Lulusan D3 Selalu Diremehkan di Dunia Kerja, Didiskriminasi Sampai Ditolak Perusahaan 100 Kali

Lulusan D3 Selalu Diremehkan di Dunia Kerja, Didiskriminasi Sampai Ditolak Perusahaan 100 Kali. MOJOK.CO

Ilustrasi Cerita Para Sarjana yang Sulit Cari Kerja di Jakarta (Mojok.co/Ega Fansuri)

Di Indonesia, lulusan D3 masih mendapatkan diskriminasi dalam dunia kerja. Sebagian besar dari mereka kesulitan masuk perusahaan karena dianggap kurang kompeten dalam bekerja ketimbang lulusan S1.

Salah satu jobseeker yang mengalami kendala tersebut adalah Fia (22), lulusan D3 Jurusan Kesehatan di Universitas Airlangga. Bahkan, 100 perusahaan pernah menolaknya hanya karena latar belakang lulusannya.

Sebagai seorang fresh graduate saat itu, Fia merasa kesulitan mencari kerja. Apalagi, kelulusannya di tahun 2022 dibarengi dengan hadirnya pandemi Covid-19. 

Ia sudah beberapa kali menjalani interview, tapi tak ada yang menghubunginya lagi. Fia mencoba peluang untuk bekerja freelance sambil menunggu hasil selama dua tahun. Berbagai penolakan yang ia terima membuatnya semakin pesimis. Ia menduga, salah satu alasannya karena tak bergelar sarjana.

“Orang-orang, khususnya perusahaan masih banyak yang tidak mau menerima lulusan D3 alias diploma. Mereka berpikir hasil kerjanya akan kurang dari anak-anak S1,” ucap Fia kepada Mojok pada Selasa (1/10/2024).

Alasan perusahaan tolak Lulusan D3

Menurut pengalaman Fia ada beberapa perubahan pada pembuatan surat lamaran kerja. Dulu surat lamaran memiliki template yang pasti dan general. Caranya sudah diajarkan dengan kurikulum yang sama. Seiring berjalannya waktu, beberapa perusahaan, memiliki tren curriculum vitae atau CV dengan persyaratan tertentu. 

Perempuan kelahiran 2002 itu mulai mempelajari cara membuat CV di internet dengan sumber yang berbeda. Namun, tentu saja, sumber itu tak cukup membantu. 

“Misalnya di internet, syarat mencantumkan foto saja sudah berbeda. Ada yang bilang pakai foto, ada yang tidak usah. Atau pengiriman lamaran kerja, ada yang bilang ‘itu sudah termasuk di body email mu’,” tuturnya.

Kini, persyaratan CV semakin subjektif dari masing-masing perekrut. Termasuk syarat untuk calon pelamar harus S1 dan bukan D3. Fia memisalkan, ada banyak lowongan kerja sebagai Management Trainer atau MT dengan lulusan S1 dari segala jurusan. Mereka tidak mau menerima anak dengan lulusan D3. Padahal, kata dia, kedua lulusan itu sudah mendapatkan pelatihan yang sama dari universitas tentang pembentukan karakter untuk bekerja.

Perusahaan hanya melirik pelamar yang berpengalaman

Kedua, lulusan D3 itu menilai perusahaan saat ini meminta kualifikasi yang lebih tinggi alias tidak mau menerima pemula. Mereka memilih karyawan yang sudah berpengalaman, siap kerja, dan tidak mau mengajari dari awal. Padahal bisa jadi anak itu mau belajar dengan cepat, bisa dipercaya, dan memiliki kemampuan mumpuni jika diasah.

Pengamat ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi mengatakan hal serupa. Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berujar calon pelamar sering kali kebingungan karena syarat pengalaman kerja dari perekrut. Namun, ia menjelaskan pengalaman itu bisa diartikan sebagai standar dari perusahaan untuk melihat kompetensi calon pelamar.

Oleh karena itu, pengalaman semestinya bisa didapat dari pelatihan atau sertifikasi yang mereka capai. Sertifikasi itu menunjukkan bahwa pelamar sudah mempunyai kompetensi yang dicari oleh perusahaan. 

“Kalau bisa ditambah pengalaman tambah oke,” ucap lulusan D3 jurusan kesehatan itu kepada Mojok, Minggu, (6/10/2024).

Lapangan kerja tak mengakomodasi keterampilan para pelamar Lulusan D3

Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan alias Kemnaker mengungkap faktor tingginya angka kemiskinan di kalangan generasi Z. Salah satunya karena ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki lulusan D3 maupun S1 dengan kebutuhan industri pasar tenaga kerja. 

Fia pun menyadari hal itu. Ia sendiri kerap melamar pekerjaan yang tak sesuai dengan jurusan pendidikannya. Salah satunya dengan melamar menjadi seorang content creator. Bukan tanpa persiapan, di sela-sela mengirim lamaran dan panggilan untuk interview dia aktif mengikuti kelas-kelas pelatihan secara daring. 

Perjuangan itu membuahkan hasil, sebab akhirnya dia diterima menjadi karyawan kontrak di suatu perusahaan laboratorium medis dan klinik di Surabaya sebagai content creator. Mirisnya, ia hanya digaji Rp 500 ribu per bulan. Jauh dari UMR kota pahlawan. 

Sebetulnya ia sempat kaget. Ia menduga keputusan upah tersebut ada hubungannya dengan gelar dan jurusan pendidikannya. Setahu dia, memang ada perusahaan yang menggaji karyawannya dari segi tingkat pendidikan. Meskipun tugas dan keahlian mereka sama.

Meski begitu, lulusan D3 itu berhasil bertahan selama sembilan bulan. “Aku merasa nyaman karena rekan kerjaku selalu mendukung, tapi perusahaan tidak memberiku kepastian tentang jenjang karierku. Sementara, temanku sudah ada yang menjadi karyawan tetap. Padahal kami masuk bersama. Mereka juga tidak menjelaskan. Akhirnya aku memutuskan resign,” tutur Fia.

Upaya pemerintah belum maksimal

Pemerintah mengklaim sudah melakukan upaya mengatasi tingginya angka pengangguran, dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Di mana, aturan itu mewajibkan pendidikan dan pelatihan bagi pekerja untuk menyesuaikan kebutuhan di dunia usaha dan industri.

Fia menganggap aturan itu masih belum linier untuk menjawab permasalahan di masyarakat. 

“Di masa aku kuliah, pemerintah sedang gembar-gembor membuka peluang lebih besar bagi jurusan vokasi, tapi di saat yang sama perusahaan belum mau menerima anak D3,” kata dia. 

Menurut Tadjudin, kini semakin banyak perusahaan yang tak memberikan pelatihan bagi pekerja. Kecuali, perusahaan khusus seperti Bank yang memberi pelatihan kepada fresh graduate selama beberapa bulan. 

“Perusahaan tertentu pasti enggak mau, karena biayanya tinggi. Mereka ingin karyawan yang langsung segera kerja,” kata dia.

Tadjudin berharap pemerintah bisa mendirikan pusat pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang diminati di era sekarang. Ia melihat banyak generasi Z yang lebih minat bekerja secara fleksibel atau remote. Pekerjaan itu seperti pembuat konten, desainer grafis, animator, dan sebagainya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA Beratnya Cari Kerja di Jakarta: 250 Lamaran Ditolak

Ikuti artikel dan berita MOJOK lainnya di Google News 

Exit mobile version