Tahun 2020 menjadi kali pertama Dipta ke Magelang, Jawa Tengah. Pengalaman itu memberi kesan berbeda bagi pemuda Jawa Timur itu. Sikap warga Magelang—terutama di Nepal van Java Kaliangkrik—benar-benar tidak bisa Dipta lupakan.
***
Di tengah masa pandemi Covid-19, Dipta justru sedang gencar-gencarnya mendaki gunung. Jauh sebelumnya, Dipta sebenarnya sudah kerap mendaki gunung, tentunya yang berlokasi di Jawa Timur.
Maka, baginya, kurang lengkap rasanya jika belum mendaki gunung-gunung di Jawa Tengah. Sebab, konon, gunung di Jawa Tengah memiliki panorama yang mempesona. Sebut saja Sindoro, Sumbing, Merbabu, Prau, hingga Slamet.
Pada pertengahan 2020 itu, Dipta dan satu temannya menuju Gunung Sumbing. Mereka memilih jalur Kaliangkrik yang selama ini dikenal sebagai Nepal van Java: karena menyajikan lanskap permukimam warga di lereng gunung, mirip seperi di Nepal.
Tertatih menuruni Gunung Sumbing, kaget dengan belas kasih warga Magelang
Mendaki Gunung Sumbing via Kaliangkrik sebenarnya dibantu memangkas banyak waktu dalam perjalanan dari basecamp menuju Pos 1. Pasalnya, ada jasa ojek gunung yang bisa mengantarkan pendaki hingga Pos 1.
Tidak hanya saat mulai treking. Saat turun pun demikian. Dari Pos 1, pendaki bisa memakai jasa ojek untuk dibonceng hingga basecamp. Opsi ini bisa dipilih dengan membeli paket naik-turun sekaligus.
Saat itu, Dipta tidak membeli paket tersebut. Dia hanya menggunakan jasa naik saja. Bayangannya, untuk turun jauh lebih enteng.
“Padahal, dalam kamus pendaki, turun itu justru lebih berat. Karena kaki jadi penyangga utama,” ungkap Dipta, Selasa (16/9/2025).
Benar saja. Dipta susah payah menuruni medan dengan kaki gemetar. Dengkulnya juga terasa linu sekali. Sampai dia harus berjalan miring.
Langkah Dipta makin tertaih selepas dari Pos 1. Sementara untuk menuju basecamp masih jauh. Di momen itu, tiba-tiba ada seorang tukang ojek—warga Kaliangkrik Magelang—yang menawari boncengan. “Nggak usah bayar, Mas. Nggak apa-apa. Kasihan saya lihat masnya,” ujar si tukang ojek.
Tak pelak itu membuat Dipta dan temannya kaget. Mereka terkesan, begitu ramah dan tulusnya warga setempat. Sesuatu yang katanya jarang mereka jumpai di Jawa Timur.
Nyapa siapa saja responsnya menyenangkan
Dipta langsung rasan-rasan dengan temannya. Kok bisa ya orang-orang sini—Kaliangkrik Magelang—seramah itu pada pendatang.
Alhasil, mereka pun iseng. Mereka sengaja turun dari Nepal van Java itu dengan memacu motor agak pelan. Sembari menikmati udara sejuk yang mengusap tubuh mereka.
“Hampir setiap orang yang kami temui, misalnya petani yang baru mau pulang dari ladang, kami sapa. Dan respons mereka bener-bener menyenangkan,” ujar Dipta.
Warga setempat selalu merespons dengan sapaan balik. Tak hanya itu, nyaris setiap orang yang mereka sapa memberi imbal balik berupa senyum tulus. Maknyes di hati Dipta. Karena tidak setiap daerah di Jawa Timur bisa memberikan suasana serupa.
Pengalaman pertama ke Magelang itu benar-benar tidak terlupakan bagi Dipta dan temannya. Mereka memang belum pernah lagi singgah ke Magelang setelahnya. Namun, mereka punya keinginan kuat untuk kembali ke sana. Kesan ramah dan tulusnya masih terasa membekas.
Jatuh cinta dengan kehidupan bertetangga di Magelang
Jika Dipta dan temannya hanya sepintas, maka beda cerita dengan Syakira (27). Dia asli Jawa Timur. Tapi “kecantol” dengan pemuda Magelang sejak masa-masa kuliah di sebuah kampus di Jogja.
Tahun lalu mereka resmi menikah. Syakira dan suaminya sebenarnya negkos di Jogja. Akan tetapi, hampir setiap dua pekan sekali Syakira diajak pulang suami ke Magelang.
“Aku mulai ngerasa nyaman itu ya sejak pacaran. Kan dikenalkan ke keluarga di Magelang. Lalu pas di pernikahan juga terasa guyubnya,” ungkap Syakira.
Kini setelah menjadikan Magelang sebagai salah satu tempat pulang, Syakira makin merasa betah dengan suasana di sana.
Dia akhirnya merasakan betapa antartetangga memiliki hubungan yang hangat. Tidak ada kesan individualistik sebagaimana yang dia rasakan di lingkungannya di Jawa Timur. Itu membuatnya begitu jatuh cinta Magelang.
Jujukan slow living
Merujuk data dari Tim Jurnalisme Data Harian Kompas (Kompas.id) Desember 2024, Magelang (baik kabupaten maupun kota) memang menjadi salah satu daerah yang dianggap paling ideal untuk gaya hidup tenang (slow living) atau jujukan untuk pensiun.
Magelang tidak sendiri. Ia diikuti daerah lain di Kawasan Kedu Raya seperti Kabupaten Purworejo, Temanggung, Wonosobo. Kedu Raya menempati urutan pertama kota ideal dengan skor tertinggi 70,7, diikuti Tasikmalaya Raya (67,2) dan Banyumas Raya (63,3).
Selain itu, berdasarkan hasil survei Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Disominsta) 2024, indeks kebahagiaan penduduk Kota Magelang di tahun 2024 mencapai angka 79,99. Indeks kebahagiaan laki-laki sebesar 81,32, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya berada pada indeks 78,65.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Di Balik Hiruk-Pikuk Wisata Candi Borobudur Magelang: Wisatawan Bersenang-senang, Warga Setempat Hidup dalam “Kepiluan” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












