Mati-matian Kuliah PTN Bayar UKT Sendiri, Pas Jadi Sarjana Sukses Ortu Tiba-tiba Tuntut Balas Budi

Ingin kuliah PTN tapi dicekal ortu. Mati-matian kuliah sambil kerja untuk biaya UKT setelah jadi sarjana sukses ortu malah menuntut balas budi MOJOK.CO

Ilustrasi - Ingin kuliah PTN tapi dicekal ortu. Mati-matian kuliah sambil kerja untuk biaya UKT setelah jadi sarjana sukses ortu malah menuntut balas budi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tidak setiap mahasiswa beruntung bisa kuliah dengan dukungan biaya penuh dari orangtua. Ada juga yang, jangankan menerima dukungan biaya, mengungkapkan keinginan untuk kuliah PTN demi jadi sarjana saja langsung dipenggak (dilarang). Sehingga harus mengupayakan uang besar—seperti UKT—dengan jerih payah sendiri.

Masalahanya, ada model orangtua yang cenderung “tak tahu diri”—kalau meminjam kalimat narasumber Mojok. Sebab, sudah kuliah pakai biaya sendiri (untuk UKT dan lain-lain), ketika lulus dan menjadi sarjana sukses orangtua malah tiba-tiba menuntut balas.

Keinginan kuliah PTN ditentang meski biaya UKT tak mahal

Sebenarnya Fauqa (26), bukan nama asli, sudah menduga kalau upayanya untuk kuliah di PTN bakal tidak mudah. Lingkungan keluarganya di Ngawi, Jawa Timur, tidak terlalu menganggap penting pendidikan.

Bagi keluarganya, kuliah hanya akan membuang waktu dan biaya. Akan lebih baik jika lulus SMA langsung bekerja. Menghasilkan uang sendiri di usia muda, sehingga tak berlama-lama membebani orangtua.

Tapi Fauqa memilih nekat. Dia mengikuti pendaftaran SNMPTN (sekarang SNBP) tanpa diskusi dulu dengan orangtuanya. Hasilnya, ternyata dia diterima kuliah di sebuah PTN di Jawa Tengah.

“Aku baru bilang pas udah fiks keterima. Langsung ditentang. Ngapain kuliah, kondisi ekonomi pas-pasan kok mau nambah beban orang rumah,” beber Fauqa, Kamis (14/8/2025).

Fauqa menegaskan kalau dia akan kuliah dengan upaya sendiri, menanggung biaya UKT dan lain-lain sendiri demi mengejar gelar sarjana.

Tidur 3 jam sehari demi rengkung mimpi

Pada 2017, Fauqa resmi menjadi mahasiswa di sebuah PTN di Jawa Tengah. Saat itu dia ngutang dulu ke teman baiknya sebesar Rp3,5 juta. Rp2,5 juta untuk keperluan biaya UKT, sisanya untuk sewa kos dan makan.

“Satu bulan pertama itu sambil cari-cari kerja kan. Cari kos murah Rp350 ribu. Sisanya buat makan. Karena harus berhemat betul, jadinya makan sehari sekali,” ujar Fauqa.

Pada akhirnya, beragam pekerjaan Fauqa ambil. Dari jadi pelayan warung kopi, driver ojek online, penjaga toko elektronik, hingga penjaga konter hp.

Segala peluang kerja sampingan dia ambil sembari susah payah mengikuti perkuliahan. Itu membuatnya sering tidur hanya tiga jam sehari. Sisanya paling ketiduran di kelas karena saking capainya.

“Aku dulu nggak punya laptop, jujur. Untung aku ada teman yang baik sekali. Jadi kalau nugas biasanya pinjam. Bahkan saking baiknya dia, dia juga sering bantuin tugasku. Karena akhirnya dia tahu, kalau aku mati-matian mengejar gelar sarjana gara-gara orangtua nggak mendukung,” ungkap Fauqa.

Baca halaman selanjutnya…

Makan dari belas kasihan, lulus jadi orang sukses eh orangtua tuntut balas budi

Makan dari “belas kasihan” karena penghasilan buat biaya kuliah (UKT)

Untuk makan, Fauqa lebih sering makan sehari sekali. Karena prioritas penghasilannya adalah untuk biaya UKT dan sewa kos. Selebihnya, dia kerap mengandalkan acara-acara seminar di kampus untuk sekadar mendapat snak berisi roti dan air mineral.

“Kalau bulan puasa, full cari buka di masjid. Biasanya kalau ada nasi kotak lebih, aku ambil buat sahur. Kalau nggak ada, ya nggak sahur,” ucap Fauqa.

Orangtuanya tentu tak peduli dengan kondisi Fauqa. Menanyakan kabar saja tidak. Hanya sesekali saja menelepon untuk sekadar mengingatkan pada Fauqa bahwa jika tidak kuat menjalani perkuliahan di tengah keterbatasan, lebih baik berhenti saja dan fokus bekerja. Karena memang orangtua Fauqa sudah menyatakan diri tidak sanggup membantunya.

Untungnya pula, dan begitu Fauqa syukuri, dia dikelilingi orang-orang baik. Teman satu PTN-nya tak hanya meminjami laptop, tapi juga kerap menraktir Fauqa makan enak.

“Dan di setiap tempat kerja, kok ada paling nggak satu aja orang baik. Misalnya pas jaga warung kopi, itu orangnya sering ngasih uang buat aku makan. Di konter pun begitu,” ujar Fauqa.

Lulus PTN dengan terseok-seok, rayakan wisuda sendirian

Dengan terseok-seok, Fauqa berhasil menuntaskan kuliahnya pada 2022. Tidak tepat waktu memang, tapi masih tidak telat-telat amat.

“Waktu wisuda sarjana itu, orangtuaku memang nggak kuminta hadir ke PTN-ku. Aku cuma mengabari kalau aku sudah jadi sarjana. Mereka meresponsnya biasa saja, nggak antusias,” kata Fauqa. Barangkali orangtua Fauqa masih berpikiran, bergelar sarjana dari PTN belun membuktikan apapun. Karena sudah terlalu banyak contoh sarjana jadi pengangguran.

Momen wisuda membuat Fauqa agak emosional. Di PTN-nya, Fauqa melihat banyak sarjana yang berpelukan haru dengan orangtua masing-masing. Raut bangga tergurat di wajah orangtua mereka. Sementara Fauqa hanya sendiri saja.

Di titik itu, tekad Fauqa makin tersulut. Dia tak mau jadi sarjana yang biasa-biasa saja. Harus sukses! Harus “jadi orang”!

Fauqa sempet melanjutkan kerja sebagai penjaga konter, sampai akhirnya dia lolos seleksi CPNS pada 2023 silam. Dia mendapat penempatan di sebuah daerah di Jawa Timur.

Jadi “sarjana sukses” langsung dibangga-banggakan

Di kalangan orang desa seperti di desa Fauqa, PNS masih menjadi simbol kesuksesan. Oleh karena itu, saat pulang kampung dan mengabarkan bahwa dia resmi menjadi PNS dan akan segera bertugas di wilayah tugasnya, tetangga dan keluarganya pun menganggapnya sebagai sarjana sukses. Dia dibangga-banggakan.

Pasalnya, di tengah isu banyaknya sarjana pengangguran dari masa ke masa, Fauqa nyata-nyata tidak termasuk di dalamnya.

“Sikap orangtua langsung berubah. Nggak meremehkan lagi,” ucap Fauqa.

Tapi Fauqa tak bisa melupakan, bahwa dalam rentang 2017-2023, dia berjuang sendirian untuk kuliah di PTN. Menanggung biaya UKT dan hidupnya sendiri, tanpa dukungan dan bahkan dalam pengabaian orangtua.

Barangkali terkesan sebagai anak durhaka. Tapi akhirnya Fauqa mengambil jalan itu.

Orangtua tuntut balas budi, tapi Fauqa pilih tak peduli

Setelah resmi bertugas, Fauqa memilih jarang pulang. Orangtuanya kelewat sering meneleponnya, sekadar basa-basi menanyakan bagaimana kerjaannya hingga persoalan sudah makan atau belum? Basa-basi yang tak pernah dia terima selama berjuang saat masih mahasiswa.

Di titik menyebalkan, berkali-kali orangtua hingga saudara di rumah merayu Fauqa agar dipinjami uang. Tapi, tanpa halus-halusan, Fauqa lugas menolak mentah-mentah.

“Itu ternyata membuat orangtuaku marah. Menganggap aku anak nggak tahu diri. Nggak tahu balas budi. Kata mereka, aku kecil sudah dirawat dan dibesarkan. Sementara sekarang pas aku sudah besar dan jadi PNS, langsung lupa daratan,” ujar Fauqa.

“Tapi menurutku, yang bisa disebut durhaka bukan hanya anak kepada orangtua. Tapi orangtua ke anak juga bisa durhaka. Seperti apa yang dilakukan orangtuaku selama aku terseok-seok mengejar gelar sarjana. Sementara membesarkanku, merawatku dari kecil, itu kan memang tugas dan kewajiban mereka,” tegas Fauqa.

Hubungan Fauqa dan keluarganya di rumah saat ini tak baik-baik saja. Merenggang. Tapi Fauqa tak peduli. Dia ingin balas dendam atas masa-masa sulitnya dulu dengan cara fokus menikmati jerih payahnya sendiri, tanpa berbagi ke orangtua yang telah meremehkan dan mengabaikannya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Mahasiswa PTN Rela Bohongi Ibu: Ngaku Sudah Lulus Kuliah Bergelar Sarjana padahal DO, Demi Fokus Kerja Bantu Hidupi Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version