Ada nafas lega ketika tubuh agak berjarak dari perantauan, ketika kaki hanya beberapa langkah menuju rumah (pulang). Karena sejenak bisa istirahat dari hiruk-pikuk pekerjaan. Namun, di saat bersamaan, ada perasaan sesak di dada, kala mendapati bapak yang berdiam di terasa rumah: dengan rokok yang berhenti putus dari bibirnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, setiap pulang ke kampung halaman (Rembang), saya sering mendapat cerita baru dari teman-teman seperjuangan di perantauan. Mereka sama-sama menyesali satu hal: Selama ini mereka terlalu keras pada bapak masing-masing.
Menghina bapak miskin karena tak dibelikan motor
Saat itu Rudi masih kelas 2 SMA. Di SMA-nya, rata-rata anak laki-kali pergi-pulang sekolah membawa motor sendiri. Tapi Rudi tidak. Dia harus naik angkutan umum.
Keluarga Rudi hanya punya satu motor di rumah. Tapi itu pun digunakan oleh sang bapak untuk bekerja (nguli setiap ada panggilan).
“Waktu itu aku juga malu karena kalau ke mana-mana bonceng teman,” kata Rudi, Minggu (26/10/2025).
Rudi sebenarnya sudah meminta dibelikan motor oleh sang bapak. Sejak Rudi kelas 1 SMA, bapaknya semaya akan segera dibelikan. Nunggu uang terkumpul dulu.
Namun, Rudi merasa tak sabar. Karena sampai dia kelas 2 SMA, nyatanya motor yang dijanjikan sang bapak itu tak lekas terbeli juga. Hingga suatu malam dia bersitegang dengan bapak dan ibunya. Bahkan, di momen itu, Rudi dengan terang-terangan menghina kondisi bapaknya. Merasa menyesal punya bapak miskin.
Tahu rasa, cari uang di perantauan susahnya minta ampun
Berselang seminggu dari kejadian itu, motor baru akhirnya terbeli juga. Saat itu Rudi tak mau tahu, dari mana sang bapak bisa mengumpulkan uang hingga bisa membelikannya motor baru.
“Di kemudian hari aku tahu, bapak utang sana-sini. Membayarnya juga mati-matian. Dulu aku sering lihat bapak didatangi tetangga. Dan pasti bapak hanya bisa diam dan mohon maaf. Ternyata bapak waktu itu nggak ada uang juga buat bayar utang,” kata pemuda 23 tahun itu.
Lulus SMA Rudi harus ke perantauan. Bekerja sendiri. Saat itu pun dia benci bukan main pada sang bapak.
Sebab, teman-temannya kebanyakan kuliah. Sementara dia, karena keterbatasan ekonomi, harus langsung banting tulang sendiri.
“Waktu awal merantau aku benci sekali. Karena aku berpikir, seandainya bapak berduit, nggak mungkin aku harus ikut susah payah cari duit,” kata Rudi.
Akan tetapi, belakangan, ketika dia melihat konten-konten di media sosial, cara pikir Rudi akhirnya terbalik. Di media sosialnya, kerap muncul konten dengan topik begini:
- Jangan terlalu keras pada bapakmu, karena dia tak pernah hidup untuk dirinya sendiri
- Kini aku tahu apa yang dirasakan bapak, betapa kerasnya dunia
“Aku merantau, kerja keras, buat sekadar beli baju baru saja eman karena gaji nggak besar. Nggak gampang ternyata. Gitu dulu aku maksa minta motor harus keturutan sekejap,” sesal Rudi.
Hanya memaksa, tapi tak membalas jasa
Hal serupa juga dirasakan Dullah (27). Setiap pulang dari perantauan, dia biasanya duduk bersama bapaknya di kursi depan rumah. Dullah akan membagi rokok untuk dihisap bersama.
“Untuk membelikan satu bungkus rokok saja aku sering nggak mampu. Hanya mampu kasih sebatang,” katanya.
Sama seperti Rudi, Dullah dulu juga sangat membenci bapaknya. Pertama, bapaknya seperti berjarak dengan Dullah. Hubungan mereka dingin padahal sebenarnya tidak ada masalah apapun. Kedua, bapak Dullah kerap tak bisa memberi apa yang Dullah minta sejak kecil.
“Aku pun bisa kuliah karena beasiswa nggak mampu. Bukan dari uang Bapak. Itu membuatku makin nggak suka dengan dia,” tutur Dullah.
Namun, lambat laun Dullah mengerti. Bapak, sedianya seperti apa yang dinyanyikan Iksan Skuter: Diamnya sebenarnya peduli. Diamnya sebenarnya memikirkan banyak hal.
Kala dewasa, Dullah akhirnya tahu dari sang ibu, kalau bapaknya kerap menyalahkan diri sendiri karena tak mampu memberi kehidupan yang baik bagi anak-istri.
Setelah lulus kuliah, Dullah memang langsung diterima kerja di perantauan. Ada banyak situasi yang membuat Dullah akhirnya sadar, kalau seharusnya dia mulai membalas jasa sang bapak. Tapi apa daya, dia tak kunjung mampu. (Atau jangan-jangan sebenarnya belum bisa berkorban sebagaimana sang bapak berkorban).
“Ternyata selama ini aku hanya bisa memaksa bapak, tapi membalasnya aku nggak bisa, nggak mampu,” ungkap Dullah.
Bapak tak pernah hidup untuk dirinya sendiri
Drama Korea When Life Gives You Tangerines makin menyadarkan Dullah. Ada bagian ketika Oh Ae Sun (sebagai ibu) memberi pengertian pada anak-anaknya: Jangan terlalu keras pada ayahmu, dia tak pernah hidup untuk dirinya sendiri.
Dullah memang belum menjadi seorang bapak. Tapi dia kini sudah berperan sebagai seorang suami.
“Sebagai kepala rumah tangga, aku merasakan betul, kerja kerasku bahkan bukan untukku sendiri. Prioritas adalah buat keluarga,” kata Dullah.
Dengan kerja keras itu pun, Dullah masih kerap tak bisa mengupayakan yang terbaik untuk istrinya. Terbentur nasib buruk berkali-kali. Dikalahkan keadaan betubi-tubi.
“Bapakku pasti juga merasa begitu, jadi orang kalah. Tapi dia nggak bisa menunjukkan sisi lemahnya. Memaksa diri buat kuat demi anak istri. Kesadaran itu membuatku nyesal pernah sangat keras padanya, bahkan sampai bentak-bentak,” tutup Dullah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sibuk Kejar Karier sampai Lupa Rumah dan Skip Nikah demi Ortu, Belum Sukses dan Hidup Mapan Ortu Keburu Meninggal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
