Tantangannya, ia harus benar-benar memastikan gang utama sedang sepi saat hendak membawa pacar di malam hari. Jika kondisi mendukung, ia bisa membawa kekasihnya masuk ke gang yang lebih sempit menuju kosnya.
Kebebasan itu jadi daya tarik tersendiri. Meski urusan fasilitas memang tidak banyak yang ditawarkan. Luas kamarnya 3×3 meter. Bangunan dengan delapan kamar itu hanya punya satu kamar mandi.
Susahnya, saat bangun tidur dan ingin segera buang air, ternyata banyak yang sudah antre. Belum lagi jika bangunnya sudah mepet jam kuliah, sering mahasiswa ini harus rela terlambat.
Dua tahun tinggal di sana, ia hanya merogoh kocek sebanyak Rp4,5 juta dari yang seharusnya Rp6 juta. Alasannya pun terbilang kocak, “Pengurus kosnya nggak ingat aku belum bayar. Ya sudah aku diam saja,” begitu katanya sambil terkekeh.
Sisi gelap kehidupan Jogja
Hal itu lantaran pemilik kos, yang merupakan seorang ibu-ibu, sudah meninggal. Pengurusan kos dilimpahkan ke anaknya yang ternyata tidak begitu mengurus bangunan itu. Bahkan hingga urusan pembayaran pun tidak tercatat dengen benar.
Nyaris tidak ada mahasiswa UNY hingga UGM, meski lokasinya dekat, yang tinggal di kos Samirono tempat Maula tinggal. Mahasiswa mungkin ada namun semester tua dan bukan dari kampus besar Jogja.
“Sisanya itu ya pekerja, pedagang, sebagian tinggal sama istrinya atau sama pasangan yang nggak aku tahu sudah nikah atau belum,” kata dia.
Berkat tinggal di kos itu, ia kerap bisa berinteraksi dengan tetangga kos yang berlatarbelakang unik. Bukan mahasiswa UNY apalagi UGM, melainkan para pekerja bahkan pengamen jalanan. Menariknya lagi, tetangga kos itu sering mengajak temannya datang. Teman dengan latar belakang yang cukup unik-unik bagi Maula.
“Ada temannya dari luar Jawa, ke Jogja nggak kuliah, tapi kerja serabutan sambil ngamen,” katanya.
“Pernah juga nih, ada temannya datang ke sini. Ya orang jalanan lah dan sering main ke Sarkem. Uniknya, dia itu malah akhirnya menjalin ikatan sama PSK di sana,” ungkapnya.
Pengalaman tak terlupakan
Saking penasaran dengan cerita yang disampaikan Maula, saya jadi tertarik untuk mengulik relasi pelanggan dan pekerja Sarkem itu. Dari teman kosnya itu, saya mendapat kontak pemilik kisah tersebut. Sayangnya, setelah saya hubungi dia tak ingin kisahnya dipublikasikan.
Bagi Maula, pengalaman menempati kos di Samirono itu jadi kisah tak terlupakan selama hidup di Jogja. Bukan berinteraksi dengan mahasiswa UNY dan sekitarnya, melainkan dengan orang-orang yang menjalani hidup dengan cara agak berbeda di Jogja.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News