Video di X menunjukkan ketika seorang gadis bertubuh kecil mengikuti pelatihan pencak silat. Dari logonya, perguruan silatnya adalah PSHT.
Setelah menerima beberapa kali tendangan—dan mungkin pukulan—si gadis tampak engap-engapan dan merintih kesakitan. Namun, alih-alih memberi pertolongan, sang pelatih justru membentak-membentaknya dengan kalimat yang bikin ngilu.
“Kenapa? Sakit? Mati, mati, aja.” Begitu diulang-ulang. Video itu lantas diikuti oleh rentetan video lain dengan konteks serupa.
Penganiayaan berkedok latihan silat.
Tolong dong adilin orang ini, satu murid meninggal usai di tendang di bagian dada!! pic.twitter.com/7R4JRYVKEc
— Berita Viral 24 Jam (@GasMedsos) May 25, 2025
Nyawa melayang saat latihan pencak silat
Video tersebut muncul di X sebagai respons atas peristiwa nahas yang baru saja terjadi: latihan rutin perguruan pencak silat PSHT di Boyolali, Jawa Tengah merenggut korban jiwa.
Hal itu sebagai gambaran bahwa latihan dengan model kekerasan ala salah satu peguruan silat tertua di Indonesia ini rentan mencelakakan orang. Baik orang lain di luar perguruan atau bahkan orang di dalam perguruan sendiri.
Merujuk keterangan Polres Boyolali, peristiwa nahas itu terjadi pada Rabu (21/5/2025) malam WIB di Desa Karangkepoh, Kecamatan Karanggede.
Dalam momen latihan rutin, seorang remaja berinisial MPS (17) menerima dua kali tendangan dari dua seniornya. Tendangan yang teramat keras, apalagi dilakukan sembari melayang.
MPS langsung pingsan di tempat. Ketika tengah dalam perjalanan ke rumah sakit, MPS dinyatakan meninggal dunia.
Ikut latihan PSHT jadi suka miting tangan orang
Ketertarikan Rofal (16) pada pencak silat PSHT adalah sejak masih duduk di bangku SMP. Waktu itu beberapa teman desanya di Rembang, Jawa Tengah, memang ada yang sudah ikut latihan.
Dari pengamatan Rofal, setiap temannya yang sudah bergabung latihan, berubah menjadi sosok yang tidak kenal takut (sekaligus menjadi agak sok jagoan). Mungkin karena sudah dibekali dengan kekuatan bela diri, jadi merasa jago melawan siapa saja.
“Kalau lagi main bareng, sering tiba-tiba suka miting tangan teman lain. Atau kadang dia sok ngajari, kalau dipukul orang, gimana cara menangkisnya,” ujar Rofal berbagi cerita, Senin (26/5/2025) malam WIB.
Rofal kerap menjadi bahan uji coba mereka untuk mengaplikasian jurus-jurus yang didapat dari latihan pencak silat PSHT. Karena merasa “tertinggal”, Rofal pun memutuskan ikut latihan.
Fisik dan mental babak belur
Orangtua Rofal menentang betul ketika tahu anaknya ikut latihan di perguruan pencak silat PSHT. Pertama, takut Rofal jadi urakan dan suka berkelahi. Sebab, orangtua Rofal melek belaka, kalau ada berita tawuran atau pengeroyokan, sering kali melibatkan perguruan silat tersebut.
Tapi Rofal bergeming. Dia tetap mengikuti beberapa kali latihan. Di titik itulah dia tahu, ternyata selama ini temannya hanya sok jagoan.
“Bukan latihan bela diri. Tapi anak-anak kayak jadi pelampiasan. Dipukul, ditendang, sekeras-kerasnya,” tutur Rofal.
“Alasannya, biar tangguh kalau berhadapan dengan musuh. Temenku ada yang sampai nangis sampai merintih kesakitan. Tapi tendangan nggak bakal berhenti ke perutnya. Malah dibilang, ‘Gitu aja nangis? Gitu aja kesakitan. Jangan lembek. PSHT nggak boleh lembek!’,” sambungnya mencoba menirukan ucapan si pelatih.
Rofal sendiri merasa tubuhnya babak belur setelah beberapa kali mengikuti latihan. Kakinya sempat keseleo hingga bengkak. Alhasil harus disembuhkan di tukang pijat.
Setelahnya, Rofal memutuskan mengikuti kata ibunya: tidak lagi-lagi ikut latihan PSHT. Satu persatu temannya pun mreteli. Tidak melanjutkan.
Iri dengan latihan karate
Seiring itu, Rofal tahu ada pusat pelatihan karate di pusat kecamatan. Dia dan beberapa temannya beberapa kali datang untuk melihat latihan.
Latihannya tampak penuh disiplin tinggi. Itupun di sore hari, tidak di tengah malam seperti latihan PSHT. Selain itu, tidak ada kesan “kekerasan” dan “pelampiasan” di sana, kendati nuansanya penuh ketegasan.
“Nah, setahuku, kalau karate ini kan memang sering masuk turnamen. Kalau pencak silat terbagi dua. Kalau di sekolah tujuannya memang ikut lomba. Tapi kalau di desa, latihan silat kayak hanya buat biar bisa gelut,” beber Rofal.
Rofal sempat tertarik mengikuti latihan karate. Apalagi cabang bela diri ini memang jauh dari citra tukang onar. Sayangnya, orangtua Rofal sudah trauma dengan momen saat Rofal ikut latihan PSHT. Alhasil, dia tidak boleh mengikuti latihan bela diri apapun kalau ujung-ujungnya mencelakakan diri sendiri.
“Sekarang ya nggak masalah nggak ikut. Tapi lucunya, ada anak di sekolahku yang dikenal sangar karena aktif PSHT. Tapi pas momen senggel (satu lawan satu), ternyata jurus-jurus silatnya nggak bisa digunakan i,” kata Rofal. “Ujung-ujungnya main keroyokan karena manggil teman sesama perguruan.”
Kapok berurusan dengan PSHT (1)
Melengkapi cerita Rofal, Habib, teman di sekolahnya yang pernah berurusan dengan PSHT menceritakan kejadian tersebut.
Siswa anggota pencak silat PSHT itu, bagi Habib, memang petentang-petenteng. Singkat cerita, terjadilah momen adu jotos itu tidak jauh dari gerbang sekolah.
“Dikerubungi banyak orang waktu itu,” ungkap Habib.
Masalahnya sepele. Hanya karena Habib menatap sinis si siswa yang petentang-petenteng itu, dia langsung ditantang adu jotos.
Habib tidak punya basic bela diri dari perguruan manapun. Dia hanya tahu, kalau berantem ya tinggal layangkan pukulan secara gesit dan terukur. Dan itulah yang dia lakukan.
Si siswa anggota PSHT itu tersungkur berkali-kali. Pada momen ketika Habib memukulinya ketika sudah terkapar, seorang guru datang melerai.
Kapok berurusan dengan PSHT (2)
Habib pikir persoalan itu selesai. Tapi ternyata si siswa anggota pencak silat PSHT itu masih menyimpan dendam.
“Di sekolah, dia nantang senggel lagi. Tapi dia minta jauh dari sekolah. Biar nggak ramai-ramai. Aku ladeni. Siapa takut,” kata Habib.
Habib datang ke sebuah lapangan sepi, tempat lokasi yang disepakati. Dia hanya datang dengan dua orang teman sekelasnya sebagai saksi untuk pertarungan itu.
Lalu tiba-tiba si siswa yang menantangnya datang dengan segerombolan orang. Beberapa di antaranya mengenakan kaos PSHT. Habib tak gentar, tapi dia sudah berfirasat buruk.
“Awalnya senggel satu lawan satu. Pas aku mukul berkali-kali kena wajah anak itu, tiba-tiba aku dan dua temanku langsung dikeroyok teman-teman lawanku itu. Babak belurlah jadinya,” bebernya.
Kejadian itu membuat Habib kapok berurusan dengan perguruan pencak silat tersebut. Bukan kapok karena takut kalah gelut. Tapi takut dijebak dalam situasi tidak fair seperti itu.
“Katanya senggel (satu lawan satu), tapi malah keroyokan. Jelas menangnya kalau begitu,” tutup Habib.
Dihajar habis-habisan oleh pelatih, kenapa ya?
Mojok menemukan tulisan menarik di laman resmi perguruan pencak silat PSHT.
Judulnya “Dihajar Habis-Habisan oleh Pelatih PSHT, Kenapa Ya?”. Ditulis oleh Rijal Mumazziq Z, warga PSHT Pengesahan 2002 Rayon Mojorejo, Jetis, Ponorogo yang juga dikenal sebagai akademisi.
“Tingkat kepahamaan tentang hakikat ke-SH-an, juga dipengaruhi oleh circle. Kalau yang mendidik dan berada di sekelilingnya itu orang-orang yang hanya berpikir gelut dan betah dalam lingkaran kekerasan jadinya ya begitu,” tulis Rijal.
“Jika yang ada di sekelilingnya orang-orang yang senantiasa berpikir positif, menjunjung marwah organisasi, dan bagaimana memanfaatkan persaudaraan untuk kemanfaatan, insyaAllah, jadinya ya baik-baik saja,” sambungnya.
Dalam tulisan tersebut, Rijal juga mengutip buku “Markesot Bertutur” dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Dalam buku itu, ada bagian ketika Markesot belajar silat pada pendekar Mataram. Alih-alih diajari ilmu menggunakan tombak, dia malah dicekoki ilmu filosofi tombak.
“Semakin panjang tombak seseorang,” kata pendekar itu, “berarti makin rendah ilmunya.
Orang yang lemah memerlukan alat yang panjang, sepanjang mungkin untuk melindunginya. Sementara orang yang agak sakti, cukup pendek saja tombak pelindungnya. Sedangkan orang rang yang top kesaktiannya, tak memerlukan senjata. Ia cukup hidup dengan tangan kosong.
Tangan kosong adalah tangan yang jujur dan apa adanya. Tangan yang tak menggenggam apa-apa, tak memiliki apa-apa, tak dibebani apa-apa. Justru karena itu, pendekar tangan kosong malah disegani, karena ia telah menyelesaikan urusan dengan dirinya, dengan egonya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keresahan Anggota Silat SH Winongo, Cuma Ingin Damai tapi Terpancing Rusuh dengan PSHT yang Mengaku Setia Hati Paling Tua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
