Sarjana di Rembang Malu dengan Lulusan SMA yang Gampang Cari Kerja, Nggak Punya Keterampilan dan Cuma Bisa Mancing

Pantai di Rembang jadi tempat adu nasib sarjana dan ;ulusan SMA yang sulit cari kerja MOJOK.CO

Ilustrasi - Pantai di Rembang jadi tempat adu nasib sarjana dan ;ulusan SMA yang sulit cari kerja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Salah satu pantai di Rembang, Jawa Tengah menjadi spot favorit bagi beberapa pemuda putus asa dari kalangan sarjana dan lulusan SMA. Sambil memancing, mereka adu nabis perihal kesialan hidup masing-masing. Perihal betapa sulitnya mencari pekerjaan.

***

Setiap pulang ke Rembang, Jawa Tengah, ada satu tempat yang sering saya datangi untuk menunggu Magrib, yakni Pantai Robyong, Sluke, Rembang. Tepatnya di bekas pondasi dermaga yang gagal dibangun. Persis di bawah pangkalan truk.

Biasanya, tanpa saling berkabar pun, di sana sudah ada beberapa pemuda. Beberapa tampak sedang memancing. Dapat ikan atau tidak itu lain urusan. Mereka hanya ingin bersenang-senang, menepikan sejenak kegelisahan yang mendera. Sementara satu dua yang lain duduk-duduk saja, menatap kosong hamparan lautan.

Begitu juga yang saya dapati pada Senin, (29/4/2024) sore di salah satu pantai di Rembang tersebut. Hanya ada dua orang pemuda dari Desa Manggar, Rembang. Keduanya sedang duduk menunggu umpan mereka dicaplok ikan, sambil saling berkeluh kesah satu sama lain.

“Tumben cuma berdua?” sapa saya.

“Yang lain kan kerja. Ada yang di Gresik, ada yang di Semarang,” timpal Baid (24) setelah menerima uluran salam saya.

Pantai di Rembang membuat hati dan pikiran tenang

Baid mengaku menjadi salah satu dari teman-temannya lulusan SMA yang tak cukup beruntung. Sejak lulus SMA pada 2018 lalu, sampai sekarang entah kenapa ia merasa agak kesulitan mencari pekerjaan.

“Dulu sempat ada lowongan di sebuah dinas di Rembang, ya sebagai pegawai bawahan lah. Daftarnya harus bayar Rp2 juta. Setelah kubayar, sampai sekarang nggak ada panggilan,” ujarnya lesu.

Dalam rentang 2018-2024 Baid sendiri bukannya berdiam diri. Sudah beberapa pabrik ia masuki. Baik pabrik-pabrik di Rembang sendiri maupun pabrik-pabrik di daerah lain seperti Semarang hingga Salatiga, Jawa Tengah.

Pantai di Rembang jadi tempat adu nasib sarjana dan ;ulusan SMA yang sulit cari kerja. (Aly Reza/Mojok.co)

Baid bahkan pernah sampai coba-coba mengundi nasib ke Batam. Hanya saja, ia selalu kepentok kesialan. Belum juga tiga bulan kerja, ia pasti sudah terdepak keluar.

“Di Batam kena tipu. Di Semarang dulu gaji nunggak terus. Padahal nggak besar juga. Terus terbaru pada 2023 lalu aku di pabrik sepatu di Rembang. Nggak lebih tiga bulan kena PHK karena ada pengurangan karyawan, pahit,” tutur Baid.

Baid mengaku stres dan selalu overthinking. Mengingat posisinya sebagai anak pertama, laki-laki pula. Yang seharusnya menjadi andalan bagi orang tua dan adiknya, tapi malah masih menjadi beban karena selama tidak bekerja, untuk kebutuhan jajan atau bensin ia masih harus minta.

“Untung aku nggak rokok. Jadi urusan minta-meminta masih dimaklumi, Meskipun satu sisi nggak enak,” ucap Baid.

Untuk meredakan gelisah di hati, Robyong sebagai salah satu pantai di Rembang menjadi jujukan Baid setiap sore. Entah ikut memancing atau sekadar melamun. Tapi melihat laut lepas yang biru dan kemerahan saat surup membuat pikiran dan hatinya sedikit tenang dan semilir.

Sarjana Rembang malu nggak bisa kerja

Keluhan yang sama juga dialami oleh beberapa pemuda yang setiap sore memancing (dan melamun) di salah satu pantai di Rembang tersebut. Sama-sama mumet karena kelamaan nganggur.

Tak cuma lulusan SMA saja, sarjana pun ada yang ikut nimbrung adu nasib lantaran nasibnya ternyata tak lebih baik dari lulusan SMA. Seperti misalnya Samad (26).

Memancing di salah satu pantai di Rembang itu menjadi aktivitas Samad untuk melarikan diri dari mendengar rasan-rasan tetangga rumahnya tentang dirinya sebagai sarjana nganggur. Pasalnya, sejak lulus kuliah dan menjadi sarjana pada 2022 lalu, ia pun kesulitan mencari pekerjaan.

“Malah kelihatannya lebih gampang teman-teman yang cuma pakai ijazah SMA atau SMK. Kayak gampang aja masuk pabrik,” ungkap Samad.

Samad menyadari bahwa ia memang minim keterampilan. Sebagai sarjana, kalau mau diadu dalam hal pemikiran, Samad merasa lebih unggul. Tapi untuk keterampilan-keterampilan yang sifatnya praktikal, Samad mengakui kalau ia memiliki keterbatasan, tak seterampial teman-temannya yang cuma lulusan SMA.

“Aku merasa cuma cocok jadi guru atau pekerjaan yang mengandalkan public speaking. Tapi guru pun gajinya ngenes,” keluhnya.

“Jadi kalau lagi kumpul, ada teman-teman lulusan SMA yang pulang kerja cerita soal kerjaannya di Gresik atau Semarang, aku malu sendiri. Aku sarjana tapi nggak bisa apa-apa,” sambungnya sembari menatap hampa hamparan lautan di salah satu pantai di Rembang tersebut

Samad sendiri bukannya tak pernah bekerja sama sekali. Pada penghujung 2022 ia sempat menjadi staf gudang di sebuah perusahaan jasa ekspedisi di Sidoarjo, Jawa Timur. Hanya saja tak berjalan lama. Baru berjalan setengah tahun, ia memilih resign karena mengaku tak kuat dengan tekanannya.

Baca halaman selanjutnya…

Meratapi gaji kecil di pantai Rembang

Meratapi gaji kecil di pantai Rembang

Sepanjang 2021, saya sendiri menjadi salah satu orang yang paling sering ke Pantai Robyong, Rembang setiap sore hari. Sepulang dari Rembang Kota untuk meliput berita.

Per April 2021 lalu, saya sempat bekerja sebagai wartawan di sebuah media asal Pati untuk wilayah tugas di Rembang. Gaji saya waktu itu amat sangat memprihatinkan. Karena ukuran gaji saya adalah per berita. Sementara satu beritanya diharagai Rp15 ribu.

Kalau saya total, untuk dapat Rp1 juta dalam satu bulan saja sudah untung. Angka yang bahkan jauh lebih rendah dari UMR Rembang yang saat itu pada dasarnya sudah cukup rendah, yakni Rp1,8 juta. Lebih-lebih posisi saya sama seperti Baid, sebagai anak laki-laki pertama.

Dari jam lima sore sampai lepas Magrib saya biasanya merebahkan badan di bekas pondasi dermaga, sembari meratapi nasib sebagai sarjana pecundang yang kesulitan mencari pekerjaan.

Kurang lebih sama seperti yang Baid ungkapkan, saya merasakan silir dan ketenangan saat melihat laut lepas. Meskipun saat beranjak pulang, kegelisahan-kegelisahan tetap kembali menyeruak.

Dulu pun saya juga mengalami seperti yang Samad alami. Sering kali merasa malu, rendah, dan terhina karena menjadi sarjana pengangguran. Seolah kuliah saya sia-sia karena kenyataannya gaji saya sebagai sarjana jelas-jelas kalah dari teman-teman saya lulusan SMA yang bekerja di pabrik-pabrik.

“Dulu kamu ke sini karena mumet dengan nasibmu. Kalau sekarang?” goda Baid Senin, (29/4/2024) sore itu. Saya hanya tersenyum.

Saya mensyukuri nasib saya saat ini, yang tentu jauh lebih beruntung ketimbang masa-masa itu. Tapi saya tidak bisa lupa, di salah satu pantai di Rembang itulah saya kerap menangis sendirian mengiringi matahari terbenam. Air mata berjatuhan tanpa iskan, berharap Tuhan “mengulurkan tangan” dengan segera.

Maka ketika masa-masa sulit itu sudah lewat, saya jelas tak bisa melupakan begitu saja pantai yang sering jadi tempat saya meratap tersebut.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Lulus SMA Hidup Makmur karena Kerja Gaji UMR Sidoarjo, Nekat Dilepas Demi Kuliah tapi Berujung Hidup Nelangsa karena Ijazah Kampus Nggak Laku

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version