Di Malang, perburuan kos murah bisa lebih menegangkan daripada war tiket konser. Mahasiswa baru biasanya dibekali daftar kos rekomendasi dari senior atau hasil scrolling grup Facebook
Sayangnya, seringkali kos yang harganya terjangkau justru muncul dari gang sempit yang jarang disarankan siapa pun. Rafli (27), begitu namanya minta ditulis, adalah salah satu orang yang menemukan hidden gem ini.
Tahun pertama kuliah pada 2022 lalu, ia sadar betul uang kiriman dari orang tua tak akan cukup jika harus menyewa kamar di sekitar kampus yang sewanya mencapai Rp900 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan.
“Uang bulanan bisa habis dalam hitungan minggu kalau gitu,” ujarnya kepada Mojok, Senin (22/9/2025) malam.
Alhasil, setelah beberapa hari berkeliling, ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kos dengan harga Rp300 ribu sebulan. Murah, tapi lokasinya persis di kawasan yang sejak lama punya reputasi miring: sering disebut “tempat maksiat”.
Di Malang, kos “lokalisasi terselubung” masih marak dijumpai
Tempat maksiat yang dimaksud adalah cap yang sering keluar dari masyarakat sekitar. Lingkungan kos tempat tinggal Rafli, terkenal dihuni oleh para pekerja seks yang menawarkan jasa mereka via open BO.
Penghuni lain yang tinggal pun kebanyakan hidup bersama tanpa ikatan suami istri alias kumpul kebo. Maka tak heran, gogon-gogon menyebut tempat tersebut sebagai “lokalisasi terselubung”.
Lingkungan kos seperti yang Rafli tempati memang jamak ditemui di kota ini. Di Malang, laporan-laporan lokal pernah mencatat keberadaan bekas lokalisasi dan rumah-rumah karaoke yang bertransformasi atau berkamuflase sebagai tempat hiburan. Beberapa “diamankan” petugas, tapi banyak yang tak tersentuh.
Selain itu, kalau kata Rafli sih, pilihan kos murah ini juga masuk akal secara ekonomi. Di Malang, rata-rata kos di dekat kampus seperti Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Negeri Malang (UM), berkisar Rp800 ribu–1,2 juta per bulan.
Sementara jumlah mahasiswa di Malang tiap tahun mencapai 200.000–250.000 orang. Kata dia, kalau kebanyakan memilih, “nggak akan kebagian kos.”
Pandangan miring dari teman kuliah
Meskipun murah, ngekos di tempat yang dianggap “kotor” selalu punya konsekuensi. Misalnya, begitu teman-temannya di Malang tahu Rafli tinggal di gang itu, komentar nyinyir pun tak henti mengalir.
“Wih, tiap malam karaokean bareng Mbak-Mbak situ, ya?”
“Kalau ada barang bagus, ajak-ajak lah, Ketua.”
“Wih, Rafli pengalaman nih. Dilatih terus tiap malam.”
Celetukan-celetukan seperti itu kerap ia dengar. Beberapa terdengar biasa saja, tapi ada juga yang bikin dia sakit hati.
“Tapi mau bagaimana lagi, ya. Ini konsekuensinya, dapat kos murah ya harus siap dengan risikonya,” kata dia.
Awalnya, Rafli mengaku baper tiap kali teman-temannya mengeluarkan jokes yang kelewatan soal kosnya. Namun, pada akhirnya ia mencoba untuk terbiasa. Meski dia juga punya beberapa batasan yang nggak bisa dilanggar.
“Pokoknya bercanda nggak apa-apa, dark jokes silakan. Asalkan pas mereka main ke kos, jangan nge-jokes, kalau penghuni lain dengar mereka bisa sakit hati.”
Baca halaman selanjutnya…
Namun, banyak sisi positif ngekos di tempat ini. Ada banyak pelajaran hidup.
Tetangga sering membantunya
Batasan yang dibuat Rafli itu beralasan. Sebab, meskipun dari luar kosnya ini dianggap “tempat maksiat”, penghuninya adalah manusia yang juga punya hati.
Tetangga-tetangganya yang dicap “orang nggak bener” ini, punya karakter beragam laiknya masyarakat Malang pada umumnya. Misalnya, ia menyebut, ada bapak-bapak yang tampak sangar tapi selalu peduli dengannya.
“Karena aku sering nongkrong, jadinya akrab. Pernah suatu kali, aku lama banget nggak keluar karena sakit. Beliau ini yang nganter ke puskesmas, beliin makanan, sampai aku sembuh,” ungkapnya.
Ada juga pekerja karaoke yang tampak “liar”, tapi sangat ramah ketika sudah pulang ke kos. Pribadinya bisa 180 derajat ketika ia sedang bekerja. Kata-katanya halus, yang kata Rafli, tak pernah mendengarnya ngomong kotor.
“Sering banget aku lihat dia keluar kamar masih pakai mukena. Ya, semua di sini normal. Ada yang ibadah, ada yang ramah sama tetangga, kayak orang pada umumnya.
Pulang dari Malang dengan gelar sarjana kehidupan
Tentu, tak bis dimungkiri, kos itu tetap menyisakan sisi gelap. Ada penghuni yang terang-terangan open BO, pasangan kumpul kebo, dan kebiasaan lain yang melanggar norma.
Kadang, saat malam tiba, sering terdengar kebisingan karena penghuni lain nyetel dangdut keras-keras. Kadang juga ada keributan kecil.
“Ya, memang ada yang begitu. Aku nggak munafik,” kata Rafli. “Tapi di balik itu semua, mereka juga manusia. Mereka bisa baik, peduli. Kadang lebih manusiawi daripada orang yang sok alim.”
Rafli juga mengaku, pacarnya yang LDR dan orang tuanya juga tak dirinya tinggal di lingkungan yang dianggap “kotor” itu. Namun, mereka tak mempermasalahkannya dan memahami pilihan Rafli.
“Orang tua, bahkan pacar juga tahu aku tinggal di sini. Tapi biasa aja, tahu aku bisa jaga diri. Mereka juga paham, banyak orang baik di sini,” katanya.
Tiga tahun tinggal di sana membuat Rafli belajar banyak, bahwa manusia tidak sehitam-putih itu. Setelah tinggal di “tempat maksiat”, berinteraksi dengan penghuninya, ia belajar untuk tak menilai orang dari tampilan luarnya saja.
Awal 2025 lalu, Rafli sudah menyelesaikan studinya. Kepada Mojok, ia mengaku pulang dengan dua gelar, katanya sambil bercanda.
“Satu sarjana, satu lagi sarjana kehidupan. Anjay!” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Malang di Persimpangan: Ketika Kos LV dan Kumpul Kebo Menguji Identitas Kota Pendidikan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
