahkan diri karena dianggap “menyebarkan berita bohong dan narasi negatif yang keliru soal polisi”.

“Aku tahu arahnya kemana. Soalnya, siang hari waktu chaos, aku ngerekam teman-temanku yang digebukin polisi. Ada banyak foto dan video. Beberapa aku unggah di story IG LPM [lembaga pers mahasiswa],” kata Isma, Senin (26/8/2024) malam.

Yang bikin Isma bingung bukan masalah rekaman video brutalitas aparat yang dia miliki. Melainkan, dari mana para polisi ini mendapatkan nomor WA-nya. Karena tak mau mengambil risiko, ia menghubungi hotline perlindungan hukum buat menjamin keamanannya.

“Kalau mereka [polisi] aja bisa dapetin nomorku dengan mudah, ya, kapan saja aku bisa disikat di tengah jalan,” ungkapnya.

Isma adalah satu dari sekian banyak yang menjadi saksi brutalitas aparat pada siang itu. Bahkan, ia mengaku antara dirinya dengan kematian, hanya berjarak beberapa detik saja.

Mahasiswa asal Jawa Barat ini mengungkapkan, saat polisi asyik menembakkan selongsong peluru berisi asap beracun itu, posisinya tepat berada di depan pagar kantor DPRD DIY. Saat dirinya sibuk mendokumentasikan beberapa mahasiswa yang digebuki, polisi menghampirinya dan memintanya menyerahkan ponsel.

Kekerasan oleh aparat kepolisian dialami sejumlah demonstran dalam aksi Tolak Omnibus Law di Malioboro 2020 lalu (dok. pribadi Farras Pradana)

Jelas, Isma tak mau. Kejadian pun berlangsung begitu cepat saat pentungan polisi mengarah ke wajahnya. Namun, entah dewi keberuntungan mana yang menyertainya, seorang massa aksi menariknya dan bikin dia terhindar dari pukulan maut tadi.

“Kalau kena kepala, pilihannya cuma pingsan atau langsung mati. Pokoknya aku terima kasih banget sama mas-mas yang narik aku dulu.”

Dari ‘ingin jadi polisi’ menjadi benci dengan polisi

Baik Rizal maupun Isma, adalah dua dari sekian banyak mahasiswa yang mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari polisi. Namun, mereka masih dalam kategori ‘beruntung’ karena sampai hari ini tak kurang satu apapun.

Nasib mereka berdua jauh lebih beruntung ketimbang ribuan orang–berdasarkan data YLBHI–yang menjadi korban brutalitas aparat. Ada yang dikriminalisasi, dihajar sampai babak belur, sampai meninggal dunia.

Uniknya, masa kecil Rizal justru akrab dengan polisi. Bagaimana tidak, selain fakta bahwa ayah-ibunya adalah PNS, beberapa sepupunya ada yang bekerja sebagai polisi. 

“Dari kecil kagum, lebih tepatnya dipaksa kagum sama polisi. Makanya, cita-citaku waktu kecil pengen jadi polisi. Kelihatannya gagah banget pakai seragam, bawa senjata,” ujar Rizal sambil tertawa mengingat cita-cita masa kecilnya.

Sayangnya, pandangannya terhadap polisi seketika berubah saat menginjak SMA. Menurut Rizal, meski perkaranya adalah “ranah keluarga”, tapi problem ini tak bisa dianggap sepele. Pamannya, seorang polisi, yang merupakan suami dari bibi–adik kandung ibunya–melakukan tindakan KDRT.

“Begonya, keluargaku malah nyaranin buat damai aja. Katanya kasian kalau cerai. Maksudku, sebegitu tinggi kah prestige polisi sampai-sampai keluargaku buta kalau bibiku sampai bonyok mukanya,” geramnya.

Awalnya, “dendam” Rizal pada polisi memang sebatas personal. Namun, sejak memasuki dunia perkuliahan, ia menyaksikan bahwa kultur kekerasan, pamer kuasa, adu arogansi, memang jamak dijumpai di institusi kepolisian.

“Dulu, kalau lihat polisi aku ingatnya bibiku yang bonyok. Sekarang kalau lihat polisi, aku ingatnya Yusuf dan Randy yang dibunuh, demonstran yang ditembaki, anak-anak di Kanjuruhan yang jadi korban gas air mata, sama Afif Maulana yang orang tuanya mencari keadilan.”

4 momen dalam hidup yang menjadi alasan buat membenci polisi

Sementara Isma, mengaku pandangannya terhadap polisi berubah setelah ia menyaksikan banyak peristiwa yang di dalamnya terdapat brutalitas aparat. Bahkan, selama masa kuliahnya di Jogja (2017-2022), ia menyebut ada empat momen kunci yang bikin dia marah dengan institusi tersebut.

Pertama, pada akhir 2017 di Kulonprogo. Sebagai anggota pers mahasiswa, ia ditugaskan untuk meliput situasi pembangunan bandara YIA yang ditolak banyak warganya. Di sana, ia menyaksikan bagaimana polisi menjadi alat negara untuk menakut-nakuti warga yang menuntut hak mereka. Metode kekerasan pun bahkan juga jadi jalan instan yang mereka pakai.

Kedua, MayDay 2018. Saat itu, terjadi kericuhan di Jalan Solo–pertigaan UIN Sunan Kalijaga–yang melibatkan polisi dengan demonstran. Isma menjadi saksi bagaimana salah seorang kawannya di pers mahasiswa menjadi korban represi aparat.

“Padahal jelas-jelas kami bawa kartu pers, tapi teman saya ditarik dan kena pukul. Ini nyadarin aku banget kalau polisi emang nggak pernah belajar,” kata dia.

Ketiga, Malioboro 2020. Itu adalah peristiwa di mana hidup dan matinya cuma berjarak sepersekian detik.

“Aku juga masih ada rekaman, bagaimana polisi nembakin gas air mata ke ambulan, ke petugas medis. Lagi-lagi mereka nggak pernah belajar.”

Keempat, Wadas 2021. Saat itu, Isma mendapat panggilan solidaritas. Banyak lembaga pers kampus yang berbondong-bondong ke Wadas untuk meliput perjuangan warga yang menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Selain merusak lingkungan, penambangan itu cacat hukum dan membahayakan keselamatan warga.

“Aku jadi saksi bagaimana orang-orang tua, simbah-simbah, yang selama kami di Wadas sangat baik, menyambut kami, jadi korban kekerasan. Gas air mata masuk ke pemukiman, banyak anak-anak berlarian. Sumpah itu bikin sakit hati banget.”

‘Polisi Yang Baik Hati’ hanya ada di lagu Slank

Empat peristiwa tadi adalah yang Isma alami secara langsung. Di luar itu, ada banyak hal yang menyadarkannya bahwa kultur kekerasan kepolisian harus segera diputus mata rantainya karena merugikan masyarakat.

Bentrokan terjadi antara polisi dengan massa aksi Tolak Omnibus Law di Malioboro 2020 lalu (dok. pribadi Farras Pradana)

“Ibaratanya begini, di AS ada polisi menginjak kepala pria bernama George Floyd, satu negara chaos. Menuntut adil. Negara pun juga otokritik, langsung ada wacana reformasi kepolisian,” jelasnya.

“Di Indonesia, ada polisi bunuh 135 orang di Kanjuruhan, ada yang mukulin demonstran, videonya viral di mana-mana. Nggak ada sanksi, mentok-mentok dimutasi atau hukuman ringan. Aku yakin ini ada yang salah.”

Isma, sebagai saksi hidup peristiwa yang melibatkan brutalitas polisi, juga tak sepakat dengan istilah oknum. Baginya, oknum itu sebagian. Kalau banyak, istilahnya sudah berubah jadi gerombolan.

“Oknum itu satu atau dua. Kalau banyak, yang aku alami aja nggak cuma sekali dua kali, ya gerombolan namanya,” kata dia.

“Makanya, kalau mau nyebut polisi yang baik hati itu nggak ada. Yang ada cuma di lagu Slank,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Di Tragedi Kanjuruhan, Angin Memang Jahat, Polisi Pasti Benar

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version