Meninggalkan Kemewahan Gaji UMR Jakarta Biaya Hidup Jogja Demi Rintis Usaha Warkop di Pinggir Jalanan Jogja

Ilustrasi Meninggalkan Kemewahan Gaji UMR Jakarta Biaya Hidup Jogja Demi Rintis Usaha Warkop di Pinggir Jalanan Jogja (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagaimana rasanya bekerja dengan gaji UMR Jakarta, tapi biaya hidup Jogja? Kebanyakan orang mungkin akan menikmatinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi Nanda (26), lelaki asal Lampung yang memilih menanggalkan kemewahan tersebut karena merasa tak menikmati hidup. Setelah resign dan beberapa bulan menganggur, ia memilih merintis usaha kecil-kecilan di Jogja.

***

Jika melintas di Jalan Laksda Adisucipto, Jogja, kalian bakal menjumpai sebuah kedai kopi kecil, sangat kecil,  yang lokasinya tak jauh dari Ambarukmo Plaza (Amplaz). 

Letaknya sendiri berada di tepian jalan. Ia berdiri tepat di lahan yang kalau siang hari menjadi tempat parkir Kedai Pramuka–sebuah toko yang menjual perlengkapan sekolah bagi siswa.

Tempatnya nggak luas-luas amat, kira-kira hanya seukuran 2×5 meter. Ia juga tak menyediakan meja maupun kursi laiknya coffee shop lainnya di Jogja. Hanya ada gerobak kecil sebagai tempat meracik kopi dan aneka kudapan.

Meskipun demikian, uniknya kedai ini tak pernah sepi pengunjung. Saat hari mulai gelap, apalagi menjelang tengah malam, muda-mudi silih berganti datang ke sini buat ngopi. Kalau kata beberapa pelanggan setianya, sih, “nongkrong dengan view keramaian Jalan Jogja-Solo”.


Nama coffee shop sederhana itu adalah Rue Kopi Anak Street. Sejak bulan puasa lalu, ia resmi membuka cabang di bawah Jembatan Baru UGM, Sinduadi, Mlati, Sleman dan diberi nama Rue Kopi Anak Kolong

Namun, siapa sangka, sang pemilik kedai yang kelihatan “skena abis!” itu ternyata merupakan eks pekerja kantoran di Jakarta yang memilih “pensiun muda” demi merintis usaha kecil-kecilan.

Gaji UMR Jakarta, tapi tak bisa menikmati hidup

Sejak lulus dari Universitas Amikom 2021 lalu, karier Nanda tampak melejit. Ia langsung diterima kerja di Jakarta, tepatnya di sebuah perusahaan multinasional asal Jepang yang memproduksi mobil, sepeda motor, serta peralatan dayanya.

Nanda bekerja di bagian contact center, yang tugasnya menerima, menganalisis, serta  dan memberikan alternatif solusi atas permasalahan konsumen.

“Karena aku kerjanya saat pandemi, jadi WFH, aku kerja dari kos aja. Enaknya sih aku kerja dapat gaji UMR Jakarta, tapi biaya hidupnya Jogja,” kata Nanda kepada Mojok, Jumat (30/5/2024) lalu.

Awal bekerja, Nanda mengaku masih sangat menikmatinya. Apalagi penghasilannya sudah sangat lebih dari cukup untuk ukuran pekerja yang tinggal di Jogja.

Sayangnya, lama kelamaan, ia makin lelah dengan pekerjaannya. Beberapa kali dia merasakan burnout karena rutinitas membosankan dan beban kerja yang semakin banyak.

“Rutinitasnya gitu-gitu aja. Karena WFH, bangun tidur langsung buka laptop, melayani keluhan para customer yang nggak pernah habis. Mata sakit karena laptop, kepala pening gara-gara banyaknya keluhan konsumen,” ungkapnya.

“Yang ngeselin tuh kita dituntut terus stand by, kerap banget tengah malam kita dihubungi karena ada laporan keluhan. Padahal itu di luar jam kerja, tapi mau nggak mau kudu aku kerjain.”

Nanda (baju merah) memilih resign dari kerja di Jakarta demi bikin usaha warkop kecil-kecilan. Ia sedang melayani pembeli di Rue Kopi cabang Kolong Jembatan UGM, Jumat (30/5/2024) (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Setelah semakin lelah, Nanda menyadari kalau kerja kantoran bukan jalan ninjanya. Apalagi, pekerjaan tersebut bikin waktu nongkrongnya bersama teman-teman jadi berkurang.

Butuh waktu lama buat dia memikirkan secara masak-masak buat meninggalkan pekerjaan itu. “Tapi akhirnya aku putusin resign aja karena nggak bisa aku kerja beginian,” jelasnya.

Dari modal 400 ribu, kini bisa menggaji karyawan

Beberapa bulan setelah resign, Nanda masih menganggur. Ia hanya hidup dari sisa-sisa gaji saat masih kerja di kantor Jakarta tadi.

Meski cukup menikmati masa-masa “pensiun mudanya”, Nanda sadar kalau uangnya juga bakal habis. Ia mulai berpikir bagaimana caranya menghasilkan uang, tapi tak menyita waktunya bersama teman-teman. Alias, kerja tapi sambil nongkrong.

Alhasil, terpikirkan buat membuka sebuah kedai kopi. Motivasinya sederhana, karena kalau bikin coffee shop ia bisa tetap punya penghasilan, tapi juga tak kehilangan waktu nongkrong. Warkop yang ia bikin pun awalnya cuma buat mengakomodasi kawan-kawannya yang memang suka nongkrong.

Namun, karena keterbatasan biaya, tak ada uang buat sewa lapak besar, Nanda memilih berjualan kopi dengan metode “starling”. Ia menjajakan kopi melalui motornya.

Karena keterbatasan lapak, para pembeli yang datang ke kedainya pun ngopi di pinggir jalan. Tanpa meja, kursi, apalagi wifi sebagaimana coffee shop mewah. Mereka hanya duduk santai di atas trotoar, sambil menikmati suasana malam Kota Jogja.

“Aku ingat banget modal awalnya itu mungkin sekitar 400 ribuan. Buat beli alat-alat bikin kopi dan sebagainya,” jelas lelaki yang pernah kerja kantoran di Jakarta ini.

Tak dia sangka, peminat coffee shop-nya justru semakin banyak. Dari yang awalnya hanya circle-nya saja, anak skena musik dan anak motor, orang yang datang semakin beragam.

“Dulu yang datang bisa dihitung jari. Mungkin cuma teman dekat yang memang sudah kenal. Tapi sekarang sudah ramai, mungkin pada penasaran kali ya ada warkop di pingir jalan.”

Buka cabang coffee shop di tempat yang antimainstream

Dari modal yang tak seberapa itu, boleh dibilang usaha Nanda sukses keras. Dari yang awalnya cuma cukup buat kebutuhannya sendiri, ia kini bahkan sudah bisa menggaji kawan-kawannya yang membantu mengelola Rue Kopi.

“Meski mereka, yang bantu ngelola ini teman-teman sendiri tetap sistemnya jadi karyawan. Tetap aku gaji,” jelasnya.

Berawal dari kopian starling pinggir Jalan Jogja-Solo, Rue Kopi sudah buka cabang. Uniknya, Nanda memilih di tempat-tempat yang antimainstream.

Cabang pertama yang ia buka berada di kolong Jembatan Baru UGM, berada di taman mati samping aliran Kali Code. Sementara cabang selanjutnya, kata  Nanda, masih coming soon.

“Belum pengen spill lokasinya. Tapi yang jelas antimainstream,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Para Pekerja dari Jogja Mencoba Bertahan di Tengah Kerasnya Tebet Jakarta Selatan, Hidup di Kos Tengah Gang Sempit yang Hanya Bisa Dilewati Satu Motor

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version