Program Pasang CCTV Untuk Cegah KDRT Itu Ngawur, Tak Sentuh Inti Persoalan

Program Pasang CCTV Untuk Cegah KDRT Itu Ngawur, Tak Sentuh Inti Persoalan.MOJOK.CO

Ilustrasi - Program Pasang CCTV Untuk Cegah KDRT Itu Ngawur, Tak Sentuh Inti Persoalan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Sleman, DIY, masih sangat tinggi. Sayangnya, solusi yang ditawarkan oleh paslon yang bertarung di Pilkada 2024 ini sama sekali tak menyentuh inti persoalan.

Berdasarkan data yang dihimpun Mojok dari berbagai sumber, ada 400 lebih kasus kekerasan yang dialami perempuan di Sleman dalam setahun terakhir. 214 di antaranya adalah KDRT dan 208 kasus lain kategori non-KDRT. 

Isu ini pun menjadi pembahasan serius dalam Debat Publik Putaran Kedua Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sleman, yang ditayangkan secara live di kanal YouTube KPU Sleman, Minggu (3/11/2024) malam. Kedua cawabup pun saling beradu argumen untuk menuntaskan persoalan ini.

Program pasang CCTV di kampung-kampung

Dalam kesempatan tersebut, Cawabup Sleman nomor urut 1, Sukamto, mengaku bahwa penanganan KDRT sudah ada Perda yang mengaturnya. Namun, hal itu masih banyak kekurangan karena belum banyak orang tahu.

Maka, pihaknya sebisa mungkin akan gencar mensosialisasikan perda tersebut, agar semakin banyak orang teredukasi.

“Sekarang kembali lagi, harus kita sosialisasikan ke masyarakat [perda]. Jadi karena mereka tidak tahu, nah ini yang perlu kita sosialisasikan lagi,” ujar Sukamto.

Selain itu, pasangan dari bupati petahana, Kustini Sri Purnomo ini mengatakan, program yang akan mereka jalankan adalah pengaktifkan CCTV di kampung-kampung. Sukamto berharap pengaktifan CCTV ini mampu menjadi pemantau jika terjadi kekerasan yang dialami perempuan, khususnya KDRT.

“Sleman ini kan jadi rumah bersama. Pemerintah, dalam hal ini kami akan membuat CCTV kampung yang ikut menjadi pengawasan dari kasus kekerasan,” tambah Sukamto.

Bukan solusi karena tak menyentuh inti permasalahan KDRT

Ketua Pelaksana Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) DIY, Sari Murti Widyastuti, memberi komentar terkait solusi yang ditawarkan salah satu paslon tersebut. Menurutnya, program tadi bukanlah solusi karena sama sekali tak menyentuh inti persoalan.

Dia menjelaskan, KDRT adalah bentuk kasus kekerasan yang sifatnya domestik. Artinya, kerap terjadi di dalam rumah dan dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti suami.

“Makanya, cukup aneh mengapa mau pasang CCTV di lingkungan kampung, sementara hampir semua kasus KDRT terjadi di dalam rumah,” ujar Sari Murti saat dihubungi Mojok, Senin (4/11/2024) sore.

Menurut dosen hukum Universitas Atmajaya Jogja ini, jika memang serius mengatasi kasus KDRT, maka selaiknya harus diselesaikan mulai dari hulunya. Dalam hal ini adalah memastikan laki-laki tidak menjadi pelaku mengingat sebagian besar kasus dilakukan oleh suami.

“Menurut saya, faktor ekonomi, misalnya, itu hanya pemicu lain. Masalahnya tetap di pelaku. Makanya, penting memastikan bahwa sebelum menikah, mempersiapkan mental itu penting,” imbuhnya.

Penguatan instrumen hukum lebih penting

Alih-alih memasang CCTV di kampung-kampung, Sari Murti menganggap bahwa solusi terbaik untuk mengatasi kasus KDRT adalah penguatan instrumen hukum. Mulai dari pelaporan, penanganan, sampai pendampingan korban.

“Mengapa penting, sebab instrumen memang sudah ada, tapi praktiknya yang tidak maksimal. Contoh, masih banyak istri yang baru mau melapor saja malah diabaikan. Ada juga yang sudah melapor, tapi kasus tak ditangani,” jelasnya.

“Bagaimana kasus mau ditangani, kalau suara korban saja tidak didengarkan?,” tegas Sari Murti.

Apa yang disampaikan Ketua Pelaksana FPKK DIY itu diafirmasi oleh Yuli (25), bukan nama sebenarnya. Ia merupakan salah satu korban KDRT yang kasusnya sempat mencuat pada 2022 lalu.

Kala itu, Yuli melaporkan suaminya karena sudah beberapa kali melakukan kekerasan kepadanya. Sejak Januari-April 2022, dia mengaku lebih dari tiga kali mendapat pukulan dari suami. Dua kejadian masih ditolerir, tapi karena tidak kuat, Yuli akhirnya melapor.

Melapor ke polisi, tapi malah disalah-salahin, katanya istri-istri yang kudu memahami suami. Padahal saya waktu itu udah menunjukkan bukti kekerasan, termasuk luka-luka memar,” jelasnya kala dihubungi Mojok, Selasa (5/11/2024).

Akhirnya, atas rekomendasi saudaranya, Yuli memutuskan mencari pendamping hukum dan pemulihan psikis. Kendati kasus tak pernah terselesaikan, kini dia mengaku lega karena sudah terbebas dari sikap toxic sang suami. Awal 2023 lalu, Yuli memutuskan bercerai.

“Jadi, waktu Masnya ngasih tahu soal program CCTV itu, apalah itu. Kalau itu buat ngatasin klitih, curanmor, gitu masih oke. Tapi kalau KDRT, mending diem aja daripada ngomong ngawur,” pungkasnya, geram.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Jogja Darurat KDRT, Ironisnya Hanya Sedikit yang Diproses Hukum

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version