Mahasiswa PTN Jogja coba-coba check-in OYO hotel karena ingin hemat. Sialnya, malah berakhir tekor karena melakukan hal konyol.
***
Bayu (21) masih ingat jelas perjalanan ke Malang pada pertengahan 2024 lalu. Ia berangkat bersama dua temannya, sebut saja Rafi dan Dinda, sebagai perwakilan salah satu PTN di Jogja untuk lomba debat antaruniversitas.
Raut wajah mereka waktu itu semringah. Sebab, kampus menanggung biaya transportasi dan sebagian besar penginapan. Namun, seperti mahasiswa pada umumnya, mereka tetap ingin berhemat.
“Lumayan kan kalau ada sisa buat jajan atau beli oleh-oleh,” kata Bayu sambil terkekeh, saat ditemui Mojok, Minggu (5/10/2025) lalu.
Dari dana yang diberikan kampus, mereka memperkirakan bisa menginap di hotel bintang tiga di pusat kota Malang. Namun, setelah menghitung ongkos perjalanan, makan, dan keperluan lainnya, mereka mengurungkan rencana itu.
Setelah mengecek harga berbagai hotel di aplikasi, rata-rata tarif satu kamar Rp350-500 ribu per malam. Maka, muncullah opsi yang bagi mereka menjadi “win-win solution”: OYO.
“Waktu itu aku lihat di aplikasi OYO, harga satu kamar per malamnya 175 ribu. Kalau dua kamar berarti cuma 350 ribu. Di hotel biasa harga segitu baru dapat satu kamar aja,” ujar Bayu.
“Ya sudah, akhirnya kami sepakat di OYO aja. Toh cuma buat tidur,” imbuhnya. Bayu memesan dua kamar yang masing-masing seharga Rp175 ribu per malam. Satu kamar untuk dia dan Rafi, satu lagi buat Dinda sendirian.
OYO tak seburuk yang dibilang orang-orang
Singkat cerita, mereka tiba di Malang sore hari. Ketika sampai di penginapan, Bayu sempat mengira bakal melihat tempat yang “seram” dan “remang-remang”, sesuai gosip yang kerap beredar tentang OYO.
Katanya, sesuai yang Bayu dengar, OYO itu punya reputasi sebagai “hotel esek-esek”. Banyak cerita yang menyinggung bahwa tempat ini kerap dijadikan tempat mesum hingga open BO. Lantaran harganya yang memang murah.
Tapi ternyata, OYO yang mereka pilih justru tampak cukup bersih. AC berfungsi normal, sprei wangi, kamar mandi bersih, bahkan TV-nya bisa nyala.
“Waktu itu kami malah sempat bangga. Wah, ternyata OYO nggak seburuk itu,” kata Bayu.
Malam itu mereka tidur tenang. Tak ada masalah dengan air panas, tak ada serangga, tak ada suara aneh dari kamar sebelah. Bayu sempat berpikir, mungkin inilah keputusan paling efisien yang pernah mereka buat sebagai mahasiswa.
Masalah malah datang dari hal sepele
Keesokan harinya, lomba debat yang dimulai pukul sembilan pagi. Bayu dan kawan-kawannya sebenarnya datang tanpa ekspektasi apa-apa. Bahkan, keputusan check-in cuma satu malam ia pilih karena berpikir bakal langsung kalah cepat dan pulang siang itu juga.
Namun, Bayu dan kawan-kawan malah tampil solid di babak penyisihan. Argumen mereka rapi, pembawaan percaya diri, dan hasilnya mereka lolos ke semifinal.
Namun, bertanding banyak pertandingan, mereka baru selesai sekitar jam tiga sore. Dengan tubuh lelah mereka kembali ke OYO untuk istirahat sekitar pukul empat sore. Saat tiba di resepsionis, Bayu kaget bukan main.
“Mas, ini sudah lewat jam check-out ya. Jadi kami kenakan biaya tambahan 50 ribu per jam per kamar,” kata Bayu, mengulang kalimat penjaga kamar saat itu.
Bayu mengaku sempat bengong. Dia baru tersadar, kalau OYO ini laiknya hotel-hotel pada umumnya, ada batas maksimal check-out, yakni pukul 12 siang.
Bayu sempat melirik ke jam tangan. Sudah pukul empat sore. Itu artinya, dua-tiga jam lewat. Satu kamar kena denda Rp50 ribu per jam, dua kamar jadi Rp100 ribu. Karena terlambat check-out empat jam, total dendanya jadi Rp400 ribu.
Mereka bertiga saling pandang, antara bingung dan pasrah. Akhirnya Bayu mengiyakan saja dan membayar denda. Toh, mau gimana lagi.
Niat hemat berubah jadi boncos
Setelah membayar denda, mereka berpikir lebih baik sekalian memperpanjang sewa di OYO. “Biar nggak ribet,” kata Bayu. Maka, mereka memesan dua kamar lagi untuk satu malam tambahan.
Begitulah, total biaya (normal) yang tadinya cuma Rp350 ribu (untuk satu malam), kini membengkak jadi Rp1,1 juta. Hitungannya: dua malam, dua kamar, plus denda Rp400 ribu.
Bayu, sekali lagi, mengaku salah perhitungan. Ia baru ingat kalau dirinya sewa satu malam dengan pertimbangan lombanya bakal selesai satu hari dan timnya tak akan melaju jauh. Jadi, siang itu juga mereka bisa langsung check-out.
Eh, malah mereka tampil gacor, dan mau tak mau harus bertanding lagi di semifinal hari berikutnya.
“Itu denda 400 ribu lumayan banget. Padahal kalau dari awal nginep di hotel biasa, mungkin udah dapat sarapan.”
Malam kedua itu mereka lalui dengan perasaan campur aduk. Lelah karena debat, kesal karena denda, dan sedikit geli karena tahu bahwa niat hemat mereka justru berakhir boncos.
Bikin trauma menginap di OYO
Esoknya, tim Bayu bertanding di semifinal. Mereka tampil cukup baik, meski akhirnya kalah tipis. Alhasil, tak ada piala, tak ada hadiah uang, yang ada hanya sertifikat partisipasi.
Dalam perjalanan pulang ke stasiun, temannya sempat nyeletuk, “Bay, duit sisa kita tinggal berapa? Masih bisa beli oleh-oleh nggak?”, ingat Bayu.
Bayu menatap dompetnya. Isinya nyaris kosong. Rencana awal untuk beli oleh-oleh khas Malang pupus begitu saja. Uang habis untuk hal yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya.
Sesampainya di Jogja, Bayu dan teman-temannya menjadikan kejadian itu sebagai bahan bercandaan.
“Lucunya, sampai sekarang aku belum pernah nginap di OYO lagi,” katanya, terkekeh. “Trauma ringan, sih. Ya padahal itu juga salah kita karena salah hitungan dan nggak teliti, cuma trauma aja kalau dengar kata OYO.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pertama Kali Makan All You Can Eat (AYCE) Berakhir Kapok: Habis Rp250 Ribu, tapi Pulang dalam Keadaan Malu dan “Tetap Lapar” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
