Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba

Ilustrasi - Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba (Mojok.co/Ega Fansuri)

Di balik lebatnya hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang kian tergerus, Elang Jawa, sang Garuda, kini bertaruh nyawa melawan ancaman senyap. Mulai dari jebakan kawin sedarah akibat isolasi wilayah, hingga racun pestisida yang merapuhkan cangkang telur penerus mereka.

***

Di balik kabut tebal yang menyelimuti kawasan “hutan purba” Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sebuah jeritan melengking sesekali memecah kesunyian. Beberapa kawan mengatakan, bisa jadi itu adalah suara Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), predator puncak yang menjadi simbol nasional Indonesia, “Garuda”.

Namun, tak sedikit juga yang meragukan. Penyebabnya, suara Elang Jawa mirip dengan suara burung pemangsa lain. Apalagi, di TNGGP juga banyak dijumpai Elang Ular Bido, jenis predator lain yang memiliki ciri hampir identik dengan sang garuda.

“Bisa jada Elang Jawa, bisa jadi elang lain. Baru bisa memastikan kalau fisiknya kita lihat langsung,” kata Hendro Wirawan (39), peneliti sekaligus perawat Elang Jawa dari Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa (PPKEJ), Cimungkad, Sukabumi, yang bersama saya pagi itu, Sabtu (13/12/2025).

elang jawa.MOJOK.CO
Raja Dirgantara, Elang Jawa yang akan dilepasliarkan di Situ Gunung kawasan Taman nasional Gunung Gede Pangrango, Sabtu (13/12/2025). (Mojok.co/Eko Susanto)

Hendro sendiri merupakan orang yang setiap hari merawat Raja Dirgantara, nama untuk Elang Jawa yang bakal dilepasliarkan di TNGGP pada hari itu. Meskipun baru beberapa tahun terakhir “hidup bersama” Elang Jawa, ia mengaku paham betul bagaimana karakteristik utama dan kebiasaan dari burung top predator itu.

“Mereka itu aktif di pagi hari, jam-jam segini (pukul sembilan pagi) lagi aktif-aktifnya. Makin sore makin mengurangi aktivitas. Jadinya jam pagi seperti ini waktu terbaik buat melihat Elang Jawa,” ujarnya.

Benteng terakhir sang penguasa langit

Gunung Gede Pangrango, tempat satu Elang Jawa akan dilepasliarkan pagi itu, memang bukan sekadar taman nasional. Ia, oleh Hendro, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu “benteng terakhir”. 

Dalam peta distribusi habitat Elang Jawa terbaru, misalnya, kawasan ini diidentifikasi sebagai patch nomor 22, sebuah kantong habitat seluas 320 kilometer persegi yang diperkirakan menampung sekitar 16 pasang Elang Jawa. Di sinilah, di antara pohon-pohon raksasa yang menjulang, nasib genetika sang penguasa langit dipertaruhkan.

“Di sini, kita masih bisa menyaksikan Elang Jawa terbang bebas,” ungkapnya.

Sekilas, data terbaru seolah membawa angin segar. Berdasarkan pemodelan distribusi habitat tahun 2025 oleh tim riset Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa, estimasi populasi sang garuda di alam liar kini diperkirakan mencapai 511 pasang atau 1.022 individu. 

Angka ini tampak melonjak signifikan jika dibandingkan dengan estimasi tahun 2009 yang hanya berkisar di angka 325 pasang. Sebaran habitat mereka pun kini teridentifikasi meluas hingga ke Pulau Bali, sebuah temuan yang sebelumnya tidak terpetakan dengan baik.

Namun, peneliti IPB University Profesor Syartinilia, yang telah meneliti spesies ini selama hampir dua dekade, buru-buru menepis euforia tersebut. Kenaikan angka ini, menurutnya, adalah seperti “ilusi metodologi”. 

Lonjakan jumlah tersebut bukan karena populasi Elang Jawa yang tiba-tiba meledak, melainkan karena kemajuan teknologi resolusi citra satelit dan partisipasi citizen science yang membuat “mata” para peneliti menjadi lebih tajam. 

“Dulu itu terlihat sedikit karena data yang tersedia itu memang kasar, resolusinya kurang bagus sehingga kelihatan populasinya sedikit. Sekarang sudah tersedia data-data yang resolusi bagus, sehingga pas dihitung langsung banyak. Jadi seolah-olah meningkat,” jelasnya, saat ditemui Mojok, Jumat (12/12/2025).

Menurut Syartinilia, populasi elang Jawa memang meningkat dibanding satu dekade lalu. Namun, ia masih berada di dalam ancaman. Dan, ancaman ini datang dari aktivitas manusia. (Mojok.co/Eko Susanto)

Padahal, realitas di lapangan justru menyajikan cerita yang kontradiktif. Ketika data citra satelit yang sama ditarik mundur, terungkap fakta pahit bahwa habitat Elang Jawa sebenarnya menyusut. 

Antara tahun 2008 hingga 2019 saja, terjadi penurunan luas habitat sebesar 6,5 persen, atau setara dengan hilangnya 638 kilometer persegi hutan yang menjadi rumah mereka. Hutan primer yang lebat perlahan tergerus menjadi hutan sekunder, bahkan beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan permukiman.

“Jadi ini begitu ironis, ya. Ketika teknologi membantu kita memetakan populasi secara lebih presisi, di sisi lain kita berjumpa dengan fakta memilukan kalau habitat Elang Jawa menyusut,” imbuhnya.

Seni bertahan hidup Elang Jawa

Penurunan luasan habitat itu makin memilukan ketika dipadukan dengan fakta yang disampaikan Profesor Syartinilia kepada saya: Elang Jawa bukanlah satwa yang bisa hidup sembarangan.

Meskipun predator ini memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik–seperti berburu di area perkebunan atau perbatasan hutan–mereka memiliki syarat mutlak untuk bersarang, yakni hutan alami.

Mereka membutuhkan pohon emergent, pohon-pohon raksasa yang menjulang melebihi kanopi hutan di sekitarnya, seperti Rasamala atau Puspa. Profesor Syartinilia menambahkan detail menarik mengenai preferensi “arsitektur” mereka. Elang Jawa menyukai pohon dengan model percabangan Rauh—tipe pohon dengan dahan dan ranting yang terbuka lebar. 

“Struktur ini vital bagi mereka untuk membangun sarang besar di lereng-lereng terjal dan miring,” jelas Syartinilia.

Tak sampai di situ, Syartinilia juga menjelaskan bahwa sifat Elang Jawa yang monogami menambah lapisan kerentanan tersendiri. Sepasang Elang Jawa akan setia pada satu sama lain dan satu lokasi sarang selama kondisinya aman. Mereka memiliki homerange (wilayah jelajah) seluas kira-kira 20 kilometer persegi yang tidak boleh beririsan dengan pasangan lain.

Di dalam homerange itu, terdapat “teritori” inti di sekitar sarang yang akan mereka pertahankan mati-matian dari penyusup dengan suara alarm call yang khas.

Kepungan ancaman sang penguasa langit

Sayangnya, “kesetiaan” pada habitat ini menjadi bumerang ketika hutan dibabat atas nama pembangunan. Profesor Syartinilia menyoroti fenomena fragmentasi habitat sebagai ancaman “pembunuh senyap”. Pembangunan jalan dan pembukaan lahan memotong hamparan hutan luas menjadi patch-patch atau kantong-kantong kecil yang terisolasi.

Ketika hutan terfragmentasi tanpa adanya koridor penghubung, seperti pepohonan sungai atau hutan kota, populasi elang di dalam kantong tersebut terjebak. Mereka tidak bisa mencari pasangan dari kelompok genetik yang berbeda. Akibatnya, terjadilah inbreeding atau perkawinan sedarah. 

Inbreeding itu lama-lama melemahkan kualitas genetik, dan lama-lama akhirnya bisa menyebabkan kepunahan tapi di skala lokal,” ungkapnya.

Seperti halnya pada satwa lain, perkawinan sedarah perlahan melemahkan kualitas genetika keturunan. Anak-anak Elang Jawa yang lahir menjadi rentan penyakit, cacat, atau mati muda, yang pada akhirnya memicu apa yang disebut Syartinilia sebagai “kepunahan lokal” (local extinction) di kantong habitat tersebut. 

Namun, ancaman tidak hanya datang dari hutan yang hilang. Biodiversity and Conservation Officer Burung Indonesia, Ahmad Ridha Junaid, mengungkapkan bahaya tak kasat mata yang merayap melalui rantai makanan, yakni pestisida. 

Potret Biodiversity and Conservation Officer Burung Indonesia, Ahmad Ridha Junaid. Menurut Ridha, ada tak terlihat yang merayap melalui rantai makanan, dan menjadi ancaman kepunahan lokal Elang Jawa: pestisida. (Mojok.co/Eko Susanto)

Di lahan-lahan pertanian yang berbatasan dengan hutan, penggunaan racun kimia untuk membasmi hama tikus menjadi praktik umum. Tikus yang terpapar racun tidak langsung mati, melainkan menjadi mangsa yang mudah bagi Elang Jawa.

Menurut Ridha, racun tersebut kemudian mengalami bioakumulasi, menumpuk dalam tubuh sang predator puncak. Dampaknya fatal dan jangka panjang. Akumulasi zat kimia ini dapat menyebabkan penipisan cangkang telur, sehingga telur pecah sebelum menetas, atau kegagalan reproduksi total. 

“Sehingga ini memengaruhi kemampuan Elang Jawa buat menghasilkan anak. Dampaknya, local extinction,” jelas Ridha, Jumat (12/12/2025) kepada Mojok.

Masa depan di ujung tanduk

Proyeksi masa depan tidak memberikan banyak ruang untuk bernapas. Analisis tim riset Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa menunjukkan bahwa perubahan iklim akan menjadi musuh besar berikutnya. Skenario terburuk atau Business-as-Usual (BAU) memprediksi penurunan habitat hingga 40,16 persen pada tahun 2050. Suhu yang semakin panas dapat mengganggu keberhasilan pengeraman telur dan mengubah ketersediaan mangsa di ekosistem.

Selain itu, aktivitas manusia terus juga menjadi ancaman lain. Perburuan liar masih menjadi ancaman utama di Jawa dan Bali, baik perburuan terhadap elang itu sendiri maupun mangsanya. Aksesibilitas hutan yang semakin terbuka akibat jalan baru, memudahkan pemburu menjangkau jantung habitat yang dulunya masih perawan.

Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS (Mojok.co/Eko Susanto)

Meski demikian, secercah harapan muncul dari sektor yang tak terduga: pariwisata. Selama ini, wisata alam massal sering dianggap sebagai gangguan. Namun, Profesor Syartinilia melihat peluang dalam birdwatching atau pengamatan burung. 

Wisatawan minat khusus ini, terutama dari mancanegara, memandang Elang Jawa sebagai “harta karun” visual. Jika dikelola dengan etika konservasi yang ketat, seperti menara pandang jarak jauh yang tidak mengganggu sarang, pariwisata bisa menjadi insentif ekonomi bagi masyarakat lokal untuk menjaga pohon sarang tetap tegak, alih-alih menebangnya.

Berbagai pihak, salah satunya Djarum Foundation bekerja bersama para pegiat konservasi burung pemangsa, seperti tim Burung Indonesia hingga para ahli lapangan untuk kembali menghidupkan habitat Elang Jawa. Salah satunya, yang menjadi fokus mereka, adalah di Gunung Muria, Jawa Tengah.

***

Perjuangan Elang Jawa adalah cermin dari kondisi hutan di Pulau Jawa. Keberadaan mereka adalah indikator kesehatan ekosistem. Hilangnya sang predator puncak akan memicu ledakan populasi hama tikus dan mengacaukan rantai makanan di bawahnya.

Upaya penyelamatan kini berpacu dengan waktu. Konektivitas antar-hutan harus dipulihkan melalui koridor ekologi agar aliran genetika kembali lancar. Hutan-hutan yang tersisa di luar kawasan konservasi, yang menurut data mencapai risiko degradasi terbesar, harus segera mendapat perhatian. 

Seperti kalimat penutup dari Profesor Syartinilia: “Dalam setiap kepakan sayap raptor, tergambar keseimbangan lanskap yang kita jaga bersama”. Menjaga Elang Jawa, kata dia, bukan sekadar menyelamatkan satu spesies burung dari kepunahan, melainkan upaya menyelamatkan keseimbangan alam tempat manusia menggantungkan hidupnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version