Gara-gara “ketularan” Jogja, Salatiga, sebuah kota kecil yang tenang di Jawa Tengah kini jadi tak asyik lagi. Entah bagaimaa mulanya, kini gaya hidup di Salatiga cenderung ke-Jogja-jogjaan.
Hal itu membuat beberapa orang yang tinggal di kota tersebut menjadi tak nyaman. Termasuk Sabil (24), mahasiswa asal Rembang, Jawa Tengah.
Sabil sendiri sebenarnya merupakan mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga, Jogja. Namun, karena kini ia tinggal skripsian, ia memilih sewa kos di Salatiga.
Mencari ketenangan di Salatiga
Sabil sendiri mahasiswa angkatan 18, satu angkatan di bawah saya, dengan mengambil jurusan kuliah yang sama dengan saya pula: Sejarah Peradaban Islam (SPI).
Wacana untuk sewa kos di Salatiga sebenarnya sudah Sabil rencanakan sejak lama. Bahkan sejak sebelum Covid-19 merebak.
“Cewekku kuliah di Salatiga. Aku jadi sering kan bolak-balik Salatiga tiap akhir pekan. Nah, dari situ aku merasa, duh nyaman banget kota ini,” ujarnya saat kami bertemu.
Di tahun pertamanya tinggal di Jogja, Sabil mengaku sudah tidak betah. Hal tersebut tidak lepas dari gaya hidup Jogja yang menurutnya sulit ia imbangi.
Misalnya saja budaya ngopi di coffee shop. Baginya yang beruang saku pas-pasan, tentu ngopi di coffee shop menjadi perkara yang sepatutnya ia hindari.
Kalau masih bisa di warkop-warkop atau kafe kelas menengah biasa seperti Basabasi, ia masih sanggup. Sayangnya, banyak dari teman-temannya yang lebih suka di coffee shop mewah. Sabil mundur. Kalau ia terus-teruskan, bisa ambrol sakunya.
“Belum lagi soal outfit. Duh, kuliah adu outfit. Aku yang biasa-biasa aja gini kan ya tetep ada insecure-nya, Cuk,” kata Sabil.
Maka dari itu, ketika ia melihat Salatiga dengan kesederhanaannya, ia terpincut. Teman-teman sang pacar, yang kemudian juga menjadi teman-temannya di Salatiga pun rata-rata tak banyak gaya.
Ngopi di angkringan atau warkop biasa oke saja, gaya berpakaian sehari-hari pun tak bikin orang lain minder. Selain itu, biaya hidup di Salatiga pun menurut Sabil jauh lebih murah ketimbang Jogja.
“Kos Rp350 ribuan sudah dapat kos nyaman dan luas (sebelum Covid-19). WiFi juga. Di Jogja, Rp500 ribu paling murah dan ala kadarnya,” tuturnya.
“Makan di Jogja butuh paling nggak Rp15 ribu sampai Rp20 ribu sekali makan. Di Salatiga, nasi Rp10 ribu bahkan Rp8 ribu masih ada,” sambungnya.
Ia lantas berangan-angan untuk menjadikan Salatiga sebagai tempat menjauh dari hiruk-pikuk Jogja.
“Jadi aku sewa kos di sini. Ke Jogja kalau ada bimbingan,” katanya.
Pendatang merubah Salatiga
Namun, tawaran-tawaran Salatiga yang sederhana dan nyaman itu berubah selepas Covid-19.
Menurut Sabil, per masuknya mahasiswa angkatan 2022 hingga sekarang, Salatiga mendadak berubah ke-Jogja-jogjaan.
“Image Jogja di medsos sudah jelek, Sebagai opsi pengganti, maka banyak yang memilih kota ini karena masih menawarkan kesederhanaan dan ketenangan . Seperti alasanku sewa kos di sini,” ungkap Sabil.
Namun, bagi Sabil, kehadiran para pendatang dari kalangan mahasiswa gen z itu perlahan-lahan merubah kultur Salatiga. Perlahan-lahan Salatiga menjadi kota yang terlalu riuh dan tak lagi sederhana. Hedonisme pun menjadi gaya hidup yang turut menjangkit kota ini.
“Budaya ngopi di coffee shop masuk, ngopi di angkringan ditinggalkan. Saat ini juga mulai bermunculan mahasiswa-mahasiswa skena adu outfit,” sambungnya. Biaya hidup pun menurut Sabil mulai ikut naik. Mulai dari biaya makan hingga sewa kos.
“Sekarang (sewa kos) paling murah Rp400 ribuan,” kata Sabil.
Sabil sontak merasa sangat jengah dan sumpek. Sebab, niat hati ingin mencari ketenangan dari hiruk-pikuk Jogja yang makin menyebalkan, justru bertemu hal yang sama lagi meski di kota lain.
Baca halaman selanjutnya…
Mulai tertular pergaulan bebas
Otw jadi Kota Pelajar
Atas bantuan Sabil, saya kemudian bisa ngobrol dengan Dani (24), warga asli Salatiga yang mendapat predikat sebagai yang terindah di Jawa Tengah itu.
Menurut Dani, kota kelahirannya itu mulai diminati oleh calon mahasiswa baru adalah sejak IAIN Salatiga resmi berubah menjadi UIN Salatiga pada 8 Juni 2022. Menguatkan pendapat Sabil yang menyebut bahwa Salatiga perlahan berubah sejak tahun tersebut.
“Seturut pengalamanku, aku punya temen-temen yang sedari awal emang pengin kuliah di UIN Salatiga. Karena memang di media sosial menyebar narasi bahwa Salatiga sangat menenangkan. Mereka pengin kuliah sambil healing,” terang Dani.
Berbeda dengan dulu saat masih IAIN, di mana IAIN Salatiga hanyalah kampus pelarian bagi mereka yang tidak keterima di kampus idaman. Alias kuliah di IAIN dengan motif yang penting kuliah.
Di Salatiga sendiri memang sudah ada beberapa kampus, meski skalanya tak sebesar kampus-kampus lain di Jawa Tengah. Namun, dengan makin besarnya minat mahasiswa luar daerah untuk kuliah di kota ini, bukan tidak mungkin jika kemudian kota kecil ini berkembang menjadi Kota Pelajar layaknya Jogja.
“Itu artinya harus siap-siap makin riuh kayak Jogja. Kalau aku sih nggak siap,” kata Dani selaku warga setempat.
Tertular pergaulan bebas Jogja
Jika menjadi Kota Pelajar, Dani khawatir budaya di Salatiga kelak akan berubah menjadi sebebas Jogja.
“Karena sekarang aja sudah mulai bebas banget, og. Mahasiswa nginep di kos pacar jadi perkara biasa, padahal dulu tabu sekali di sini,” kata Dani.
Jika kelak Salatiga makin bebas, menurut Dani, bisa jadi kelak image Salatiga bakal menjadi seburuk Jogja. Jika sudah begitu, tempat lahirnya itu sudah bukan lagi tempat pensiun dan menua yang ideal.
“Saking tenang dan santunnya, dulu di medsos ada yang nyebut Salatiga tempat pensiun terbaik,” ujar Dani.
“Kalau kelak justru berubah jadi kayak Jogja, ah, kayaknya aku pun kalau bisa pindah ke kota lain aja lah. Purwokerto misalnya,” tegasnya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.