Bus Harapan Jaya Jawa Timuran Busnya Orang-orang Tak Punya Pilihan: Jauh dari Kemewahan, “Menyiksa” Sepanjang Perjalanan

Bus Harapan Jaya Surabaya Jawa Timuran hanya untuk orang-orang tangguh MOJOK.CO

Ilustrasi - Bus Harapan Jaya Surabaya Jawa Timuran hanya untuk orang-orang tangguh. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Harapan Jaya menjadi salah satu bus yang berlalu-lalang secara rapat di jalanan Jawa Timur. Bagi para perantau—khususnya perantau di Surabaya—Harapan Jaya menjadi andalan untuk menempuh perjalanan pulang (ke kampung halaman) atau balik (ke perantauan).

Kalau kata dua narasumber Mojok, rasa-rasanya bus ini diciptakan untuk orang-orang tatag (tangguh/tabah). Para penumpang sudah harus siap “tersiksa” sepanjang perjalanan kalau naik bus dengan warna utama putih bergaris oranye serta berlogo kuda lari ini.

Murah, cepat, dan selalu ada

Hanifa (26) dan Ubaid (25) mengaku, selama merantau di Surabaya—dari kuliah hingga kerja—bus Harapan Jaya selalu menjadi pilihan mereka untuk pulang-balik.

Sebenarnya ada banyak pilihan bus untuk tujuan mereka: Ubaid ke Kertosono, Hanifa ke Jombang. Misalnya, bus-bus arah Jogja seperti Sumber Selamat atau Mira.

“Tapi dengan harga yang sama, tetep milih bus Harapan Jaya,” ungkap Ubaid, Minggu (8/6/2025).

Harga karcis untuk Surabaya-Kertosono Rp25 ribu. Sementara untuk Surabaya-Jombang Rp25 ribu. Itupun dengan waktu yang lebih singkat karena dari Terminal Bungurasih bus Harapan Jaya akan langsung naik tol Mojokerto-Jombang. Sehingga memangkas waktu perjalanan.

“Ke Jombang kalau jalur bawah bisa dua sampai dua jam setengah. Kalau Harapan Jaya satu jam setengah,” kata Hanifa.

Sedangkan kata Ubaid, untuk sampai ke Kertosono, biasanya hanya dua jam. Tentu akan lebih lama jika menggunakan jalur bawah (Sumber Selamat atau Mira). Karena jalur bawah (Surabaya-Krian-Mojokerto-Jombang-Kertosono) teramat panjang sekaligus ruwet kalau sudah berhadapan dengan kemacetan.

Baik Hanifa maupun Ubaid tak tahu pasti apakah bus Harapan Jaya beroperasi 24 jam. Namun, mereka selalu bisa menjumpai bus tersebut meski dalam keberangkatan malam. Hanifa beberapa kali di jam 10 malam. Kalau Ubaid malah tengah malam.

Naik bus Harapan Jaya siap “Tersika”

Selama kuliah di Surabaya (2018-2022), Hanifa sebenarnya jarang menggunakan moda transportasi bus. Dia lebih sering menggunakan kereta api. Alasan kenyamanan jadi alasannya.

Namun, sejak akhirnya bekerja pada 2023, yang terjadi sebaliknya: lebih sering naik bus ketimbang kereta api.

“Yang bikin tersiksa, kadang dari dalem (Terminal Bungurasih) bus Harapan Jaya udah penuh sesak. Jadi harus berdiri,” ungkap Hanifa.

Sebenarnya hanya di hari-hari tertentu saja bus Harapan Jaya akan penuh sesak: di akhir pekan, tanggal merah (libur panjang), dan di momen hari raya.

Sialnya, kepulangan Hanifa selalu bertepatan dengan momen-momen tersebut. Menyesuaikan hari libur kantor. Misalnya di akhir pekan. Di Sabtu malam (baru juga lepas magrib), kondisi bus sudah sangat berdesakan.

Baca halaman selanjutnya…

Naik pakai keroyokan, kernet penuh “tipuan”, dan cerita sendu para penumpang

Menunggu berjam-jam, keroyokan, hingga berdiri sepanjang perjalanan

“Kalau malam hari raya, Idul Fitri atau Idul Adha, malah lebih menyiksa. Ratusan orang keroyokan di Bungurasih untuk cari bus,” beber Hanifa.

Karena saling keroyokan, Hanifa sering kali tidak kebagian di jam-jam awal keberangkatan. Karena dia kalah berdesakan untuk menerobos masuk pintu bus.

Alhasil, dia masih harus menunggu hingga berjam-jam. Menunggu bus dari magrib, dia bisa baru dapat menjelang tengah malam. Karena di jam-jam setelah magribpun kondisinya masih sama: saling keroyokan.

“Itu kalau dapat di jam tengah malam juga masih berdiri. Jadi sepanjang Surabaya-Jombang berdiri,” kata Hanifa.

Pada momen Idul Adha tahun 2024 lalu, Hanifa mengaku nyaris saja pingsan. Setelah puasa Arafah/9 Zulhijjah) dan lelah seharian bekerja, apalagi Hanifa belum buka puasa selain minum air dingin, dia harus berdiri sepanjang perjalanan.

Lebih-lebih dalam situasi yang berdesakan, bus Harapan Jaya melaju kencang, membuat penumpang terguncang-guncang. Kepala makin pening, ditambah kondisi perut kosong yang memicu mual-mual.

Beruntung, saat itu, ada bapak-bapak baik yang mempersilakanya duduk. Betapa lega karena dia tak jadi pingsan di tengah kerumunan penunmpang yang berdesakan dari depan sampai belakang.

“Tipuan” kernet bus Harapan Jaya

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ubaid (25). Apalagi dia menggunakan bus Harapan Jaya untuk perjalanan Surabaya-Kertosono (dan sebaliknya) sudah sejak kuliah pada 2017.

Bedanya dengan Hanifa, Ubaid tak terlampau sering menggunakan bus tersebut di akhir pekan atau libur panjang. Hanya saja, dia membenarkan cerita Hanifa, bahwa naik bus Harapan Jaya di momen libur memang harus siap-siap tersiksa sepanjang perjalanan.

“Yang membuatku kesel ya “tipuan” dari kernet busnya,” kata Ubaid.

Ketika keluar dari lorong keberangkatan Terminal Bungurasih, kondisi bus sebenarnya sudah penuh sesak: kursi penuh, banyak penumpang berdiri berdesakan dari depan sampai belakang.

Akan tetapi, di pintu luar, saat melihat banyak penumpang berbaris menanti, si kernet langsung berteriak, “Ayo masih kosong, masih kosong. Tengah kosong, tengah kosong.”

“Lah matanya. Yang di tengah saja kejepit. Masih dijejal-jejal,” tutur Ubaid.

Di level paring parah, sering kali penumpang berjubel hingga di tangga pintu. Benar-benar dijejal dan digencet-gencet.

Tidak ada kemewahan doubke decker seperti rute Jakarta

Sejauh yang Hanifa dan Ubaid amati, untuk rute Jawa Timuran belum ada bus Harapan Jaya double decker yang kini jadi kebanggaan PO asal Tulungagung, Jawa Timur tersebut.

Harapan Jaya double decker tersedia untuk rute Jakarta dan rute-rute luar Jawa.

Fasilitas dan kenyamanan jenis double decker tentu saja lebih baik ketimbang jenis biasa. Sayangnya, “kemewahan” itu tidak bisa turut dirasakan oleh Ubaid dan Hanifa di rute Jawa Timuran.

Tapi sekalipun ada, merekapun sepertinya akan berpikir beberapa kali untuk menggunakan jenis itu. Sebab, asumsinya, tarif karcis yang dipasang akan lebih mahal. Sedangkan mereka naik Harapan Jaya saja niat awalnya karena alasan murah.

Banyak cerita membekas

Kalau berangkat di hari aktif, Ubaid mengaku sangat menikmati perjalanan dengan bus Harapan Jaya. Selain karena urusan murah dan cepat, Ubaid mengaku mendapat banyak cerita dari penumpang lain yang membuatnya belajar untuk terus bersyukur.

“Aku sering duduk di kursi tengah atau belakang. Kalau ada penumpang lain di sebelahku, terutama bapak-bapak, kami saling berbagi cerita,” kata Ubaid.

Bus Harapan Jaya, lanjut Ubaid, menjadi saksi perjalanan para perantau ke Surabaya. Alasan orang-orang merantau sangat sentimentil bagi Ubaid.

Kebanyakan dari yang Ubaid dengar: Para perantau itu pada dasarnya tidak ingin merantau. Ingin hidup di rumah, menemani orangtua atau anak-istri.

Akan tetapi, hidup tidak memberi mereka banyak pilihan. Untuk terus menyambung hidup, meninggalkan rumah menjadi satu-satunya pilihan.

“Rata-rata yang kudengar adalah pekerja kasar. Kuli. Hasilnya nggak seberapa. Jadi kadang aku dengar keluh kesah mereka. Kerja banting tulang, tapi hasil masih kurang. Ada bahkan yang tertipu proyek. Setelah kerja berbulan-bulan, si mandor lari bawa uang yang harusnya buat bayar kuli,” lanjut Ubaid.

Ada satu momen yang sangat membekas bagi Ubaid. Yaitu kala suatu waktu dia berdiri di belakang bersama seorang pedagang asongan (kacang dan permen).

Si pedagang asongan jualan dari bus ke bus siang-malam. Bahkan bisa tidak pulang selama beberapa hari. Sebab, anaknya waktu itu hendak mendaftar kuliah. Si bapak pedagang asongan mau tidak mau harus bekerja lebih keras, meski dia tahu belaka bahwa penghasilannya nyata-nyata tidak akan cukup untuk biaya kuliah anaknya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Apes saat Naik Bus Eka dan Sumber Selamat, Lengah Dikit Dompet hingga Laptop Lenyap Ditukar Batu Bata atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version