Di tengah ingar-bingar Kota Joga, saya melihat seorang pedagang yang dulunya berjualan di Malioboro. Lalu, dia pindah ke pelantaran Tempo Gelato. Pedagang itu menjual kerajinan dan mainan tradisional dekat pintu keluar-masuk. Wajahnya terlihat sumringah ketika pengunjung kedai menghampiri barang dagangannya.
***
Seorang bapak tua nampak menawarkan barang dagangan berupa kerajinan dan mainan tradisional kepada pengunjung kedai gelato. Sepasang kekasih nampak menghampirinya dan melihat-lihat.
Yang perempuan membeli gelang seharga Rp10 ribu per buah. Sedangkan, yang laki-laki nampak tertarik membeli miniatur kayu berbentuk becak atau pesawat seharga Rp50 ribu.
Tak lama kemudian, seorang perempuan tua datang menanyakan harga mainan tradisional dari kayu. Nampaknya, dia ingin menghadiahkan itu kepada sang cucu yang digandeng oleh suaminya.
“Itu Rp20 ribu saja, Bu,” ucap pedagang tersebut sambil tersenyum ramah.
Rasa penasaran membuat saya mendekati pedagang tersebut ketika pengunjung tak terlalu ramai. Saya bertanya tentang alasannya tidak berjualan di tempat yang lebih ramai seperti Malioboro.
Pedagang Malioboro terusir, pilih jualan di depan Tempo Gelato
Bapak tua itu bernama Purwanto (71). Jika dihitung, pedagang asal Gunung Kidul, Jogja itu sudah empat tahun berjualan kerajinan dan mainan tradisional di depan Tempo Gelato.
Sebelumnya, dia sudah menjadi pedagang di Malioboro, Jogja. Purwanto bercerita persaingan dagang di sana semakin ketat, sehingga dia memilih mencari lapak lain. Lebih dari itu, Purwanto merasa tidak tenang karena selalu ada razia dari Satpol PP.
“Dagang di sana (Malioboro) nggak tenang. Ada obraan terus. Jadi saya jual di pinggir-pinggiran kota saja. Bisa duduk-duduk, tenang. Nggak ada obraan. Teman-teman saya juga begitu,” ujar Purwanto, Minggu (29/11/2024).
Kebetulan saat berkeliling di Jalan Kaliurang KM 5, Purwanto melihat Tempo Gelato yang selalu ramai pengunjung. Kedai gelato itu memang terkenal dan hanya ada tiga cabang di Jogja. Purwanto akhirnya menemui langsung pemilik kedai bergaya Eropa itu untuk meminta izin berjualan di depan pelantaran.
“Bosnya sangat baik, dia orang Prancis tapi bisa Bahasa Indonesia, setahu saya istrinya orang Jawa. Saya diperbolehkan jualan, bahkan tiap ketemu selalu di sapa ‘Sehat, Mbah?’, saya jawab sehat,” cerita Purwanto.
Berangkat dari subuh dengan bis ke Malioboro
Purwanto hanya pulang satu minggu sekali ke Gunung Kidul. Biasanya dia numpang untuk tidur di rumah teman-temannya. Ketika subuh, Purwanto sudah siap-siap. Sehari-hari, dia naik bis untuk pergi ke Malioboro mengambil barang dagangannya.
“Sekitar jam 07.00 WIB saya sampai di Malioboro, ambil barang dagangan dulu. Terus Jam 09.00 WIB baru sampai Tempo Gelato, tokonya sudah buka,” ucapnya.
Purwanto bisa mangkal sampai malam atau keliling lagi ke tempat-tempat ramai dekat sana. Meski bekerja dari pagi sampai malam, penghasilannya bisa dibilang cukup tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.
Jika suasana ramai seperti liburan atau tanggal merah, Purwanto bisa mendapatkan upah sebanyak Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per hari. Kalau tidak ramai, ya hanya dapat sekitar Rp100 ribu dalam sehari, bahkan tidak dapat sama sekali.
Terbiasa berdagang di perantauan hingga kembali lagi ke Jogja
Saat berusia 23 tahun, Purwanto sudah merantau ke Surabaya. Sebagai lulusan SD, Purwanto tak muluk-muluk. Dia hanya ingin mencari kerja untuk hidup.
“Bahkan jualan daun-daun saya nggak malu. Jual rumput, daun pisang, asal halal. Daripada saya minta-minta ke orang tua, lebih baik saya usaha sendiri,” ujarnya.
Mulanya, Purwanto membantu temannya bekerja di Surabaya sebagai pembuat kerupuk. Karena sudah punya pengalaman berdagang sedikit-sedikit, dia mulai mencoba menjual arang.
“Dulu ada yang ambil, tapi kalau sekarang banyak yang nggak butuh jadi saya tinggalkan,” kata dia.
Purwanto akhirnya berjualan buah-buahan di daerah Menur. Tak terasa, dia sudah tinggal di Surabaya selama 7 tahun. Namun, Purwanto memutuskan pindah ke Jakarta untuk bertaruh hidup. Profesinya tetap tak jauh-jauh dari seorang pedagang.
Selama 3 tahun di Jakarta, Purwanto telah mencicipi berbagai pekerjaan seperti berdagang es teler, es cendol, membuat kerupuk, hingga mie ayam.
Selain dua kota besar tadi, Purwanto juga pernah ke Cirebon, Tegal, Gunung Kidul, dan Wanasari. Lagi-lagi untuk bertaruh hidup dengan berdagang.
Saat usianya belum senja, Purwanto masih bisa berjalan keliling sambil mendorong gerobaknya. Namun, karena sudah tua Purwanto hanya bisa menjual barang yang tidak banyak menguras energi.
Hingga akhirnya dia menjadi pedagang di Malioboro. Lalu, menjual mainan tradisional atau kerajinan. Selain tidak terlalu jauh dari rumahnya, dia juga sudah berkeluarga.
Pedagang Malioboro di Jogja bertahan hidup demi keluarga
Setiap satu minggu sekali dia akan pulang ke Gunung Kidul untuk menemui keluarganya, yakni istri, dan dua orang anaknya. Namun, di masa pandemi Covid kemarin, Purwanto harus kehilangan salah satu orang anaknya.
“Anak saya itu meninggal, tapi bukan karena Covid,” ujar Purwanto, tak menceritakan alasannya lebih jauh.
Dari anaknya yang sudah meninggal itu, Purwanto memiliki dua orang cucu. Istrinya yang tidak bekerja, dengan sabar merawat salah satu cucunya itu sejak kecil. Saat ini, dia sudah kelas dua SMA.
Sementara, cucunya yang satu lagi tinggal bersama besannya dan sudah lulus kuliah. Jika ditotal, Purwanto punya empat cucu. Dua lainnya masih TK dan SMP. Keluarga kecilnya itu membuat Purwanto semangat untuk bertahan hidup.
Bangga dengan cucunya yang bisa kuliah
Salah satu cucu Purwanto adalah lulusan di salah satu kampus di Malang. Meskipun tidak merawatnya secara langsung, Purwanto nampak senang menceritakan cucunya yang bisa meraih gelar sarjana.
“Baru satu bulan kemarin dia lulus, sekarang lagi cari-cari kerja. Kadang-kadang kalau ada rezeki ya saya kirimi (uang) sedikit-sedikit,” ucapnya sembari tersenyum.
Purwanto merasa bangga, karena dia sendiri tidak punya kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Boro-boro kuliah, untuk makan saja, ayah dan ibunya yang seorang petani harus banting tulang.
“Orang tua saya cuman bertani, nggak ada sampingan apa-apa. Makanya makan beras kalau lagi panen saja, itupun setahun sekali,” kata dia.
“Kalau nggak panen ya makan tiwul (makanan yang terbuat dari singkong) ambil dari pohon, buat satu keluarga. Lauknya cuman sayur-sayuran, nggak ada ikan-ikanan,” lanjutnya.
Kondisi itu membuat Purwanto harus putus sekolah sejak SD karena orang tuanya tidak ada biaya. Meskipun di lubuk hatinya dia masih ingin belajar.
Purwanto bercerita, meskipun jarak dari rumah dan sekolahnya cukup jauh, dia rela berangkat sejak pagi buta. Di zamannya saat itu, dia tidak perlu menggunakan seragam. Dia merasa beruntung karena tidak perlu membelinya.
“Dulu bahkan belum ada buku tulis, saya pakai sabak,” ucapnya. Kesederhanaan itu membuatnya kuat menjalani hidup.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah Para PKL dari Minang di Malioboro, Sejak 1970 Merintis Usaha sampai Beranak Cucu di Jogja
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News