Harus diakui, organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni Barisan Tani Indonesia (BTI) punya peran besar untuk mengatasi krisis pangan yang melanda Indonesia tahun 1960-an. Tanpa jasa mereka, petani Gunungkidul di Jogja tak mungkin bisa menanam padi. Sayangnya, jasa-jasa itu tak pernah dihargai, bahkan dihakimi oleh 7 Setan Desa.
Di depan peserta Kongres Nasional ke-VII Partai Komunis Indonesia, Ketua BTI Asmu Tjiptodarsono melaporkan secara khusus tentang gerakan nasional yang dinamai sebagai 1001 untuk menghadapi krisis pangan di Indonesia. Pemimpin organisasi yang memang berafiliasi dengan PKI ini memberi nama 1001, karena terinspirasi dari kumpulan cerita rakyat dari Timur Tengah, yakni 1001 Malam.
Kisah-kisah dalam cerita tersebut berisi nasihat, jika masalah selalu memiliki penyelesaian, keteguhan akan membantu seseorang menyelesaikan masalahnya, dan kekuatan batin dapat membantu mempertahankan keteguhannya.
Namun, dalam pidatonya di depan peserta kongres, Asmu menekankan bahwa kaum tani tidak hanya melahirkan 1001 jalan, tetapi juga 1001 akal untuk meningkatkan produksi dan bersiap menghadapi krisis pangan.
Sebagai pemimpin organisasi BTI, Asmu menegaskan agar petani modern bisa bertani dengan riset atau ilmu pengetahuan. Ia mengupayakan betul terobosan-terobosan untuk meningkatkan produksi petani, mulai dari bibit, irigasi, dan segala macam teknis yang berguna bagi petani di lapangan.
Oleh karena itu, ia mengumpulkan para petani yang terbiasa mencangkul atau ngarit di sawah. Para petani itu kemudian dipertemukan dengan para ilmuwan tani. Dari diskusi itulah, muncul gerakan 1001 jalan dan 1001 akal, seperti gerakan menanam padi, dan mengembangkan sistem okulasi. Gerakan ini mampu menyelamatkan petani di Gunungkidul, Jogja.
Padi gogo selamatkan petani di Gunungkidul, Jogja
Salah satu permasalahan petani saat itu adalah, bibit harus ditanam pada tanah basah atau sawah. Sementara, tidak semua tanah di Indonesia berjenis tanah basah, sehingga petani harus membangun irigasi. Namun, ongkos pembangunan irigasi tidaklah murah. Termasuk di wilayah Gunungkidul, Jogja.
Oleh karena itu, Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan riset untuk menemukan jenis bibit padi yang sekiranya bisa ditanam di lahan kering. Tak lama berselang, ilmuwan menemukan salah satu varietas bernama padi gogo atau yang juga kerap disebut padi huma.
Padi gogo ini cocok ditanam untuk daerah yang tidak punya irigasi teknik. Meskipun masih memerlukan air untuk bertumbuh, tapi kapasitasnya tidak berlebih. Pertumbuhannya bisa mengandalkan curah air hujan saja. Yang paling penting, tak menguras banyak kas negara. .
Asmu kemudian mempresentasikan temuan BTI tersebut kepada Presiden Soekarno. Ia bilang bahwa hasil beras dari padi gogo terbilang bagus, ukurannya besar, warnanya putih, rasanya pun enak setelah ditanak menjadi nasi. Tak tanggung-tanggung, Soekarno bahkan langsung mencicipinya.
“Tanpa temuan padi gogo ini, kaum tani di Gunungkidul, Jogja atau jutaan petani yang punya lahan kering, seumur-umur nggak pernah bisa menanam padi,” kata Muhidin M Dahlan, sebagaimana dikutip dalam program Jas Merah di YouTube Mojok, Senin (27/1/2025).
Mengembangkan sistem okulasi
Selain menemukan padi gogo yang berjasa bagi petani Gunungkidul, Jogja, Barisan Tani Indonesia (BTI) terus berinovasi untuk mengembangkan sistem okulasi. Di mana, pengembangbiakan tanaman dilakukan tanpa proses kawin (meleburkan sel kelamin jantan dan betina).
Caranya dengan menempelkan mata tunas dari suatu tanaman kepada tanaman lain. Mata tunas diperoleh dari sebuah potongan kulit pohon dari batang atas, lalu ditempelkan ke irisan kulit pohon lain. Biasanya, irisan kulit pohon lain diambil dari batang bawah, sehingga tumbuh bersatu menjadi tanaman yang baru.