Nekat Lepas Gaji Besar Serang Banten Pindah ke Kota Miskin, UMR-nya Miris tapi Nemu Kedamaian yang Tak Ditemui di Serang

Tinggalkan Serang Banten untuk tinggal di Rembang yang miskin MOJOK.CO

Ilustrasi - Tinggalkan Serang Banten untuk tinggal di Rembang yang miskin. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bekerja di Serang, Banten, memang memberikan gaji besar. Namun, Khoiron (30-an) justru memutuskan pindah dan menetap di sebuah kota kecil nan miskin (Rembang, Jawa Tengah). Kota di pinggiran pantura yang justru memberi Khoiron apa yang tidak dia dapatkan di Serang.

***

Tinggal di sebuan kota kecil nan miskin seperti Rembang, Jawa Tengah, awalnya sama sekali tidak terbayang di benak Khoiron.

Pada 2015, setelah lulus kuliah dari sebuah kampus swasta di Malang, Khoiron merantau ke Serang, Benten. Bekerja di sebuah pabrik sepatu dengan gaji Rp6 jutaan.

Di pabrik sepatu ini pula Khoiron mengenal beberapa teman yang ternyata berasal dari Rembang.

Tinggalkan gaji Serang Banten, terlempar di Rembang

Ketika masih kerja di Serang, Banten, Khoiron sebenarnya sudah pernah mampir ke Rembang. Namun, waktu itu masih belum terbersit dalam bayangannya bahwa kota kecil di pinggiran pantura itu bakal menjadi tempatnya menetap.

Nasib menggiring Khoiron ke Rembang bermula dari keputusannya menikah dengan perempuan asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang dia kenal di Serang, Banten pada 2019.

“Kami sepakat, setelah menikah kami akan mencari kerja di Jatim. Pertimbangan kami, saat itu UMR Serang dengan Jatim (Mojokerto, Gresik,dan Surabaya misalnya) tidak terpaut jauh. Akhirnya resign, mencari kerja di Jatim,” ungkap Khoiron kepada Mojok.

Pada 2017, setelah meninggalkan Serang, Banten, Khoiron bekerja di perusahaan pengolahan ikan yang berpusat di Gresik.

Saat itu, kata Khoiron, perusahaan tempatnya bekerja sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi: membuka tiga unit pengolahan ikan di Tuban, Rembang, dan Temanggung.

“Pertama, saya ditugaskan ke Tuban. Untuk support tim teknisi yang sedang install mesin dari Cina. Saya menjembatani komunikasi teknisi kami dengan teknisi dari Tiongkok sebagai penerjemah bahasa Mandarin,” beber Khoiron. Seiring waktu, Khoiron lalu dikirim bertugas di Rembang.

Nelangsa di awal

Ketika pindah ke Rembang, Khoiron kaget dan nelangsa. Pasalnya, selisih gaji UMR antara di Serang, Banten dan di Gresik dengan di Rembang terpaut lebih dari 50%. Itu dengan beban kerja yang hampir sama.

Khoiron sebenarnya beruntung karena gajinya mengikuti gaji pusat. Tidak mengikuti UMR Rembang.

“Tapi saya nelangsa. Saya bertanya-tanya, Apakah teman-teman di sini (Rembang) tidak ada pilihan pekerjaan lain? Kenapa tidak memilih kerja ke Jakarta, Surabaya atau kota lain yang UMR-nya lebih baik?” Tutur Khoiron

“Saya dibuat tercengang. Teman-teman di sini memiliki pilihan yang sangat terbatas. Bagi mereka, bisa memilih jenis pekerjaan adalah keistimewaan. Ada berbagai batasan yang tidak memungkinkan pilihan itu ada. Pendidikan, skill, informasi. Bener-bener tercengang. Sukses yang pernah teman-teman di sini lihat adalah orang bekerja ke negeri orang,” sambungnya.

Baca halaman selanjutnya…

Di tengah kemirisan temukan kedamaian yang tak ditemukan di Serang

Perasaan yang tidak ditemukan di Serang Banten

Awal bekerja di Rembang, Khoiron dan istri tinggal di mes yang disediakan pabrik yang berada di tepian jalan pantura.

Hanya satu bulan Khoiron bertahan di mes. Sebab lokasinya di pinggir jalan pantura membuat bangunan mes terasa bergetar tiap kali truk-truk besar melintas. Belum lagi debu-debunya.

“Saya lalu pindah dan memilih rumah (ngontrak) yang agak masuk ke dalam. Perbukitan. Jaraknya masih terjangkau. Pabrik-rumah kisaran 15 menit naik motor,” tutur Khoiron. “Lumayan. Tidur bisa lebih nyenyak. Udara lebih segar dan bersih. Dekat dengan pasar tradisional.”

Tak dinyana, istri Khoiron ternyata krasan. Istrinya menemukan keakraban desa: saling sapa dengan tetangga saat belanja, ada kumpulan rutin ibu-ibu yang bisa diikuti, banyak ruang untuk anak-anak kecil bermain dan belajar. Ketenangan dan keakraban yang tidak Khoiron dan istri dapat selama di Serang, Banten.

“Saya merasa seperti di Malang saat saya kecil. Saya mendapati banyak pemuda yang tidak gengsi mencari rumput untuk ternak. Sore hari mereka main bola atau voli di lapangan dekat balai desa. Banyak anak-anak ngaji madrasah. Ada ngaji rutin yang bisa saya ikuti,” sambungnya.

Membeli rumah di Rembang

Semua itu merangsang Khoiron untuk menetap di Rembang. Pun seandainya nanti dia tidak lagi bekerja di pabrik pengolahan ikan itu, dia tetap ingin menjadi orang Rembang, tinggal di tempat dan lingkungan yang dia tempati.

“Nilai yang tidak bisa di beli dari Rembang adalah guyub dan tradisi ngajinya yang kental. Di Rembang berceceran pondok yang berkelas. Dari timur, ada Sarang. Ke barat sedikit, ada Gus Baha. Ada lagi Gus Qoyyum di Lasem. Ke barat lagi, ada Gus Mus di Rembang kota,” kata Khoiron.

Karena sama-sama merasa nyaman, pada 2023 Khoiron dan istri pun akhirnya bisa membeli rumah di sebuah pedasaan di Rembang. Rumah yang membuatnya merasa hidupnya sudah cukup lantaran memiliki tetangga yang guyub, udara sejuk karena rindang pepohonan, dan sungai yang mengalir tidak jauh dari sisi rumah.

“Bagaiaman dengan ekonomi dan UMR Rembang yang aduhai? Saat ini zaman sudah berkembang. Kalau mau kreatif, mau mendayagunakan waktu dan tenaga untuk menekuni suatu bidang, di manapun berada saya yakin akan berhasil. Saya telah menemui beberapa orang Rembang yang penghasilannya di atas saya karena kreatif,” tandas Khoiron.

Suatu saat, jika dia sudah tidak lagi bekerja di pabrik, Khoiron akan mencoba memaksimalkan keterampilannya berbahasa Mandarin dan menulis. Apalagi sekarang era digital. Kreativitas bisa terakomodir untuk menghasilkan cuan.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Jadi Buruh Pabrik di Rembang: Kerja Habis-habisan dari Pagi hingga Larut Malam, Masih Tak Dikasih Libur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

Exit mobile version