Tidak bisa membuat ketupat bisa dibayangi “hukuman yang mengerikan”. Setidaknya itulah mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Desa Manggar, Rembang, Jawa Tengah sejak dulu kala. Mitos yang semakin ke sini semakin terabaikan, khususnya oleh anak-anak muda setempat.
***
Tangan Anipah (48) tampak cekatan menganyam janur-janur hijau di hadapannya. Tak butuh lama, janur-janur tersebut berubah menjadi beberapa buah ketupat yang siap terisi beras untuk kemudian disantap. Demikianlah pemandangan di teras rumah Anipah pada Senin, (8/4/2024) malam WIB.
Di Desa Manggar, Rembang, sebenarnya lebaran tak identik dengan ketupat. Sebab, dalam versi masyarakat setempat, ada dua sesi lebaran dalam bulan Syawal. Pertama, yakni lebaran Idul Fitri yang peringatannya pada 1 Syawal. Kemudian yang kedua adalah lebaran ketupat yang perayaannya jatuh pada 7 Syawal.
Pada tanggal 7 Syawal itulah masyarakat Desa Manggar, Rembang baru akan ramai-ramai membuat ketupat. Sehingga namanya lebaran ketupat.
“Tapi ini bikin ketupat buat tanggal 1 Syawal karena anak-anak yang minta,” ujar Anipah.
Dua anak perempuan Anipah sudah berumah tangga. Masing-masing sudah tak tinggal satu atap lagi dengan Anipah di Desa Manggar, Rembang. Oleh karena itu, setiap ada kabar dua anaknya akan pulang ke Desa Manggar, Rembang, Anipah sangat bersemangat untuk menyediakan apa yang anak-anaknya minta. Termasuk memasakkan ketupat dan opor untuk menyambut hari raya Idul Fitri 1445 H/2024 M ini.
“Di hari-hari biasa pun begitu. Sebelum pulang pasti ngabarin mau dimasakkan apa,” tutur Anipah.
Anak muda di Desa Manggar Rembang enggan repot membuat ketupat
Anipah menyebut, saat ini amat jarang menemui pembuat ketupat di Desa Manggar, Rembang. Kalau ada, pastilah dari kalangan orang-orang sepuh. Sementara kalau dari kalangan anak-anak muda, termasuk pasangan suami istri muda, lebih memilih beli saja dengan alasan lebih praktis.
“Sekarang sukanya kalau nggak beli wadah ketupatnya saja, yang tinggal isi dan masak, ya beli ketupat jadi. Tinggal santap,” ujar Anipah.
“Anak-anak muda sekarang wegah repot,” sambungnya.
Padahal dalam ingatan Anipah, di masa kecil dan remajanya dulu membuat ketupat menjadi aktivitas yang para remaja Desa Manggar, Rembang sambut dengan sangat antusias.
Dua hari menjelang lebaran ketupat 7 Syawal, para orang tua di Desa Manggar akan membeber janur di balai bambu yang terletak di pekarangan rumah masing-masing. Di sana para orang tua akan mengajari anak-anak bagaimana caranya menganyam janur tersebut agar membentuk ketupat yang sempurna.
Menurut Anipah, anak-anak di Desa Manggar, Rembang akan bersaing untuk membuat ketupat dengan bentuk terbaik. Yang tak kunjung bisa pasti malu sekaligus takut setengah mati.
“Karena di desa ini dulu ada mitos, kalau seumur hidup nggak bisa membuat ketupat nanti bakal dapat hukuman di alam kubur,” jelas Anipah.
Hukuman tak bisa membuat ketupat di Desa Manggar Rembang
Anipah tak tahu persis kapan pertama kali mitos ini berkembang di Desa Manggar, Rembang. Yang jelas, sejak masa kanak-kanak dan remajanya di tahun 1980-an, mitos ini sudah mengakar kuat di tengah masyarakat.
Mitosnya adalah, bagi yang tidak bisa membuat ketupat selama hidupnya, maka ia bakal mendapat hukuman mengerikan: setelah mati di alam kuburnya akan memikul peli bimo.
“Konon wujudnya (peli bimo) adalah kemaluan laki-laki, tapi bentuknya sangat-sangat besar,” terang Anipah.
Terdengar aneh dan memancing pertanyaan. Tapi memang demikianlah mitos yang sudah berkembang sejak masa remaja Anipah perihal hukuman mengerikan bagi orang-orang di Desa Manggar, Rembang yang seumur hidup tak bisa membuat ketupat.
Anipah sendiri tak tahu persis kenapa memikul peli bimo yang menjadi hukumannya. Hanya saja, sejak masa remaja dulu, membayangkannya saja sudah mengerikan. Sehingga banyak anak-anak di Desa Manggar, Rembang—baik laki-laki maupun perempuan—yang bertekad bisa membuat ketupat sedini mungkin.
“Terlepas benar atau tidak, keyakinan itu sebenarnya coba aku tanamkan ke anak-anak (kelahiran 1997). Dengan harapan biar belajar membuat ketupat,” ujar Anipah
“Tapi anak-anak lebih pintar. Jadi mitos itu nggak berlaku,” imbuhnya.
Alhasil, mitos tak lebih hanya sekadar mitos. Anak-anak kelahiran 1997 hingga sekarang sudah mengabaikan mitos tersebut. Mereka lebih memilih cara praktis dengan membeli ketupat jadi di pasar. Tak ada lagi ketakukan pada hukuman mengerikan memikul peli bimo.
Menjaga tradisi membuat ketupat
Syuhada (79), salah satu orang sepuh di Desa Manggar, Rembang pun tak tahu kenapa memikul peli bimo yang dipakai sebagai hukuman. Namun, satu hal yang pasti, mitos tersebut lahir dalam rangka untuk menjaga tradisi membuat ketupat di Desa Manggar, Rembang.
“Sekarang begini, anak-anak muda nggak mau membuat ketupat. Belinya dari orang-orang tua. Kalau orang-orang tua ini sudah nggak ada, anak-anak muda mau beli ke siapa? Pembuat ketupa sudah punah,” ujar Syuhada, Selasa (9/4/2024) siang WIB.
Menurut Syuhada, zaman dulu amat mudah memberi pengajaran pada anak-anak melalui mitos. Misalnya dalam kasus membuat ketupat ini, anak-anak tentu ngeri manakala membayangkan kelak harus mendapat hukuman memikul peli bimo di alam kubur.
Karena ngeri, anak-anak akhirnya terpacu untuk membuat ketupat. Dengan begitu, ada satu generasi pembuat ketupat yang terselematkan.
“Selain itu, membuat ketupat itu jadi ajang kerukunan. Orang tua serawung dengan anak. Anak-anak saling mengajari dan berlomba-lomba dengan sesamanya,” beber Syuhada.
“Bahkan tetangga pun bisa ikut nimbrung bikin ketupat bareng-bareng,” terang salah satu orang sepuh di Desa Manggar, Rembang itu.
Sayangnya, seperti keresahan yang Anipah utarakan, semakin ke sini mitos tersebut semakin terabaikan. Anak-anak muda di Desa Manggar, Rembang tak lagi menganggap bisa membuat ketupat sebagai perkara yang penting. Tak bisa membuat ketupat sudah tak lagi menyisakan rasa malu dan kengerian.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News