Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Laki-Laki yang Sok Jago Itu Pada Dasarnya Cuma Insecure, Maskulinitas Rapuh dan Butuh Pengakuan

Khatibul Azizy Alfairuz oleh Khatibul Azizy Alfairuz
24 September 2025
A A
sok jago, maskulinitas.MOJOK.CO

Ilustrasi - Laki-Laki yang Sok Jago Itu Pada Dasarnya Cuma Insecure, Maskulinitas Rapuh dan Butuh Pengakuan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Laki-laki yang bersikap sok jago itu pada dasarnya cuma insecure. Mereka mengalami maskulinitas rapuh dan cuma butuh pengakuan soal “kejantanannya”.

***

Akhir-akhir ini saya sedang menikmati UFC, olahraga yang memadukan berbagai seni bela diri dan strategi bertarung. Semakin sering menonton, semakin saya menyadari bahwa bertarung itu jauh lebih kompleks daripada sekadar adu pukul. Di atas oktagon, ada teknik, stamina, mental, kecepatan berpikir, hingga seberapa kuat dagu seseorang menahan pukulan.

Apalagi jika membahas pertarungan jalanan, risiko bisa jauh lebih tinggi—sekali salah langkah, nyawa bisa jadi taruhannya.

Seperti penonton sepak bola yang kadang merasa lebih pintar daripada pelatih, saya pun tak jarang ikut menjadi komentator dadakan. Ketika melihat petarung yang tampak “payah”, lidah saya gatal untuk berkomentar: “Ah, gitu aja nggak bisa?” Bahkan ada secuil bagian dalam diri saya yang yakin bisa lebih baik dari mereka.

Ternyata, perasaan sok jago ini bukan milik saya seorang. Banyak laki-laki memiliki dorongan serupa—percaya diri berlebihan soal kemampuan bertarung, meski kenyataannya jauh dari apa yang dibayangkan. 

Fenomena ini memiliki akar psikologis dan sosial yang cukup kompleks, dan bisa menjelaskan mengapa banyak Laki-laki merasa perlu membuktikan diri dalam berbagai situasi, dari olahraga hingga interaksi sehari-hari.

Penyebab laki-laki merasa “sok jago”

Pernahkah Anda melihat teman laki-laki percaya diri bisa mengalahkan siapa pun dalam pertarungan, mulai dari kucing hingga beruang grizzly? Fenomena ini bukan sekadar anekdot. 

Survei tahun 2021 menunjukkan hal yang hampir mustahil: mayoritas responden laki-laki yakin bisa menang melawan hewan-hewan yang nyatanya jauh lebih kuat dari mereka.

Angkanya cukup mencengangkan: 72% yakin bisa mengalahkan tikus tangan kosong, 69% percaya sanggup menghadapi kucing rumahan, 61% yakin bisa menundukkan angsa, 8% merasa mampu melawan gorila atau singa, dan 6% percaya bisa menghadapi beruang grizzly. 

Data ini menimbulkan pertanyaan: mengapa banyak laki-laki memiliki persepsi diri yang jauh melampaui kemampuan nyata mereka?

Jawabannya, menurut penelitian Dominic D.P. Johnson dan koleganya dalam “Overconfidence in wargames: experimental evidence on expectations, aggression, gender and testosterone” (2006), adalah kombinasi evolusi dan psikologi sosial. Laki-laki cenderung memiliki “ilusi keunggulan” dalam konteks fisik, strategi aman untuk menakut-nakuti lawan tanpa benar-benar bertarung. Peneliti menyebut bias optimisme ini sebagai positive illusions.

Eksperimen “wargame” itu menunjukkan bahwa orang menilai peluang sukses mereka lebih tinggi daripada kenyataannya. Semakin tinggi rasa percaya diri (alias si “sok jago” tadi), semakin besar kemungkinan mereka mengambil tindakan agresif.

Hormon testosteron memang berperan, tetapi konteks sosial juga penting. Overconfidence bukan sekadar soal kekuatan fisik, tetapi soal bagaimana laki-laki menilai diri mereka di lingkaran sosial, di mana maskulinitas diukur dari keberanian, ketegasan, dan kemampuan menghadapi tantangan—baik nyata maupun imajiner. 

Iklan

Seorang laki-laki bisa merasa “lebih maskulin” hanya karena berhasil menakut-nakuti lawan atau menunjukkan sikap percaya diri, meskipun tindakan itu tidak selalu mencerminkan kemampuan sebenarnya.

Sikap sok jago menunjukkan maskulinitas yang rapuh

Dari perspektif sosiologi, sok jago sering berakar pada konsep “Precarious Manhood”, yang dikemukakan Joseph Vandello dan Bosson dalam studi mereka di Journal of Personality and Social Psychology (2008). Maskulinitas bukan status otomatis yang melekat, melainkan rapuh dan harus terus dibuktikan.

“Dua benang merah muncul dari berbagai perspektif ini: Pertama, maskulinitas dipandang sebagai sesuatu yang rapuh dan mudah hilang. Kedua, maskulinitas membutuhkan pembuktian sosial. Dengan kata lain, ‘lelaki sejati’ itu dibentuk, bukan dilahirkan,” tulis Vandello.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki merasa kejantanan mereka sangat bergantung pada pengakuan lingkungan. Ketika maskulinitas dipertanyakan, banyak lelaki merasa terancam, dan ancaman itu bisa memicu agresi. 

Berbeda dengan perempuan, yang status biologisnya dipandang lebih stabil. Maskulinitas dipersepsikan sebagai pencapaian sosial yang mudah hilang.

Vandello dan Bosson menekankan bahwa maskulinitas diukur dari perilaku sosial: keberanian, ketegasan, agresi, dan kemampuan menghadapi tantangan. Ketika seorang lelaki mendapat umpan balik bahwa ia gagal memenuhi standar maskulin, respons psikologis yang muncul sering berupa kecemasan dan peningkatan agresi fisik atau verbal. 

Konsep ini menjelaskan mengapa banyak tindakan “sok jago” laki-laki sebenarnya lahir dari rasa insecure dan kebutuhan membuktikan diri.

Precarious Manhood jadi hal lumrah di kalangan laki-laki

Kalau mau tarik korelasinya, fenomena precarious manhood ini terlihat jelas di media sosial, khususnya TikTok hari ini. Banyak video menampilkan orang percaya diri bisa mengalahkan hewan atau petarung tertentu, meski kenyataannya tidak realistis. 

Video yang membongkar “ilusi jagoan” justru viral, meraih jutaan penonton, dan mengundang komentar beragam—dari yang geli hingga kritik tajam.

Pengalaman pribadi saya pun mencerminkan hal ini. Saat SD, di kelas hanya ada enam murid laki-laki. Selalu ada satu “pemimpin” yang menghasut kami untuk berkelahi. 

Suatu hari, saya benar-benar memukul teman hingga berdarah. Saat itu kami masih anak-anak dan mudah terprovokasi. Namun, pengalaman itu mengajarkan satu hal: laki-laki sering merasa perlu membuktikan maskulinitas lewat tindakan fisik, kadang dengan cara yang destruktif.

Tren TikTok dan pengalaman masa kecil ini menunjukkan bahwa sok jago bukan hanya soal fisik. Ini soal persepsi, tekanan sosial, dan rasa perlu diakui sebagai “lelaki sejati”. Tekanan itu bisa muncul dalam berbagai situasi: di sekolah, di tempat kerja, bahkan di grup olahraga atau komunitas sosial.

Bersikap sok jago berdampak buruk bagi psikis

Lebih lanjut, Vandello juga meneliti keyakinan precarious manhood di 62 negara. Hasilnya: level tertinggi ada di Albania, Iran, Kosovo, Nigeria, dan Ukraina; terendah ada di Finlandia, Spanyol, Jerman, Swedia, dan Swiss. 

Negara dengan kepercayaan tinggi terhadap konsep ini mencatat perilaku laki-laki yang lebih berisiko. Antara lain merokok, minum alkohol, hingga menghadapi dampak kesehatan serius, dari kecelakaan transportasi hingga infeksi COVID-19.

Selain itu, tekanan sosial untuk selalu terlihat kuat membuat banyak laki-laki enggan menunjukkan kerentanan. James R. Mahalik dalam “Men, masculinity, and the contexts of help seeking” (2003) mencatat banyak laki-laki menolak mencari dukungan profesional atau berbagi masalah dengan orang terdekat. Akibatnya, mereka terjebak dalam isolasi dan masalah psikologis yang lebih serius, termasuk depresi dan PTSD.

Menariknya, budaya precarious manhood juga memengaruhi bagaimana lelaki menilai risiko dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kasus, laki-laki mengambil keputusan berisiko, dari olahraga ekstrem hingga perilaku konsumtif, sebagai cara membuktikan keberanian mereka. Tekanan sosial untuk tampil kuat dan “tidak boleh kalah” sering kali mendorong perilaku yang lebih berbahaya daripada yang dibayangkan.

Dari oktagon UFC, video TikTok, hingga pengalaman masa kecil, jelas terlihat bahwa sok jago bukan sekadar soal kemampuan fisik. Agresi dan overconfidence sering berakar pada kecemasan sosial untuk terus membuktikan diri sebagai “lelaki sejati”. Tekanan itu menciptakan lingkaran berisiko, di mana laki-laki harus tampil kuat, tapi menghadapi konsekuensi kesehatan dan psikologis nyata.

Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz

Editor: Ahmad Effendi

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025. 

BACA JUGA: Main Serong di Sinema Indonesia: Mengapa Kamu Menyukai Film Bertema Perselingkuhan? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 24 September 2025 oleh

Tags: bang jagoMaskulinmaskulinitasmaskulinitas rapuhsok jagoUFC
Khatibul Azizy Alfairuz

Khatibul Azizy Alfairuz

Artikel Terkait

Bercita-cita Jadi Jokowi, Bang Jago Paling Ultimate Sejagat Raya
Esai

Bercita-cita Jadi Jokowi, Bang Jago Paling Ultimate Sejagat Raya

19 Oktober 2020
es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres
Kepala Suku

Penanganan Corona Masih Terlalu Maskulin

21 Mei 2020
Esai

Menyoal Mitos Laki-Laki Harus Bisa Menyetir Mobil

1 Februari 2019
tinju
Esai

Conor McGregor Hina Agama Khabib Nurmagomedov itu Murni Strategi Dagang

11 Oktober 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Perantau Sidoarjo nekat jadi wasit futsal demi bertahan hidup di Jogja hingga akhirnya menyerah MOJOK.CO

Perantau Sidoarjo Nekat Jadi Wasit Futsal demi Hidup di Jogja, Berujung Menyerah Kejar Mimpi di Kota Pelajar karena Realita

28 November 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.