Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO

Ilustrasi - Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Merasa gagal di Jakarta Barat, Husnadi (28) akhirnya memutuskan pulang ke desa asalnya di Cilacap, Jawa Tengah. Ijazah S1-nya sudah tak terpakai lagi untuk mendapat pekerjaan kantoran di Ibu Kota.

Selama di desa, pemasukannya memang tak seberapa. Akan tetapi, saat banyak orang menganggapnya gagal, Husnadi justru merasa lega. Sebab, keberadaannya di rumah—walaupun dalam kondisi kekurangan pendapatan—ternyata justru memberi kebahagiaan bagi orang tuanya.

Hidup enak dari kerja di Jakarta Barat yang hanya sesaat

Bermodal ijazah S1, Husnadi sempat bekerja di sebuah perkantoran swasta di Jakarta Barat sejak 2018. Sebulan ia bisa menerima gaji Rp3,5 juta. Sebagian bisa ia kirimkan ke rumah untuk tambah-tambahan orang tuanya yang sehari-hari bertani.

Akan tetapi, “hidup enak” tersebut hanya berlangsung singkat. Pada awal 2020, kondisi kantornya sudah oleng lantaran pandemi Covid-19.

Sampai akhirnya di tahun kedua pandemi (2021), kantor melakukan efisiensi tenaga kerja. Sialnya, Husnadi menjadi salah satu yang harus dirumahkan.

Saat itu, Husnadi sempat pulang ke desa lebih dulu. Menganggur dan makan uang tabungan.

Hanya saja, ia masih berpikir positif, setelah pandemi Covid-19 berlalu, ia yakin ijazah S1-nya masih bisa digunakan untuk mencari-cari kerja di Jakarta. Jakarta memang menjadi tujuan utama Husnadi untuk mencari pekerjaan. Sebab, di sana lah ia merasa mendapatkan gaji yang bisa ia bagi untuk dirinya sendiri dan orang tua di rumah.

Kembali ke Jakarta Barat malah tertipu loker ruko

Memasuki awal 2022, Husnadi mulai intens mengirim surat-surat lamaran kerja di berbagai alamat yang ia dapat di media sosial. Utamanya di daerah Jakarta Barat yang memang sudah ia kenali.

Dari sekian lamaran yang ia kirim, hanya satu yang memberi jawaban: Lowongan kerja yang informasinya ia dapat dari Facebook. Melalui pesan singkat, si pemberi loker meminta agar Husnadi datang ke suatu alamat di Jakarta Barat.

“Harinya mendadak, aku minta menjadwalkan ulang wawancaranya kan, ternyata pihak pemberi loker mau. Tapi memang dia butuh jaminan,” ungkap Husnadi berbagi cerita melalui sambungan telepon, Kamis (18/12/2025).

Jaminan yang dimaksud adalah, Husnadi harus menransfer uang sejumlah Rp1,5 juta sebagai deposit. Uang tersebut, kata si pemberi loker, untuk mengunci kesempatan wawancara bagi Husnadi. Jika Husnadi tidak menransfer, maka kesempatannya akan hangus.

Saat itu, mungkin karena pikiran kalut agar lekas dapat kerja, Husnadi memutuskan menransfer uang deposit tersebut ke nomor si pemberi loker. Tanpa pikir panjang. Tanpa curiga sedikit pun. Yang ada di pikirannya saat itu, sayang saja kalau ia tidak menransfer untuk mengunci kesempatan wawancara, karena kenyataannya cari kerja juga lagi susah.

Jadi orang linglung di depan ruko

Husnadi pergi ke Jakarta Barat dua hari sebelum hari wawancara sebagaimana sudah disepakati si pemberi loker.

“Sebenarnya mulai deg-degan itu karena nomornya sudah nggak aktif. Pesan terakhir sehari sebelum aku datang ke alamat, dia cuma kasih sharerloc,” ucap Husnadi.

Di Jakarta Barat, Husnadi menginap di kos teman lama sekantornya dulu. Teman Husnadi awalnya ikut senang ketika Husnadi datang ke Jakarta Barat lagi karena ada kesempatan wawancara kerja.

Namun, ketika si teman tahu kalau loker itu Husnadi dapat dari Facebook dan meminta Husnadi mengirim sejumlah uang sebelum proses wawancara, si teman langsung curiga. Lebih-lebih, nomor tersebut sudah tidak aktif sejak mengirim shareloc.

“Jadi di hari H wawancara kerja, nomor itu sama sekali nggak bisa dihubungi. Temanku sudah bilang, fiks aku kena tipu. Tapi aku masih berharap itu bukan penipuan,” ucap Husnadi.

Husnadi pun pergi ke alamat sesuai shareloc yang ia dapat. Di sana, ia memang mendapati beberapa ruko. Ada yang kosong, ada pula yang digunakan untuk jualan.

“Aku tanya ke orang sekitar, ternyata benar aku kena tipu. Katanya, alamat situ memang sering dipakai buat nipu orang. Sudah banyak para pencari kerja yang jadi korban, datang ke alamat itu, eh tahunya ketipu,” kata Husnadi.

Husnadi saat itu sempat jadi orang linglung. Rasanya marah, tapi juga kosong. Mau lapor ke polisi juga ia nggak punya energi untuk menghadapi keruwetan yang akan ia hadapi.

Pulang ke desa: uang tak seberapa tapi malah bikin bahagia orang tua

Husnadi sempat bertahan beberapa hari di Jakarta Barat. Masih mencoba-coba mencari lowongan kerja untuk ijazah S1. Namun, susahnya bukan main. Ia pun memutuskan pulang kembali ke desa.

Tekanan mental baru terasa bagi Husnadi setelah pandemi berlalu. Pandemi jadi alasan masuk akal ketika seseorang susah mendapat kerja. Ekonomi memang sedang lumpuh.

Tapi saat situasi berangsur membaik, sementara Husnadi tak kunjung dapat pekerjaan, ia malah kena cap oleh tetangga sebagai lulusan S1 yang gagal.

“Pada masa-masa sulit itu aku diajak teman untuk jadi TU di sebuah yayasan milik saudaranya di Cilacap. Ya aku terima walaupun gajinya memang nggak seberapa,” kata Husnadi.

Awalnya Husnadi berniat menjadikannya sebagai opsi sementara, sambil cari-cari lowongan kerja lain. Namun, lama-lama ia justru nyaman (dan masih menjadi TU di sana hingga sekarang).

Apalagi orang tuanya juga mendukung dan lebih senang Husnadi kerja tidak jauh dari rumah. Tak harus pergi merantau lagi.

Husnadi sempat minta maaf ke orang tuanya karena bikin malu: Dari kerja bergaji Rp3,5 juta di Jakarta Barat berakhir jadi pegawai TU bergaji Rp1 juta, sebagaimana omongan tetangga. Namun, orang tua Husnadi bilang, mereka malah lebih bahagia karena Husnadi bisa menemani masa tua mereka di rumah. Apa lah arti uang banyak dari anak kalau harus menua tanpa perhatian.

“Banyak dari tetanggaku begitu. Anak-anak mereka memang berduit lah karena kerja di luar kota. Tapi sekadar jenguk pulang ke desa nggak pernah. Orang tuaku nggak mau seperti itu, mereka lebih milih mending ditemani anaknya saja di hari tua mereka,” ucap Husnadi. Apalagi, Husnadi sudah meninggalkan rumah sejak kuliah.

Cukup tak cukup, uang Rp1 juta itu nyatanya masih bisa Husnadi kelola dengan baik. Toh ia belum menikah dan belum kepikiran untuk menikah. Hanya memang, saat ini ia masih ingin mengundi nasib ijazah S1-nya untuk daftar CPNS.

Pada 2024 lalu ia gagal lolos CPNS. Ia masih akan mencobanya lagi di tahun depan. Ya minimal-minimalnya bisa tembus PPPK lah.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Nekat Resign dari BUMN karena Lelah Mental di Jakarta, Pilih “Pungut Sampah” di Kampung agar Hidup Lebih Bermakna atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

Exit mobile version