Awalnya tak begitu paham soal aturan-aturan dalam futsal. Namun, melihat ada peluang cuan di dalamnya, seorang perantau asal Sidoarjo menjadi wasit futsal—modal nekat—sebagai salah satu cara bertahan hidup seorang anak perantauan di Jogja.
***
Keputusan Aprim (23) ke Jogja pun sebenarnya sudah sangat nekat. Aprim adalah perantau asal Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga umur 20-an tahun ia habiskan hidupnya di sana. Keluar pun hanya di Surabaya (untuk kuliah sambil bekerja).
Menjelang akhir masa kuliahnya pada 2023, Aprim tiba-tiba saja berpikir untuk merantau ke Jogja. Kata banyak orang, Jogja menjadi tempat ideal untuk berkembang. Baik secara karier maupun creative skills. Karena Jogja memang sudah terbukti melahirkan banyak seniman, penulis, hingga content creator.
“Aku berangkat dari orang yang suka dengan dunia kreatif dan literasi. Jadi ya makin kuat dorongan untuk merantau ke Jogja,” tutur Aprim dalam sebuah obrolan jelang tengah malam di warung nasi goreng di sekitar Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (22/11/2025).
Buta Jogja hingga nyaris terlunta-lunta
Aprim buta soal Jogja. Tak ada rencana matang yang ia persiapkan. Pokoknya setelah wisuda pada penghujung 2023, pada awal 2024 ia langsung berangkat. Belum tahu juga mau kerja apa.
“Walaupun sebenernya udah lempar lamaran kerja di banyak tempat. Apa pun kukirim lamaran, ngawur-ngawur lah,” ungkap Aprim.
Akan tetapi, upaya tebar jala itu ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Alhasil, ia tiba di Jogja masih dalam kondisi serba tak pasti.
Karena ia punya hasrat kuat untuk menetap di Jogja, ia menghapus sementara opsi untuk balik ke Sidoarjo. Pokoknya harus sampai dapat kerja dulu.
“Aku nekat ngontak seorang senior di kampus dulu yang ternyata sudah lebih dulu di Jogja kan. Aku ditampung dia selama beberapa hari,” ujar perantau asal Sidoarjo tersebut.
Aprim merasa beruntung atas kebaikan seniornya tersebut. Kalau tidak, Aprim sudah membayangkan mengawali hidup di Jogja dengan luntang-lantung, terlunta-lunta tak jelas. Mau sewa kos juga ia hanya bawa uang pas-pasan.
Baru bisa kerja eh dibayangi PHK, begitu terus
Perantau asal Sidoarjo itu pada akhirnya memang bisa diterima kerja. Awalnya di sebuah lembaga riset swasta. Namun, baru tiga bulan bekerja, eh kontraknya tidak diperpanjang.
Padahal ia baru saja merasakan kelegaan karena akhirnya ada lamarannya yang nyantol. Ya walaupun gajinya tak gede-gede amat.
Usai dari situ, nganggur beberapa saat, ia lalu keterima kerja lagi di bidang pemasaran digital. Perusahaan ini bikin ia senam jantung.
Pasalnya, dalam rentang tiga bulan sekali, ada saja wacana PHK berembus. Atau minimal-minimalnya efisiensi gaji karyawan.
Tiap kali isu tersebut berembus, Aprim tentu saja deg-degan. Kebayang akan luntang-lantung lagi. Harus bertahan mati-matian tahan lapar biar uang tabungan cukup untuk hidup sampai dapat kerja lagi.
“Tiga bulan terakhir ini sudah berembus lagi isu itu. Lebih kenceng. Jadi malah bikin bingung karena serba nggak pasti,” ujarnya.
Siasat bertahan hidup: jadi wasit futsal pun dijalani meski tak paham
Aprim mengakui, agak susah memang kalau mengandalkan gaji pokok—yang tidak gede-gede amat itu—untuk konsumsi sehari-hari. Maka, ia memutar otak, agar paling tidak ada tambahan untuk beli bensin dan syukur-syukur rokok.
Awalnya, Aprim menemukan ide bisnis usai melihat tren fotografer khusus mini soccer. Dari situ ia lalu menjajal “menjual diri” sebagai seorang fotografer. Walaupun sebenarnya, sepengakuan Aprim, skill-nya pas-pasan juga soal foto.
“Hasilnya burik, Mas, asli. Tapi aku itu dapat klien orang yang nggak peduli blur atau nggak. Pokoknya yang penting terdokumentasi aja aktivitas mereka main bola, ya sudah lah kusikat, lumayan dalam sekali main dapat Rp120 ribu,” katanya.
Hingga suatu ketika, si klien—yang ternyata merupakan pelatih futsal anak-anak—sedang mencari wasit dengan tarif murah untuk sparing tim futsalnya tersebut. Spontan Aprim mengaku kalau ia bisa menjadi wasit.
“Loh, masnya bisa wasit beneran?”
“Bisa saya, Pak. Asli bisa.”
“Kira-kira berapa tarifnya?’
“Saya sih ngikut aja, Pak. Dikasih berapa pun saya berangkat.”
“Rp65 ribu mau?”
“Mau, Pak. Siap.”
Memang beneran bisa? Tentu tidak. Aprim tak begitu paham. Tapi dalam pikirannya, pokoknya deal dulu saja biar ada uang tambahan yang masuk. Tak masalah ia dibayar Rp65 ribu. Toh hanya untuk sparing futsal anak-anak.
Ia lalu mencoba menontongsiaran-siaran futsal, baca-baca banyak informasi soal tata aturan di internet soal futsal. Dan jadi lah wasit futsal sebagai pekerjaan sampingannya di Jogja.
Malah akhirnya jasa Aprim sebagai wasit futsal rutin dipakai seminggu sekali. Karena sparing itu memang berlangsung setiap hari Minggu. “Saya dipakai terus ya karena murah aja, hahaha,” ucap Aprim.
Uang-uang kecil untuk modal CV
Awalnya uang-uang kecil itu memang ia gunakan sebagai tambahan bertahan hidup di Jogja. Sampai akhirnya ia berpikir lebih visioner: Bagaimana mengalokasikan uang tersebut agar balik ke dirinya tidak hanya sebatas dalam bentuk perut terisi nasi, rokok, dan kopi.
“Kemudian nggak sepenuhnya uang-uang sampingan itu buat beli rokok atau bensin, karena kan kalau rokok aku bisa beli yang murah. Cuma kadang aku sisihkan uang buat beli-beli barang produktif, misalnya kamera atau gitar. Kalau nggak ada kerjaan kan bisa ngamen hahaha,” seloroh Aprim.
Tak jarang pula ia menyisihkan uang untuk mengikuti kursus-kursus tertentu. Kursus pemasaran digital lah, bahasa Inggris lah. Harapannya itu bisa menjadi modal kelak jika ia benar-benar kena PHK. Paling tidak ia kena PHK dalam keadaan punya CV sebagai “manusia serba bisa”.
Bagi Aprim, uang-uang kecil kalau dikumpulkan apalagi dialokasikan untuk hal-hal produktif semacam itu kan jadi modal besar juga akhirnya.
Menyerah di Jogja…
Selama hampir dua tahun di Jogja, Aprim sudah bertemu banyak orang dan merasakan asam-garam. Dari apa yang ia alami sendiri dan masukan-masukan dari orang-orang yang pernah ia temui, Aprim lalu berpikir untuk “menyerah” di Jogja.
“Karena ternyata, jadi orang serba bisa pun di sini kalau kerja ya nggak cucuk hasilnya,” tutur Aprim. Sementara ia harus mulai berpikir untuk tidak hanya fokus pada hidupnya sendiri, tapi juga menghidupi orang tuanya yang makin menua di rumah.
Belakangan ini, perantau asal Sidoarjo itu mulai berpikir untuk mencukupkan perjalanannya di Jogja hingga awal atau pertengahan 2026. Ia mempertimbangkan betul balik ke Jawa Timur.
Apalagi, dari informasi yang ia dapat dari teman-temannya, ada banyak lowongan pekerjaan yang bisa Aprim ambil misalnya ia balik ke Surabaya. Mengingat, Aprim kini sudah bukan lagi seorang pemuda nekat, tapi pemuda “serba bisa” alias multilalenta. Ya meskipun tetap harus dipoles-poles lagi lah.
“Kalau buat hidup sendiri, Jogja cocok sih. Tapi kalau orang seperti aku, punya tanggung jawab ke orang tua, aku harus realistis cari peluang cuan yang lebih besar. Jawabannya ya kembali ke Jawa Timur, kerja di Surabaya,” pungkasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tak Sanggup Kerja Kantoran di Jakarta, Putuskan Resign dan Tinggal di Cepu dengan Upah Empat Kali Lipat UMK Blora atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
