Demi memuluskan jalan anak menjadi anggota polisi, orangtua rela menguras tabungan lebih dari Rp10 juta. Sayangnya, uang tersebut amblas karena malah kena tipu.
Awalnya, situasi itu membuat stres. Akan tetapi, kini malah bersyukur karena gagal menjadi polisi sama artinya dengan tidak menjadi musuh tetangga dan masyarakat Indonesia. Kendati sesekali tetap ada rasa kesalnya sebab uang ludes secara cuma-cuma.
***
Sudah sejak SMP Brian* (22), bukan nama asli, memang ingin menjadi seorang polisi. Apalagi dia memiliki saudara jauh yang juga seorang anggota polisi (setidaknya mengaku begitu).
Dari saudara jauhnya itu pula lah optimisme Brian kerap dipompa. Dalam setiap kesempatan ketemu, si saudara selalu memberi jaminan kalau kelak jika sudah lulus SMA, si saudara bisa “membawa” Brian masuk menjadi “pemuda berseragam” dengan mulus.
Meski citra berangsur rusak, tapi bertekad jadi polisi baik
Demi keamanan Brian dan keluarga, identitas detail Brian harus Mojok sembunyikan. Yang jelas, Brian punya tekad kuat dan niat mulia menjadi seorang anggota kepolisian.
Brian dan orangtuanya sebenarnya tidak tutup mata dan telinga atas kabar-kabar buruk yang selalu menyeret oknum polisi. Mulai dari kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, kematian Gamma, dan sederet kasus kekerasan yang melibatkan oknum yang seharusnya mengayomi masyarakat tersebut.
“Justru karena itu. Aku punya tekad untuk memperbaiki citra polisi. Benar-benar mengayomi. Walaupun aku niatnya pakai jalur dalam, tapi setidaknya aku ingin memanfaatkan itu untuk kebaikan nantinya, tidak sekadar ambil kesempatan,” tutur Brian, Sabtu (6/9/2025).
“Orangtua juga begitu. Mendukung asal kelak aku jadi petugas yang baik, tidak suka kekerasan,” sambungnya.
Mondar-mandir bawa uang demi jadi polisi
Lulus SMA, Brian mencoba menghubungi saudara jauhnya—yang mengaku anggota polisi tadi.
Berbeda dari sebelum-sebelumnya, Brian sebenarnya menangkap kesan tak antusias dari si saudaranya tersebut. Tampak ogah-ogahan betul.
“Tapi dia ngasih aku rangkaian berkas yang harus kulengkapi. Sejak menyerahkan berkas itu harus bayar. Biaya administrasi katanya,” ucap Brian.
Tak berhenti di situ, Brian diminta mengerjakan beberapa materi ujian. Itupun harus bayar lagi.
Di titik itu, Brian sebenarnya sudah janggal, karena aneh saja rasanya daftar hingga ujian tidak di kantor instansi resmi. Melainkan si saudara mengajak bertemu di kediamannya. Mengerjakan soal ujian juga di rumahnya: rumahnya hanya beda kecamatan dengan rumah Brian.
“Katanya karena lewat orang dalam. Jadi diurus di luar kantor. Cuma memang di rumahnya itu aku nggak melihat ada foto dia atau sesuatu yang menunjukkan kalau dia benar-benar polisi,” ungkap Brian.
Tabungan terkuras, ternyata kena tipu
Cukup banyak rangkaian yang harus Brian ikuti dari si saudara. Paling puncak adalah, Brian harus menyerahkan uang lagi untuk biaya seragam. Tabungan orangtua Brian—yang hanya buruh pabrik—benar-benar dikuras demi memuluskan cita-cita Brian menjadi polisi.
“Waktu itu orangtua sudah bingung, kok prosesnya panjang sekali, tapi nggak jadi-jadi,” ucap Brian.
Saat Brian menanyakan kapan kepastian dia bisa resmi berseragam dan benar-benar menyambangi kantor resmi untuk dikenalkan sebagai anggota baru? Si saudara jauhnya tadi meminta Brian sabar menunggu informasi lebih lanjut.
Namun, hingga berbulan-bulan kemudian, si saudara tak kunjung memberi kabar. Nomornya bahkan tidak bisa dihubungi. Begitu juga kediamannya yang sudah tidak ditempati lagi.
“Jadi orang itu sebenarnya bukan asli orang sini. Cuma lama menetap di daerahku karena ditugaskan di daerah sini. Kalau kata orang sekitar, dia itu ngaku intel. Tapi masa intel ngaku? Kan Aneh,” kata Brian.
“Singkat cerita, sejak dulu dia akrab sama bapak, akhirnya jadi kayak saudara sendiri. Bapak kalau bilang ya saudara jauh gitu lah,” sambungnya.
Awalnya, Brian mengira si orang tersebut memang benar-benar saudara: masih ada ikatan darah. Dia baru fakta di atas setelah memastikan kalau orang tersebut lenyap membawa uang-uang yang orangtuanya berikan, yang sedianya diniatkan untuk mendaftar jadi polisi lewat jalur dalam.
Brian, orangtuanya, sekaligus warga setempat akhirnya baru menyadari, kalau selama si penipu tadi tinggal di sana, sebenarnya sudah banyak gejala-gejala janggal dan mencurigakan. Sudah sejak dulu. Hanya tertutup karena warga sudah kadung percaya kalau orang itu adalah intel. Nggak tahunya ternyata intel gadungan.
Awalnya stres dan rutuki kebodohan sendiri
Kasus penipuan itu sempat membuat geger, baik di desa Brian maupun di desa si penipu tadi. Banyak yang menyarankan orangtua Brian lapor ke polisi. Karena eman, kalau ditotal, ya lebih dari Rp10 juta uang orangtua Brian melayang.
“Tapi bapak tahu lah, kami niat pakai orang dalam saja sudah salah. Masa mau bikin laporan. Ya malah kami yang kena,” ungkap Brian. Alhasil, pilihannya hanya tinggal merelakan sambil merutuki kebodohan sendiri.
“Jadi kalau daftar-daftar gitu lewat jalur resmi saja ya teman-teman,” saran Brian kepada pembaca Mojok.
Brian dan orangtuanya tentu saja sempat merasa stres. Mengumpulkan uang sebanyak itu untuk ukuran orangtua Brian tentu butuh waktu sangat lama. Mau direlakan karena sudah kepalang terjadi, tapi kok ya bikin kesel sendiri kalau diingat-ingat lagi.
Bersyukur tak jadi musuh tetangga dan masyarakat
Namun, seiring waktu, kini Brian dan orangtuanya malah bersyukur karena penipuan itu membuat Brian batal jadi polisi. Mengingat, saat ini—apalagi setelah kematian Affan Kurniawan yang dilindas rantis—kebencian dan kemarahan publik seperti tak terbendung pada aparat sekaligus pejabat.
“Tetangga-tetangga banyak yang menyumpah serapahi dan mengutuk polisi imbas kasus itu,” ujar Brian.
Di titik itu, kadang Brian dan orangtuanya saling berbisik, kena tipu ternyata ada berkahnya juga. Seperti diselamatkan takdir dari menjadi sasaran sumpah serapah dan kutukan masyarakat.
“Jadi karyawan minimarket (pekerjaan Brian dua tahun terakhir) ternyata nggak buruk-buruk amat,” kata Brian menutup ceritanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ditipu Polisi Gadungan Jelang KKN, Dijadikan Tersangka Pencucian Uang dan Ikut “Sidang PPATK” via Aplikasi Zoom atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
