Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos

Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos,MOJOK.CO

Ilustrasi Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos (Mojok.co/Ega Fansuri)

Kecamatan Tempel Sleman adalah tempat tinggal yang serba nanggung, khususnya bagi para mahasiswa yang kuliah di UGM dan UNY. Dibilang jauh, tidak; tapi kalau mau dikatakan dekat, ya nggak juga. Mereka pun akhirnya serba dilema apakah harus memilih nglaju atau ngekos saja.

***

Secara geografis, Tempel merupakan salah satu kecamatan di Sleman diikat langsung oleh provinsi tetangga, Jawa Tengah. Ia menjadi pintu masuk Sleman dari sisi utara, khususnya arah Magelang.

Kawasan seluas 4.799 hektar ini didominasi oleh dataran tinggi. Makanya, suhu udara di Tempel sangat sejuk dan cocok buat dijadikan tempat tinggal. Memasuki sore hari, suasana sangat syahdu.

Kendati demikian, bagi Dewi (20), tinggal di Tempel Sleman bikin dia menderita. Bukan karena daerahnya yang buruk atau tak layak huni, tapi lebih ke jarak tempuhnya ke pusat Kota Jogja yang serba nanggung.

Mahasiswa UGM ini mengaku, untuk berangkat ke kampus, waktu tempuh yang dibutuhkan adalah sekitar 40 menit. Ini belum termasuk kemacetan di jalan yang biasanya tak terduga.

“Tahu sendiri kan Jalan Magelang seperti apa. Kadang ramai lancar, tapi di hari-hari tertentu macet parah. Kalau sedang macet gitu, buat ngampus saja bisa habis sejam di jalan,” kata perempuan asli Tempel Sleman ini saat Mojok wawancarai pada Sabtu (3/8/2024) malam.

Kalau sudah begini, maka tak ada cara lain bagi dia selain berangkat lebih pagi. Apalagi, di semester-semester awal perkuliahannya, Dewi kerap masuk pukul 7.30 WIB. 

“Buat amannya jam 6 lebih sudah berangkat. Berarti kan jam 5-an sudah harus mandi. Padahal tahu sendiri kan di Tempel kalau pagi airnya kayak es,” kata Dewi. “Makanya, Tempel itu nggak cocok buat mahasiswa mageran,” tegasnya.

Nglaju Tempel Sleman ke UGM bikin badan remuk, tapi kalau ngekos buang-buang duit

Saat mendapat pengumuman diterima di UGM, diskusi alot langsung terjadi di antara Dewi dan kedua orang tuanya. Topiknya jelas, buat menentukan apakah anaknya itu harus nglaju atau ngekos.

Perempuan asli Tempel Sleman ini pun sebenarnya cuma iya-iya aja. Kata dia, sebagai anak yang baik, cuma bisa manut apa keputusan akhir orang tuanya.

Menurut Dewi, sang ibu awalnya meminta dia buat ngekos saja. Pertimbangannya biar nggak capek di jalan. Selain itu, kalau ada kegiatan malam hari di kampus, ia juga tak perlu jauh-jauh pulang ke rumah.

Namun, setelah mempertimbangkan banyak hal, ternyata ngekos memerlukan biaya tak sedikit. Uang kos bulanan, ditambah uang jajan, makan, bensin, dan kebutuhan lain, jumlahnya bisa dua kali lipat ketimbang nglaju.

“Kalau nglaju kan paling cuma buat bensin sama jajan. Makan bisa dirapel di rumah. Hahaha,” kelakarnya.

Karena pertimbangan itu, orang tuanya pun membuat “masa probation” selama sebulan buat Dewi nglaju. Kalau terlalu capek maka akan diputuskan ngekos saja. Namun kalau ia menikmati, maka seterusnya ya nglaju dari Tempel Sleman ke UGM.

“Aslinya capek banget, sumpah. Cuma aku nggak berani ngomong ke ortu karena nglaju emang ngirit banget. Makanya sampai sekarang nglaju. Untung jadwal kuliah udah nggak pagi-pagi banget.”

Baca halaman selanjutnya…

Suka numpang di kos-kosan teman. Aslinya nggak enak, tapi harus dipilih ketimbang ketemu klitih di Jalan Magelang.

Aslinya nggak enak numpang di kos teman, tapi tak ada pilihan daripada ketemu klitih di Jalan Magelang 

Pengalaman ngenes menjadi mahasiswa asal Tempel Sleman juga pernah dialami Nindi (26). Saat masih kuliah di UNY pada 2017-2022 lalu, ia setia menjadi penglaju. Alasannya pun sama seperti Dewi: kalau memilih ngekos hanya buang-buang duit.

“Parahnya adalah, sampai semester 6 aku kejatah jadwal kuliah pagi terus, jam 7 sudah harus sampai kampus. Jadinya ya harus siap mandi es tiap pagi,” ujarnya, Minggu (5/8/2024) malam.

Namun, ada kalanya Nindi memutuskan buat tak pulang ke rumah di hari-hari tertentu. Sebagai anak organisasi, banyak kegiatan kampus yang berlangsung sampai malam hari.

Orang tuanya pun tak menghendakinya buat pulang malam. Sebab, saat itu Jalan Magelang, akses utama mahasiswa UNY ini buat pulang pergi, sedang rawan kejahatan jalanan alias klitih.

“Daripada amit-amit ketemu gerombolan klitih, malah jadi jadi tangisan satu keluarga,” tawanya, mengingat situasi sulit itu. 

Untungnya, alumni UNY asal Tempel Sleman ini punya beberapa teman yang pengertian. Saat berada di kondisi seperti itu, mereka dengan sukarela mengizinkannya menginap. Bahkan, tak jarang sampai 2-3 hari.

“Nomaden sih lebih tepatnya. Kalau udah pernah numpang di kos si A, nanti gantian si B, dan seterus. Dari rumah juga bawa baju ganti buat 2-3 hari,” jelasnya.

Nindi mengaku kalau sebenarnya ia merasa tak enak dengan teman-teman yang ditumpanginya. Meski mereka mengaku tak keberatan, ia paham betul kalau seseorang pasti butuh privasi.

Belum lagi ada beberapa tipe kos yang harus menambah biaya tambahan kalau menginapkan teman-teman mereka. Jelas, ini menambah ketidakenakan Nindi.

“Kalau ada yang nambah gitu aku bilang buat ‘aku aja yang bayar’, tapi kebanyakan pada nggak mau,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Dukuh Sanggrahan, Daerah Termaju di Condongcatur yang Jadi Saksi Muramnya Nasib Para Pekerja Pakuwon Mall Jogja

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version