Mulyana (57), salah satu nelayan di pesisir Pantai Kenjeran Surabaya merasa waswas. Kehidupannya terancam proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL).
***
SWL masuk 14 proyek strategi nasional (PSN) milik pemerintah pusat pada April 2024. Proyek tersebut dikerjakan oleh pihak swasta, yakni PT Granting Jaya selaku operator.
Pemerintah ingin memperluas kawasan pantai untuk permukiman elite . Konsepnya dengan memadukan kawasan bisnis, perumahan, hiburan, dan fasilitas publik di sekitar pantai. Mirip dengan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara.
Luas proyek SWL mencapai 1.085 ha dengan membagi empat blok pulau, yakni blok A seluas 84 ha, B seluas 120 ha, C seluas 380 ha, dan D seluas 500 ha. Zona itu merupakan kawasan tangkapan ikan dan konservasi Kota Surabaya.
Mulyana tak sepakat dengan pembangunan itu. Dia mengatakan kondisi laut Kenjeran saat ini saja sudah banyak mengalami perubahan selama 10 tahun terakhir.
Selain karena faktor cuaca, dia menduga kondisi laut semakin parah sejak adanya pusat keramaian di sekitar kawasan tersebut. Dia khawatir proyek SWL akan memperburuk kondisi laut dan kehidupan nelayan.
Proyek SWL menghantui nelayan Kenjeran Surabaya
Mulyana lahir dari keluarga nelayan. Dia mulai serius menekuni profesi itu sejak tahun 1990, saat usianya 23 tahun.
“Saya sendiri pengepul, kulaan dari hasil para nelayan,” kata Mulyana kepada Mojok, Kamis (31/10/2024).
Warga Sukolilo itu mengatakan hasil tangkapan nelayan kini tak banyak. Sebab, banyak biota laut yang mati.
Ada banyak jenis kerang yang turut punah. Padahal kerang-kerangan biasanya menjadi tangkapan sekaligus pemasukan tambahan bagi nelayan.
“Misalnya, lurjuk, simping, kerang kipas, glatik, iris iris, awung, lelet, kerang dara, dan lain-lain, sekarang tidak ada,” kata dia.
Tak hanya kerang, tapi kondisi lumpur laut yang naik ke daratan membuat kapal nelayan sulit ke pinggir pantai. Mereka harus menunda proses hasil tangkapan ikan.
Mata pencarian nelayan Kenjeran Surabaya terancam hilang
Nelayan yang merasa terancam dengan mata pencariannya terus melakukan protes terhadap proyek SWL. Pada Rabu (30/10/2024), mereka kembali membentangkan spanduk-spanduk berisi penolakan di atas kapal.
Merujuk pada kajian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), proyek itu berpotensi merusak lingkungan seperti sedimentesi, rusaknya wilayah mangrove, hingga berpindahnya sumberdaya ikan.
Padahal ikan menjadi sumber rejeki nelayan kecil dan tradisional di pesisir Pantai Kenjeran Surabaya selama ini.
Ketua Dewan Pusat Wilayah KNTI Jawa Timur, Misbahul Munir mengatakan sedimentasi pernah terjadi di wilayah Kenjeran dan pesisir Surabaya lainnya. Kondisi itu menyebabkan nelayan sulit keluar masuk saat melaut.
Selain itu, perairan juga bertambah keruh, sehingga nelayan harus berlayar lebih jauh dari bibir pantai.
“Dampak dari reklamasi ini jelas sekali akan menyebabkan nelayan kehilangan pekerjaannya, tidak hanya nelayannya, namun perempuan pesisir yang berprofesi sebagai pencari dan pengupas kerang,” ucap Munir dikutip dari laman resmi KNTI, Senin (4/11/2024).
Pelatihan bagi ibu-ibu nelayan Kenjeran Surabaya
Mulyana tak hanya ikut aksi protes. Dia sudah aktif menggerakkan ibu-ibu nelayan sejak tahun 2010 melalui organisasi Aisyiyah. Fokusnya di bidang agama, pendidikan sosial, ekonomi, dan kesehatan.
Organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah itu membantu Mulyana mengadakan pelatihan mulai dari tingkat cabang daerah dan wilayah. Dia menggaet nelayan yang memiliki usaha atau UMKM.
Para nelayan belajar soal manajemen keuangan, mengurus izin usaha sertifikat halal, membuat tabungan simpan pinjam, dan membuat produk.
Misalnya, para ibu diajarkan cara membuat krupuk kupang. Mulai dari menggoreng, membungkus, dan menjualnya ke warung-warung sekitar rumah. Mulyana berharap para ibu dapat meningkatkan nilai hasil nelayan mereka.
Selain memberikan pelatihan, Mulyana juga membuat sekolah nonformal untuk mengajarkan baca tulis, lantaran sebagian nelayan mengalami buta aksara.
“Sekolah nonformal itu khusus untuk para ibu nelayan berusia 40 tahun ke atas. Kami mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung,” ucap Mulyana.
Keukeuh tolak proyek pemerintah
Mulyana berharap pemerintah Kota Surabaya bisa mempertimbangkan lagi proyek SWL. Alih-alih membuat proyek dengan biaya yang cukup besar, pemerintah dapat memberdayakan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi. Misalnya dengan memanfaatkan pariwisata Pantai Kenjeran dan Pantai Ria.
“Mungkin dari pemerintah bisa mengusahakan wadah atau packaging khusus khas Kenjeran,” kata dia.
Walhi Jawa Timur mengatakan masih ada cara lain untuk memperbaiki kondisi pesisir dan laut di Surabaya selain pembangunan fisik. Salah satunya dengan memperbaiki kualitas ekosistem yang masih tersedia.
“Walaupun tidak dapat mengembalikan kondisi seperti sedia kala, dan dalam proses juga menghabiskan waktu yang cukup lama,” dikutip dari Walhi Jatim pada Senin (4/11/2024).
Nasib nelayan jadi sorotan di debat Pilgub Jatim 2024
Pembahasan soal nasib nelayan rupanya juga dibahas dalam debat Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) pada Minggu malam (3/11/2024). Moderator menyampaikan pertanyaan dari panelis soal izin pemanfaatan laut hingga dua mil. Izin itu seharusnya ada dalam wewenang pemerintah provinsi, tapi terbentur dengan Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pasangan Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) menjanjikan akan memberi insentif kepada nelayan. Jika terpilih, pemerintah provinsi akan membayar PNBP milik nelayan miskin.
“Kalau pemerintah pusat mau menarik (PNBP) dari nelayan kami yang sudah miskin, maka kami akan bayar untuk nelayan-nelayan itu PNBP-nya,” ucap Risma dikutip dari tayangan Youtube Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim pada Minggu (3/11/2024).
Jawaban itu kemudian ditanggapi oleh pasangan Luluk Nur Hamidah dan Lukman. Luluk berjanji akan memberikan perlindungan untuk nelayan. Berdasarkan pengalamannya di DPR, dia akan mengadvokasi kepentingan nelayan kecil kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jika terpilih.
“Kalau nelayan memiliki kapal di bawah 30 gross tonnage (GT), maka perlu direvisi kebijakannya agar mereka mendapatkan perlindungan yang lebih baik,” ucap Luluk.
Sedangkan, pasangan Khofifah dan Emil Dardak mengatakan akan mensinkronisasikan aturan antar instansi di pemerintah pusat. Jadi bukan hanya antar kabupaten, kota, provinsi, dan pusat. Khofifah akan memilah kualifikasi kelompok nelayan.
“Jadi kalau memang mereka masuk kategori usaha besar, maka mereka harus memberikan subsidi terhadap nelayan-nelayan kecil. Terutama mereka yang memiliki kapal diatas 30 GT harus mendapatkan perlindungan,” kata Khofifah.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Mochamad Aly Reza
BACA JUGA: Nasib Sedih Nelayan di Waduk Mrica Banjarnegara, Bendungan yang Dibangun Soeharto
Cek berita dan artikel lainnya di Google News