Sudah sejak lama Murwati (54) meresahkan persoalan sampah di Kudus, Jawa Tengah. Khususnya di desa asalnya, Desa Kaliputu.
Murwati menjadi satu dari sedikit warga yang punya kesadaran atas potensi darurat sampah. Seiring waktu, dia mulai khawatir sampah-sampah di Kudus justru akan menjadi bencana bagi warga Kudus sendiri.
Pasalnya, Kudus hanya memiliki satu tempat pengolahan akhir (TPA), yakni TPA Tanjungrejo di Jekulo. Jika semua sampah rumah tangga dilarikan ke sana tanpa pemilahan sama sekali, maka lama-lama TPA tersebut akan penuh.
“Tapi nggak bisa berbuat banyak. Karena nggak tahu solusi yang pas bagaimana,” ungkapnya kepada Mojok, Rabu (26/2/2025).
Hal senada juga diungkapkan Heri Supriyanto, pria paruh baya yang merupakan perangkat desa asal Desa Jati Kulon.
“Melihat sampah-sampah yang terus menumpuk, saya pribadi terusik. Ada beban moral untuk mengurangi beban sampah di Kudus,” katanya, ditemui di waktu yang sama.
Kata Heri, sebagaimana umumnya warga desa lainnya di Kudus, warga Jati Kulon punya kebiasaan membuang sampah secara campur aduk. Tidak terpilah antara organik maupun anorganik.
Sampah-sampah campuran tersebut dibuntel dalam satu kresek. Kemudian akan diangkut oleh petugas pemungut sampah, lalu dibuang ke TPA Tanjungrejo.
Melihat siklusnya yang demikian, Heri mulai berpikir, lama-lama TPA Tanjungrejo akan penuh. Jika itu terjadi, lantas bagaimana nasib sampah-sampah di Kudus di hari-hari setelahnya?
Ramalan atas TPA Tanjungrejo Kudus yang terjadi
Sejak 2017 sudah diprediksi bahwa Kudus akan mengalami darurat sampah. TPA Tanjungrejo di Jekulo—yang merupakan TPA satu-satunya—diprediksi akan penuh pada 2022. Jika itu terjadi, maka kondisinya akan silang sengkarut.
Prediksi tersebut memang benar-benar terjadi. TPA Tanjungrejo mulai tak mampu lagi menampung kiriman sampah dari seantero Kudus.
Silang sengkarut pun terjadi. Januari 2025 lalu masyarakat di sekitar TPA Tanjungrejo menyegel pengolahan akhir tersebut. Alhasil, para petugas pemungut sampah kebingungan harus membuang sampah di mana.
Belum juga ada solusi atas situasi tersebut, timbul masalah lain: masyarakat Kudus lainnya meresahkan sampah-sampah yang menumpuk di tempat masing-masing, lantaran tidak adanya pengangkutan dari petugas.
Kini TPA Tanjungrejo memang sudah dibuka kembali. Hanya saja, mengingat posisinya sebagai TPA satu-satunya, jelas masih rentan menimbulkan polemik lagi.
Trauma tragedi Leuwigajah Cimahi
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kudus, Revlisianto Subekti menyebut, dalam sehari Kabupaten Kudus bisa meghasilkan 170 ton sampah. Subekti khawatir, jika kondisi TPA Tanjungrejo dibiarkan begitu terus-menerus, maka akan terjadi tragedi sebagaimana di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.
Pada 2005 silam, TPA Leuwigajah “meledak”. Tumpukan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter membuat tekanan gas metana di dalamnya meningkat saat diguyur hujan. Akibatnya, ribuan ton sampah berhamburan di dua permukiman warga: Kampung Pojok dan Kampung Cilimus.
Melalui buku Tragedi Leuwigajah, Itoc Tochija melaporkan, ratusan warga terkubur dalam tumpukan sampah. 157 jasad berhasil ditemukan. Sementara ratusan lainnya dinyatakan hilang.
Tragedi TPA Leuwigajah tercatat sebagai insiden TPA terparah kedua di dunia setelah kejadian serupa di TPA Payatas, Quezon City, Filipina, pada 10 Juli 2000 dengan total 200 korban Jiwa.
“TPA Tanjungrejo umurnya sudah 30 tahun. Perlu dibuatan (TPA) lagi. Kami (Pemkab Kudus) tidak ingin peristiwa itu (TPA Leuwigajah) terjadi di sini,” kata Subekti dalam sambutannya di acara Inagurasi Gerakan Digital Kudus Asik dan Apresiasi 370 Mitra Pengelolaan Sampah Organik di Oasis Djarum Kretek Factory, Kudus, Rabu (26/2/2025).
Lebih dari itu, ada persoalan hulu yang semestinya dituntaskan terlebih dulu. Yakni pemilahan sampah sejak dari warga.
“Maka kami mencoba menggandeng banyak pihak. Termasuk swasta, seperti Djarum Foundation, untuk menggerakkan masyarakat perihal pemilahan sampah,” kata Subekti.
Kudus dipenuhi sampah organik
Sejak mencuat prediksi nasib sampah Kudus pada 2017, Djarum Foundation menjadi pihak yang turut berpikir keras untuk menemukan solusinya.
Waktu itu, Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) lantas membentuk tim untuk melakukan riset agar bisa menentukan solusi yang tepat.
Hasil riset itu menunjukkan, 78% sampah yang ada di Kudus merupakan sampah organik, 21% sampah anorganik, dan 1% sisanya adalah sampah residu.
“Hulunya adalah masyarakat. Maka kami menggandeng masyarakat—yang kemudian menjadi mitra—untuk mulai memilah sampah organik,” beber Deputy Program Manager BLDF, Redi J Prasetyo usai sambutan dari Subekti.
Sampah jadi pupuk
Redi mengaku, upaya mengedukasi masyarakat Kudus memang agak challenging.
“Karena itu kan merubah budaya. Berpuluh tahun kebiasaan masyarakat, buang sampah itu campur. Terus tiba-tiba harus dipilah dari rumah,” katanya.
Mengingat jenis sampah terbesar di Kudus adalah organik, maka jenis sampah itulah yang akhirnya dipilah.
“Sampah (organik) ini kalau dicampur kan ngotori sampah lain. Padahal kalau dipisah, sampah anorganiknya bisa bernilai jual,” beber Redi.

Per 2018, Pusat Pengolahan Organik (PPO) yang diinisiasi BLDF mulai beroperasi. PPO tersebut mampu mengolah sampah organik sebesar 50 ton per hari.
Seiring waktu, makin banyak masyarakat yang mulai sadar atas pentingnya memilah sampah sejak dari rumah. Alhasil, hingga 2025 ini, tercatat ada 370 mitra dari kalangan masyarakat (desa, sekolah, hingga rumah makan) yang berkolaborasi dengan BLDF untuk menggiatkan pemilahan sampah organik.
“Sampah organik itu diolah menjadi humisoil (pupuk). Nah itu manfaatnya juga kembali ke masyarakat. Karena untuk program-program penghijaun di lahan-lahan kritis,” jelas Redi.
Merenungi TPA Tanjungrejo
Murwati dan Heri adalah dua dari 370 mitra penggerak pemilahan sampah organik. Menilik kasus TPA Tanjungrejo, keduanya merasa perlu makin giat mengajak masyarakat Kudus agar mulai memilah sampah dari rumah.
Sebab, jika sampah sudah terpilah, maka volume sampah yang masuk ke TPA Tanjungrejo pun akan berkurang. Toh sampah-sampah yang dipilah juga bernilai manfaat: sampah organik jadi pupuk, sampah anorganik bisa dijual di pengepul rongsokan.
Murwati bergabung menjadi mitra pada 2022. Sementara Heri bergabung pada 2023. Keduanya memang cukup gigih dalam menggalakkan gerakan pemilahan sampah di desa masing-masing.
“Sekarang masyarakat di Kaliputu sudah sadar. Sebelum buang sampah, sampahnya sudah dipilah-pilah dulu, mana organik, mana anorganik,” kata Murwati.
“Begitu juga di Jati Kulon. Masyarakat sekarang sudah tertib. Harapannya makin banyak desa yang mulai tertib memilah sampah,” ucap Heri.
Atas begitu giatnya Murwati dan Heri, keduanya menerima apresiasi dari BLDF dalam Inagurasi Gerakan Digital Kudus Asik dan Apresiasi 370 Mitra Pengelolaan Sampah Organik.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Orang Kudus 20 Tahun Menjadi Sopir di Arab Saudi, Punya Tugas Khusus Cari Jemaah Haji Nyasar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan