Tidak setiap orang “beruntung” sudah familiar dengan kereta api (KA) sekalipun kelas ekonomi sejak kecil. Sebab, ada orang yang tinggal di daerah yang tidak menjadi perlintasan kereta api. Misalnya Rembang, Jawa Tengah, tempat asal saya, di mana moda transportasi andalan warganya adalah bus ekonomi.
Kereta api ekonomi tetap menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan. Sejak kecil, saya—dan barangkali teman-teman asal Rembang lain—hanya familiar dengan bus dan truk-truk besar yang melintas di pantura.
Untuk menempuh perjalanan jauh ke luar daerah, bus ekonomi menjadi pilihan utama. Itulah kenapa, bertahun-tahun saya menjadi pengguna bus. Sejak zaman kuliah di Surabaya hingga kemudian merantau di Jogja.
Perjalanan Rembang-Surabaya, Jogja-Semarang-Rembang, atau Jogja-Surabaya selalu saya tempuh dengan bus ekonomi. Baru belakangan saya mulai intens menggunakan kereta api ekonomi kalau sedang pulang ke rumah mertua di Jombang, Jawa Timur.
Membayangkan dari TV dan mainan
Dari kecil hingga SMA, pengetahuan saya soal kereta api hanya terbatas pada tayangan TV dan mainan. Itu pula yang terjadi dengan anak-anak kecil di desa saya di Rembang bahkan hingga saat ini.
Maka, tak heran jika sedang pergi ke daerah yang menjadi perlintasan kereta api, anak-anak akan takjub dan histeris saat melihat deretan gerbong melintasi rel dengan bunyi “Nut… nut… nut…”
Misalnya ketika momen pernikahan saya Februari 2025 lalu. Anak-anak kecil di rombongan elf yang mengantar saya ke Jombang tak henti-henti takjub tiap melihat kereta api melintas: Baik saat di Lamongan maupun setiba di Jombang. Hanya melihat relpun mereka histeris bukan main.
Anak-anak itu, barangkali akan seperti saya, harus menunggu sampai umur 20-an tahun baru bisa mencicipi pertama kali naik kereta api.
Pertama kali naik kereta api (KA) ekonomi, rasanya seperti mimpi
Sejak pertama kali kuliah di Surabaya pada 2017 silam, saya kerap sengaja jalan kaki memutar di gerbang depan kampus. Kendati itu artinya saya harus memutar jauh, karena jarak kos saya sedianya lebih dekat dengan pintu belakang.
Hal itu sengaja saya lakukan untuk, syukur-syukur, bisa melihat kereta api melintas. Saat sedang berkendara motor di jalan pun, mata saya kerap terpaku saat melihat transportasi seperti ular itu berlalu-lalang.
Maka, rasanya seperti mimpi belaka ketika akhirnya, untuk pertama kalinya, saya berkesempatan naik kereta (KA) ekonomi pada momen liburan semester 1.
Seorang teman asal Blitar, Jawa Timur, mengajak saya dan beberapa teman kelas liburan ke rumahnya. Tentu saja kami berminat. Lebih-lebih saya, tentu saja sangat antusias. Karena itu menjadi momen pertama kali saya naik kereta api. Bagi orang desa yang tak pernah menjamah transportasi itu, rasanya seperti mimpi.
Baca halaman selanjutnya…
Bergaya malah nelangsa gara-gara beli nasi goreng di KAI
Banyak gaya lewat story
Saat itu, kami belum mengenal aplikasi KAI Mobile (sekarang KAI Access). Pembelian tiket dilakukan secara konvensioanl di loket stasiun. Itupun saya tak paham caranya. Semua diurus oleh teman saya. Yang saya tahu, saya hanya perlu menyetor KTP.
Selama ini, kalau naik bus saya hanya perlu naik, lalu nanti tinggal bayar saja saat ditarik oleh kondektur.
Tapi, pikir saya waktu, tak masalah tak paham cara pesan tiket kereta api. Toh saya mungkin tidak akan sering-sering juga menggunakan moda transportasi tersebut.
Maka, momen pertama kali itu saya gunakan untuk “banyak gaya”. Dengan HP yang masih butut, saya abadikan setiap jengkal momen yang saya lewati dalam malam keberangkatan ke Blitar itu.
Dari bagian depan Stasiun Wonokromo, di kursi tunggu penumpang dengan segala keriuahannya, memotret kereta api yang sedang berhenti menaik-turunkan penumpang, dan apalagi saat sudah di dalam kereta api. Kebutuhannya satu: unggah sebagai story di WhatsApp. Norak memang. Namanya juga baru pertama kali.
Takjub dengan WC hingga AC di kereta api (KA) ekonomi
Ada banyak hal menyiksa setiap kali naik bus ekonomi. Tapi bagi saya, yang paling menyiksa adalah alpanya toilet.
Saya sering tersiksa ketika di tengah perjalanan saya kebelet buang air (besar maupun kecil). Karena pilihannya hanya satu: Menahan sekuat mungkin hingga tiba di tujuan. Biasanya saya memaksakan diri untuk tidur biar tidak terasa.
Karena itulah saya terkagum-kagum dengan fasilitas di dalam kereta api. Meskipun kelas ekonomi, tapi ada AC, ada toilet, bagasi buat tas juga memadai.
Saya tidak terbiasa dengan AC. Jika bersentuhan dengan AC, pasti menggigil dan tiba-tiba beser (pengin buang air kecil terus). Untungnya, di kereta api ekonomi itu, saya bisa bolak-balik ke WC di belakang.
Asyik menikmati, dengkul tiba-tiba nyeri
Separuh perjalanan Surabaya-Blitar yang berjarak lima jam benar-benar saya nikmati. Sampai akhirnya, saya merasakan dengkul yang tiba-tiba terasa nyeri.
Maklum saja, dua kursi berhadapan membuat dengkul penumpang tertekuk sedemikan simetris. Itupun masih berpotensi bersenggolan dengan dengkul penumpang lain di kursi depan.
Punggungpun lama-lama terasa nyeri juga, karena tegak lurus. Mau mencoba tidur susahnya minta ampun. Leher terasa tengeng. Alhasil, ketika turun di Stasiun Blitar, kaki terasa linu sekali buat berjalan.
Menyesal membeli makanan di gerbong
Meski begitu, tidak ada yang saya sesali dari perjalanan pertama kali naik kereta api (KA) ekonomi itu. Pengalaman pertama yang sangat berharga karena membuat saya merasa dekat dengan sesuatu yang sebelumnya teramat jauh.
Kalau ada yang saya sesali, yakni satu hal: membeli makanan di dalam gerbong.
Di tengah perjalanan, petugas KA ekonomi bolak-balik dari gerbong ke gerbong untuk menjajakan makanan. Saya yang lapar terpincut untuk membeli nasi goreng.
Saya pikir harganya paling mahal ya Rp15 ribuan lah. Ternyata saya keliru. Satu kotak nasi goreng harus saya tebus dengan harga Rp35 ribuan.
Sebagai orang dengan uang pas-pasan, hal itu saya sesali betul. Mengingat, di perantauan saja saya mencoba menghemat makan di angka Rp8 ribu sampai Rp10 ribu permakan untuk dua kali dalam sehari. Lah ini, Rp35 ribu ludes untuk sekali makan saja.
Punya KAI Access tapi tak pernah terpakai
Pengalaman kedua saya naik kereta api adalah pada penghujung 2021 lalu, saat perjalanan ke Banyuwangi, Jawa Timur bersama seorang teman untuk bertualang. Itupun urusan tiket diurus oleh teman saya.
Selebihnya saya tidak pernah menggunakan moda transportasi ini lagi. Lebih mengandalkan bus atau motoran.
Ketika akhirnya pindah ke Jogja pada Februari 2024 lalu, saya memutuskan untuk mengunduh aplikasi KAI Access. Tapi nyaris tidak pernah saya gunakan untuk memesan tiket.
Sebenarnya saya memahami sistemnya. Pemesanan bisa jauh lebih mudah. Tapi entah kenapa, saya tidak percaya diri naik kereta api sendiri.
Baru belakangan ini—setelah menikah—saya lebih sering naik kereta api ekonomi untuk perjalanan Jogja-Jombang atau Jogja-Surabaya. Itupun yang mengurus tiketnya istri saya. KAI Accesss saya benar-benar tak terpakai.
Tapi setelah beberapa kali perjalanan dengan KA ekonomi, bajilak, lama-lama saya malah lebih nyaman naik moda transportasi ini. Dengan biaya yang lebih murah dari bus ekonomi, jarak tempun terasa lebih ringkas, tidak panas dan menguras energi, dan paling penting: ada WC-nya. Jadi saya bisa buang air kapan saja dengan leluasa. Dengkul dan punggung nyeri-nyeri dikit tak apalah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pertama Kali Naik Kereta Api Eksekutif: Sok Kaya Berujung Norak dan Malu-maluin, Kena Tegur karena Gondol Selimut KAI atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
