Menjadi Anak Maling Itu Penuh Penderitaan, Mending Sekalian Jadi Anak Koruptor

Mirip Sukolilo Pati, Kampung Muharto Malang Dicap Sebagai "Sarang Preman": Warganya Di-blacklist Leasing Saking Banyak Kredit Macet.MOJOK.CO

Ilustrasi Mirip Sukolilo Pati, Kampung Muharto Malang Dicap Sebagai "Sarang Preman": Warganya Di-blacklist Leasing Saking Banyak Kredit Macet (Mojok)

Nuri (21) sepakat, tak ada alasan untuk membenarkan aksi pencurian. Bagi dia, maling ayam, maling dompet, maling duit rakyat, semua sama: “sama-sama nyolong”. Namun, jika diberi kesempatan, Nuri mengaku akan lebih suka menjadi anak koruptor ketimbang jadi anak maling kroco. Sayangnya, garis nasib tak membawanya ke sana.

Nuri, perempuan 21 tahun asal Jogja, merupakan anak dari seorang maling. Lebih tepatnya maling kroco. Pada 2022 lalu, ayahnya, seorang cleaning service di sebuah kantor di Jogja, kedapatan mencuri dua buah handphone. Sialnya, aksi pencurian itu tertangkap CCTV. Sialnya lagi, ponsel yang ia curi ternyata milik kantor, di mana data-data penting perusahaan ada di dalamnya. Dan sial yang ketiga, barang curian itu kadung terjual, yang pembelinya sudah entah kemana.

Tiga kesialan itu cukup untuk bikin ayahnya dihakimi warga. Video klarifikasinya sempat heboh beredar di Facebook. Ia tak hanya dipecat, tapi juga mendapat bogem mentah dari karyawan lain yang geram. Yang paling buruk, ayahnya juga harus mendekam di penjara selama 8 bulan.

Saya menemui Nuri di sebuah kedai jus di daerah Tamansiswa. Nuri, jelas bukan nama sebenarnya, merupakan mahasiswa semester akhir Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Ia mengaku sudah berdamai dengan hal yang menimpa ayahnya, meski pandangan miring orang-orang terhadapnya tak bisa ia hindari.

Maling demi istri yang sakit dan uang kuliah anak

Nuri sudah menjelaskan, semua maling itu sama, tak ada alasan apapun yang bisa mengubah persepsi buruknya. Namun, jika boleh berpikir dari sudut pandang ayahnya, Nuri mungkin akan sedikit memahami mengapa ayahnya memilih untuk mencuri.

Saat itu, kondisi perekonomian keluarganya memang sedang limbung. Ayahnya baru beberapa bulan bekerja setelah sebelumnya nganggur karena pandemi Covid-19. Sementara ibunya, kudu cepat-cepat masuk meja bedah untuk pengangkatan kista endometriosis yang semakin parah.

“Sakitnya sudah lama. Karena ibu hanya membiarkan saja, jadi makin parah. Ayah butuh uang tak sedikit buat operasi,” kata Nuri, Rabu (5/3/2024).

Belum dapat uang buat operasi ibunya, sang ayah sudah harus diterjang masalah selanjutnya. Nuri, saat itu sudah harus membayar uang kuliah karena memasuki semester baru. Jika tak segera membayar, artinya ia tidak bisa mengikuti kelas di semester baru.

Alhasil, karena sudah mentok, cari pinjaman sana-sini tak ada hasil, aksi nekat itu ayahnya lakukan. “Aku memahami semua alasannya. Tapi itu enggak mengubah apa-apa. Orang tetap menganggap ayahku penjahat. Pencuri.”

Jadi target perundungan teman kelas

Kabar soal ayahnya terus menghujani notifikasi pesan di ponsel Nuri. Keluarga besarnya heboh. Ibunya juga tak kalah shock sampai berhari-hari jatuh sakit. Nuri pun enggan keluar rumah beberapa hari karena malu.

“Rasanya enggak punya muka mau ketemu orang-orang,” ujarnya, berkisah bagaimana aksi maling tersebut amat mengobrak-abrik perasaannya.

Sebagai mahasiswa, kehidupan kuliahnya juga tak sama lagi. Dalam waktu cepat, ia menjadi target bully teman-teman kelasnya. Ia tak tahu siapa yang memulai, tapi yang jelas informasi soal ayahnya yang mencuri jadi obrolan yang heboh di grup kelasnya.

Yang paling bikin dia sakit hati, di grup kelas ada yang membagikan tangkapan layar Facebook soal berita ayahnya, lengkap dengan video klarifikasi. Teman-temannya ramai berkomentar. Rata-rata membalas dengan emoticon tertawa dan stiker mengejek.

“Enggak mungkin mereka enggak tahu aku di grup yang sama. Memang toksik saja, sih. Akhirnya sadar kalau teman-temanku memang judgemental dan enggak suportif. Yang maling itu ayahku, bukan aku.”

Beberapa bulan Nuri memutuskan menonaktifkan media sosialnya gara-gara tak tahan dengan rundungan teman-temannya. Sejak saat itu juga, kehidupannya di kampus amat suram. Ia takut berteman. Kuliah cukup belajar dan pulang, tak ada istilah nongkrong di kamusnya.

Teman-temannya pun bisa dihitung jari. Kebanyakan adalah kenalannya dari kampus lain.

Gerak dikit jadi gosip warga

Tak hanya di lingkungan kampus, situasi lebih buruk juga terjadi di sekitar rumahnya. Sebagaimana lingkungan kampung, kasus kecil saja jadi pergunjingan hebat, apalagi ini pencurian.

Meski di depan dia para tetangga masih terlihat biasa-biasa saja, tapi Nuri tahu kalau sebenarnya ada omongan-omongan menyakitkan yang ia terima.

Misalnya, saat ayahnya 8 bulan mendekam di jeruji besi, tak sedikit yang memberi stigma buruk ke ibunya. “Banyak yang bilang, ‘8 bulan ditinggal suami pasti main serong sama lelaki lain’. Ini nyakitin banget sih.”

Tiap gerak-geriknya serasa diawasi warga. Mata-mata penuh curiga seolah selalu menguntitnya. Seakan semua tindakan yang ia kerjakan pasti berhubungan dengan kriminal. Makanya, Nuri memilih melipir dari pergaulan di kampungnya. Ia tak pernah datang ke agenda karang taruna maupun acara-acara lain karena tak tahan dengan pandangan sinis para tetangga.

“Ya begini Jogja istimewa. Istimewa nyinyirnya.”

Daripada anak maling, mending jadi anak koruptor

Setahun lebih kehidupan penuh derita ini Nuri alami. Untuk mengatasinya, untungnya Nuri masih bisa membaur bersama teman-teman komunitas yang tak pernah menghakiminya. Termasuk komunitas pecinta buku yang sudah setahun lebih ia aktif di dalamnya.

Tak ada pilihan lain, selain tetap melanjutkan hidupnya yang sama sekali sudah berbeda itu. Baginya, tak ada jalan buat kembali. Semua sudah telanjur. Ayah Nuri, yang sudah bebas dari penjara, kini pun memilih buat kerja di luar kota karena tak tahan dengan nyinyiran warga. Sementara dia, tetap berada di rumah, merawat ibunya yang semakin rentan sekaligus berusaha menyelesaikan studinya.

Seandainya boleh memilih, Nuri mengaku ingin jadi anak koruptor sekalian, daripada hanya anak maling kroco. Meski sama-sama jahat, sama-sama buruknya, minimal maling duit rakyat masih bisa menikmati banyak privilese.

“Kalau malu sama tetangga tinggal pergi ke luar negeri. Beres,” kelakarnya. “Ya, sama-sama jahat. Bedanya kalau aku jadi anak koruptor, minimal masih bisa bahagia karena banyak duit.”

Jujur, kalau melihat para koruptor di TV maupun medsos yang masih bisa tersenyum sambil dada-dada ke kamera, Nuri makin merasa heran. Ia heran mengapa para koruptor ini masih bisa santai, sekaligus heran dengan nasibnya. Anak maling barang yang nominalnya tak seberapa, tapi nasibnya jauh lebih buruk ketimbang maling duit rakyat yang bikin susah satu negara.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mencintai Anak dengan Cara Childfree adalah Pilihan Logis bagi Gen Z Jogja yang Bergaji di Bawah UMR

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version