Wisata Kota Lama Surabaya Kelewat Diromantisasi, Bisa Berakhir kayak Jalan Tunjungan yang Makin Nggak Menarik

Ilustrasi - Kawasan wisata Kota Lama Surabaya. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kota Lama Surabaya kini menjadi salah satu wisata unggulan di Kota Pahlawan. Namun, keberadaan Kota Lama Surabaya tersebut tentu tak serta merta membuat semua orang di Surabaya puas. Bahkan ada juga yang mengkhawatirkan kalau wisata tersebut bakal berhenti sebatas sebagai tempat romantisasi, tapi minim edukasi.

***

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi baru saja menggelar soft launching Kota Lama Surabaya pada Kamis (27/6/2024) malam. Momen tersebut memang mengundang perhatian masyarakat Surabaya: mereka terlihat antusais menyambut peresmian wisata baru itu.

Terlebih, acara yang berlangsung di Kota Lama Zona Eropa (Jl. Rajawali, Krembangan) itu menyuguhkan beberapa pertunjukan. Antara lain, hiburan musik tempo dulu dan teatrikal berjudul “Pertempuran Tiga Hari” oleh Komunitas Rooderburg.

“Kota Lama ini akan membangkitkan tempat di Surabaya yang penuh cerita. Di sini ada mobil Jenderal Mallaby yang tewas di Surabaya dengan perjuangan arek-arek Suroboyo,” tutur Eri dalam sambutannya.

“Kita bisa mengenang Kota Lama dan mengenang heritage-nya,” sambungnya.

Wisata Kota Lama Surabaya, Cuma Jadi Tempat Romantisasi Minim Edukasi MOJOK.CO
Soft launching wisata Kota Lama Surabaya, Kamis (27/6/2024). (Dok. Pemkot Surabaya)

Kota Lama Surabaya jadi pusat kreasi anak muda

Dalam kesempatan tersebut, Eri menyebut nantinya Kota Lama Surabaya akan menawarkan beberapa paket wisata. Misalnya, penyewaan baju ala Eropa untuk berfoto, sepeda listrik untuk berkeliling, hingga paket wisata keliling kawasan kota lama dengan mobil Jeep kuno.

Di samping itu, Kota Lama Surabaya juga bakal menjadi pusat ekonomi dan kreasi anak muda. Bahkan, Pemkot Surabaya sendiri sudah merancang sejumlah kegiatan untuk memfasilitasi anak-anak muda Surabaya.

“Kita akan menggelar lomba E-sport di tanggal 26 Juli 2024. Ada kompetisi dance dan DJ yang akan dilakukan di sini,” terang alumnus ITS tersebut.

Kemudian, menuju peresmian selanjutnya, Eri kini tengah melakukan penataan di beberapa titik untuk tenant-tenant makanan seperti street food hingga coffee shop.

Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa para pegiat komunitas di Surabaya pun bisa memanfaatkan potensi wisata Kota Lama Surabaya untuk melakukan kegiatan/aktivitas.

Kota Lama Surabaya cuma romantisasi minim edukasi

Di tengah konsep dan wacana Eri untuk Kota Lama Surabaya, wisata tersebut ternyata punya sisi minor yang jadi sorotan oleh Sejarawan dari Universitas Airlangga (UNAIR), yakni Dr. Sarkawi B.

Pada dasarnya Sarkawi menyambut baik atas revitalisasi gedung-gedung tua di Surabaya yang kemudian menjadi wisata Kota Lama. Daripada mangkrak dan tak berdaya guna, maka akan lebih baik jika dikelola.

Hanya saja, ada sisi minor yang menurut Sarkawi harus mendapat perhatian serius dari Eri. Agar wisata Kota Lama Surabaya tak hanya sebatas menjadi tempat romantisasi.

Kawasan wisata Kota Lama Surabaya. (Dok. Pemkot Surabaya)

Misalnya yang Sarkawi soroti adalah perihal penamaan jalan. Ia menilai, beberapa penamaan jalan di kawasan wisata tersebut cenderung bersifat chauvinisme. Ambil contoh Jembatan Merah yang kemudian mendapat tambahan nama jalan seperti di zaman Hindia-Belanda: Jl. Willemskade.

“Menurut saya itu terlalu berlebihan. Jadi itu namanya chauvinistis, seolah-olah menganggap masa lalu itu sesuatu yang baik luar biasa,” beber Sarkawai seperti Mojok kutip dari Ngopibareng.id.

“Lebih baik ditambah saja plang yang menceritakan jalan itu. Tahun sekian tempat itu misalnya jadi tempat perdagangan, mending dibuat seperti itu dibanding meromantisasi masa lalu,” sambungnya.

Begitu juga dengan pembagian zona (Eropa, Arab, dan Pecinan). Bagi Sarkawi, di masing-masing zona harus ada sisi edukasi kenapa kemudian mendapat label sabagai kawasan Eropa, Arab, atau Pecinan. Biar tidak terkesan membeda-bedakan antar ras.

Sebab, membeda-bedakan ras adalah tinggalan masa olonial yang seharusnya tidak diulang lagi di masa sekarang.

Baca halaman selanjutnya…

Bisa berakhir tak menarik lagi seperti Jalan Tunjungan 

Wujud Kebhinekaan

Beberapa hari sebelum soft launching, persisnya pada Minggu (23/6/2024), Irvan Wahyudrajad selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Surabaya sebenarnya sempat menjelaskan perihal pembagian zona di kawasan wisata Kota Lama Surabaya.

Konsep segregasi tersebut bertujuan agar kawasan tersebut bukan sekadar menjadi jujukan wisata saja. Akan tetapi juga sebagai tempat untuk mengingat kembali sejarah terbentuknya Kota Pahlawan, yang mana melibatkan berbagai etnis: Eropa, Arab, Tionghoa, Melayu, Jawa, dan Madura.

Dengan begitu, maka rasa gotong royong, toleransi, saling menghargai sesama, dan nilai Kebhinekaan warga Kota Surabaya akan semakin erat.

“Di sini, perbedaan bukan menjadi pemisah, melainkan kekuatan pemersatu yang melahirkan kekayaan budaya tak ternilai,” jelas Irvan dalam keterangan tertulisnya.

Khawatir berakhir seperti Jalan Tunjungan

Sebenarnya saat mendengar wacana pembuatan kawasan sejarah tersebut, Dipta (26) yang asli Kota Pahlawan cukup antusias. Karena selain Tugu Pahlawan, setidaknya ada satu kawasan lagi yang menggambarkan kuatnya nilai historisitas Kota Pahlawan.

Namun, dengan konsep yang Eri Cahyadi tawarkan, Dipta malah pesimis. Ia mulai khawatir kalau kawasan tersebut bakal menjadi kawasan romantisasi belaka.

“Yang datang ke sana nantinya bisa jadi hanya untuk foto-foto dan nongkrong-nongkrong saja. Nilai edukasinya nggak ada,” ungkap Dipta saat dihubungi, Minggu (30/6/2024).

Kawasan wisata Kota Lama Surabaya. (Dok. Pemkot Kota Pahlawan)

“Lebih buruk, bisa jadi cuma jadi ajang eksistensialis orang-orang Fomo. Dengan begitu, akan berakhir seperti Jalan Tunjungan yang kini semrawutnya bukan main,” sambungnya.

Dalam benak Dipta, sebenarnya ada sekian ekspektasi terhadap wisata baru tersebut. Namun, kata Dipta, kita tunggu saja nanti bakal berakhir seperti apa. Apakah menjadi wisata yang menawarkan aspek heritage sebagai medium edukasi, atus justru hanya romantisasi.

Intinya, jika kelak berakhir seperti Jalan Tunjungan, bukan tidak mungkin jika kawasan wisata tersebut malah menjadi tak menarik.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Bertahun-tahun Tinggal di Surabaya tapi Saya Ogah Naik Suroboyo Bus Karena Ribet dan Nggak Nyaman Blas

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version