Sudah nyaman bekerja di Malaysia, seorang anak muda di Kulon Progo memilih pulang kampung. Ia memilih jadi petani bawang merah di kampungnya.
***
Tengah hari, di pinggir persawahan Argosari, Sedayu Bantul, di bawah pohon sengon, tampak seorang pria duduk berteduh. Saya menyapanya. Saya pikir ia pemilik lahan persawahan yang terlihat baru saja diolah. “Bukan, Mas. Saya cuma buruh, ini lagi buat persiapan nanam melon,” kata laki-laki itu, Kamis (4/01/2024. Laki-laki itu kemudian mengenalkan diri bernama Sunardi (35).
Dia berasal dari Lendah, Kulon Progo. Hari itu, Sunardi baru menyelesaikan pekerjaannya membuat guludan dan saluran air di lahan yang oleh tetangganya untuk menanam melon. Ia bekerja sebagai buruh harian di lahan itu.
“Ada tetangga saya di Lendah yang nyewa lahan ini setahun, ini untuk tanam melon. Ini saya jadi buruh harian buat ngolah lahan. Kalau yang nanti merawat, ada di sana,” kata Sunardi menunjuk beberapa orang lain yang berteduh di bawah pohon di tengah sawah.
Upah Rp120 ribu per hari, jadi buruh tani buat hiburan
Sunardi dapat bayaran Rp120 ribu per hari untuk menyiapkan lahan. Bayaran itu ia dapt karena lahan persawahannya jauh dari rumah. Kalau lahan lebih dekat, biasanya ia dapat bayaran Rp100 ribu per hari.
Ia menekankan bahwa kelihatannya honor buruh terlihat besar, tapi tidak setiap hari ada pekerjaan. “Paling lama itu dua minggu, setelah itu ya nganggur kalau cuma jadi buruh,” ujar ayah dua anak yang mengaku bertani sejak kecil.
Sunardi melanjutkan, baginya menjadi buruh tani itu hiburan atau pekerjaan sampingan sekaligus mengisi waktu, karena ia sebenarnya punya lahan sendiri. Lahan yang ia sewa itu ia tanami bawang merah. Ia mengatakan, kalau jadi buruh tani sebaiknya memang punya lahan sendiri, meski lahan itu dari menyewa. Dengan begitu tidak ada waktu untuk menganggur dan punya pendapatan pokok.
Ia sendiri menyewa lahan di dekat rumahnya seluas 1.500 meter. Lahan itu ia tanami dengan bawang merah. Kalau bawang merah itu panen usia 50-60 hari,ya dua bulan setengah lah,” kata Sunardi.
Setiap panen dari lahan yang ia olah, ia mendapatkan 2 ton bawang merah. Rata-rata bawang merah itu ia jual Rp20 ribu-an per kilo. “Sekitar Rp50 juta sekali panen, itu pendapatan kotor. Lumayan mas cukup buat kebutuhan keluarga,” katanya.
Baca halaman selanjutnya
Pensiun jadi TKI di Malaysia, pilih jadi petani bawang merah
Pensiun jadi TKI di Malaysia pilih jadi petani bawang merah
Sebelum memutuskan menjadi petani, Sunardi jadi TKI di Malaysia. Ia bekerja di perusahaan plywood atau perusahaan pengolahan kayu. Pekerjaan itu ia tekuni dari tahun 2007 hingga 2012. Iming-iming ringgit nyatanya tak membuatnya bertahan lebih lama di Malaysia.
“Pingin mandiri, Mas. Pekerjaannya berat, 12 jam kerja di pabrik,” kata Sunardi.
“Lho bukannya jadi petani lebih berat?” tanya saya.
“Ya berat, Mas, tapi kalau seneng kan nggak kerasa,” kata Sunardi tertawa.
Bagi Sunardi, petani bukan sekadar pekerjaan. Petani adalah bagian dari hidupnya. “Bapak saya juga petani, dia menanam semangka,” kata Sunardi.
Sunardi tidak memungkiri, banyak anak muda yang kini enggan mengolah sawah. Banyak yang memilih kerja kantoran atau jadi buruh pabrik. “Ya kalau kerja seperti itu kan dapat gaji tetap setiap bulan, kalau bertani kadang nggak tentu,” kata Sunardi.
Hal senada pernah diungkapkan oleh narasumber Mojok, Saiman (67) petani di Argorejo, Sedayu, Bantul. Ia yang sudah menyerahkan lahan sawahnya kepada anak-anaknya harus menelan kenyataan pahit. “Sawah-sawah yang sudah saya kasih ke anak untuk diolah dikembalikan ke saya. Mereka nggak sanggup untuk mengolahnya, pilih kerja kantoran,” kata Saiman.
Saiman sebenarnya memberi solusi pada anak-anaknya agar tidak mengganggu pekerjaan kantoran mereka. “Sebenarnya bisa mengolah sawah itu pagi hari sebelum berangkat kerja,” tapi mereka tidak mau.
Kunci jadi petani, senang dan jangan terpaksa
Saiman menunjukkan lahan persawahan yang tidak digarap oleh pemiliknya. Para pemilik itu memilih untuk menyewakan lahan, termasuk ke dirinya. “Jiwa saya kan petani, Mas, eman-eman kalau lihat ada lahan kosong,” katanya saat itu.
Sunardi menegaskan bahwa baginya bertani itu bukan terpaksa. Namun, karena memang susah menjadi bagian hidupnya. Di sisi lain memang banyak nak muda yang tidak mau bertani, tapi menurutnya tidak sedikit juga yang menjadikan pertanian sebagai bagian hidupnya.
Di tempatnya tinggal, tidak sedikit anak-anak muda yang memilih bertani dengan serius. Lahan yang sedang ia kerjakan untuk ditanami buah melon milik tetangganya yang menyewa tanah. “Tetangga sewa setahun untuk melon. Nah, tenaga buruhnya ya teman-teman dan tetangganya sendiri,” kata Sunardi.
Hal yang sama juga ia lakukan ketika mengolah lahan persawahannya yang ia tanami bawang merah. “Jadi petani itu ya menurut saya sih menyenangkan,” katanya tertawa.
Bagi Sunardi, pekerjaan apa pun pasti punya tantangan. Bagi petani bawang merah seperti dirinya, tantangannya tentu saja di harga pupuk dan kalau ada bawang merah impor. Namun, selama ia menjadi petani, masalah-masalah tersebut relatif bisa bisa ia tangani.
Sebagai petani, Sunardi bukan hanya mengandalkan otot, tapi juga otak. Begitu juga dengan teman-temannya yang berani menyewa sawah. Ia berhitung, tanaman apa yang sekiranya bisa cocok untuk ia tanam di lahan dekat rumahnya dan menguntungkan.
“Kalau saya tanam cabai, itung-itungan saya nggak masuk. Saya pilih bawang merah karena tiap panen pasti laku, perputaran uangnya juga cepat,” kata Sunardi menunjuk tanaman cabai yang tak jauh dari lahan yang tengah ia olah.
Kulon Progo sendiri menjadikan bawang merah sebagai salah satu produk unggulan pertanian. Salah satu varietas bawang merah yang dikembangkan adalah Srikayang yang merupakan bawang merah asli dari wilayah Kalurahan Srikayangan, Kapanewon Sentolo, Kulon Progo.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Jeritan Petani di Sedayu yang Anak-anaknya Nggak Mau Mengolah Sawah di Jogja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News