Mahasiswa Jakarta yang kuliah di Jawa Tengah dan Jawa Timur—khususnya Jogja dan Malang—mengaku agak risih dengan cara komunikasi beberapa mahasiswa dari daerah lain. Sebab, ada saja mahasiswa yang mencoba menghapus identitas aslinya, hanya karena pengin dianggan keren dan “anak kota”.
Mahasiswa Jakarta sebenarnya tak masalah dengan bahasa Indonesia medok
Saat berangkat ke Jogja untuk menjadi mahasiswa baru pada 2022 lalu, Fabian (21) sebenarnya sudah bersiap untuk menghadapi banyak perbedaan. Termasuk perbedaan bahasa sebagai anasir paling kentara.
Di awal-awal dia kuliah, Fabian memang perlu berpikir keras untuk memahami beberapa istilah Jawa. Mengingat, selain berkomunitas dengan sesama mahasiswa dari Jakarta, dia juga mencoba membaur dengan mahasiswa-mahasiswa dari daerah lain yang umumnya berbahasa Jawa.
“Memang lucu kalau dengerin orang Jawa nyoba ngobrol pakai bahasa Indonesia. Medok-medok lucu. Tapi bukan lucu yang ngehina ya. Unik aja. Dan bukan masalah juga,” ujar Fabian, Sabtu (2/8/2025) pagi WIB.
“Toh nggak ada aturannya kan kalau ngucapin bahasa Indonesia itu logatnya harus kayak gimana. Yang penting kan bahasa Indonesianya bisa dimengerti,” imbuhnya.
Hanya memang, Fabian mengaku agak kesulitan jika harus mencoba melafalkan beberapa kalimat dalam bahasa Jawa. Sedikit-sedikit dia memahami apa maksud dari istilah tertentu, tapi tidak untuk melafalkannya.
Saat mahasiswa di Jogja sok Jaksel padahal aslinya (m)Bantul
Seiring waktu, Fabian menemukan perubahan yang baginya cukup menggelitik. Sejumlah mahasiswa di Jogja—yang berbahasa ibu bahasa Jawa—cenderung memaksakan diri berbahasa Indonesia dengan gaya Jakarta. Fabian menyebutnya “sok Jaksel”.
Misalnya, ada loh mahasiswa dari Bantul yang mencoba menggunakan “lu-gua” sebagai kata ganti orang kedua. Lalu mencoba menyelipkan kata-kata bahasa Inggris gaya anak Jaksel seperti “Wich is, literally, you know, actually, dll).
“Dan setiap kalimat pasti diakhiri dengan anjing, anying, gitu-gitu lah,” jelas Fabian.
Lama-lama Fabian malah merasa risih sendiri. Sebab, penggunaan bahasa khas Jakselan tersebut rasa-rasanya lebih cocok digunakan oleh mahasiswa dari Jakarta-nan. Karena secara logat memang sudah demikian. Apalagi setelah tahu motif penggunaannya.
“Ada yang motifnya cuma pengin akrab aja sama mahasiswa Jakarta. Tapi beberapa temanku ngaku, sebenernya ya biar kelihatan keren dan kota aja. Makanya, sering kali penggunaan lu-gua misalnya, itu nggak cuma dipakai mahasiswa dari Bantul ke mahasiswa Jakarta. Tapi sesama Bantul pun pakai gaya seperti itu,” ucap Fabian.
Baca halaman selanjutnya…
Geli dengan bahasa Jawakarta mahasiswa Malang, sok Jaksel biar tak kelihatan orang Kediri
Mahasiswa Jakarta tergelitik dengan Jawakarta di Malang
Fenomena semacam itu ternyata tidak hanya terjadi di Jogja. Di kalangan mahasiswa Malang pun demikian, sampai ada istilah “Jawakarta”: penggunaan campuran bahasa Jakarta-an dengan bahasa Jawa.
Seperti diketahui, Malang menjadi salah satu daerah yang menjadi jujukan banyak mahasiswa Jakarta. Sebab, Malang menawarkan kehidupan yang slow dengan udara yang jauh lebih sejuk ketimbang Ibu Kota. Selain juga karena banyak pilihan kampus populer. Alasan itu juga yang mendasari Ketrin (25) untuk kuliah di Malang pada 2019 silam.
“Itu kan awal pandemi. Aku belum tahu kultur di Malang karena waktu itu masih daring. Baru ke Malang pada 2021, agak kaget dengan fenomena lu-gua di kalangan mahasiswa Jawa,” ungkap Ketrin.
Pasalnya, penggunaan lu-gua dan pelogatan ala Jakarta tidak hanya berlaku bagi mahasiswa Jakarta saja. Mahasiswa dari Kediri pun memaksakan diri menggunakan gaya tersebut.
“Barangkali karena sudah sejak dulu banyak mahasiswa Jakarta merantau ke Malang. Jadinya kayak nular ke mahasiswa daerah lain,” kata Ketrin.
Ketrin tak bisa memastikan, apa sih sensasi yang mahasiswa asal Kediri (misalnya) rasakan saat menggunakan lu-gua dalam komunikasi. Tapi sejujurnya, Ketrin merasa tergelitik.
Harusnya pede dengan identitas masing-masing
Bagi Ketrin, harusnya setiap mahasiswa daerah percaya diri dengan identitas masing-masing. Misalnya dalam kultur Jawa Timur lebih mudah menyebut “aku-kamu”, rasa-rasanya tak perlu juga dipaksakan menjadi “lu-gua”.
“Kalau mau komunikasi ke mahasiswa Jakarta, ya cukup pakai bahasa Indonesia aja. Pokoknya kan komunikasinya nyampe. Nggak mesti harus lu-gua atau mengutip istilah-istilah gaul Jakarta-an lah,” ucap Ketrin.
Hal senada juga disampaikan Fabian. Baginya, Jogja bukan Jakarta dan Jakarta bukan Jogja. Sehingga mahasiswa daerah di Jogja rasa-rasanya tidak perlu berupaya menjadi “orang Jakarta”.
Justru dengan keragaman itu, amat terasa multikulturalnya. Yang penting saling menghormati, bisa membaur tanpa ada yang terganggu.
“Penggunaan bahasa Indonesia aja sudah cukup kalau misalnya ada mahasiswa Jawa mau ngobrol sama mahasiswa Jakarta. Nggak harus tiba-tiba jadi lu-gua. Banggalah dengan identitas kelokalanmu,” tutup Fabian.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Hari-hari Mahasiswa Malang yang Jalani Kumpul Kebo: Latihan Berumah Tangga, Hidup Layaknya Suami Istri meski Tak Siap Menikah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
