Mojok menulis sejarah Dusun Menulis Jogja. Sebuah dusun yang terletak di Moyudan, Sleman. Jaraknya cukup dekat dengan kampung kelahiran Presiden Soeharto. Namun, nama unik dusun ini bukan karena presiden RI kedua itu.
***
Di Dusun Menulis Jogja tak ada tanda geliat dunia kepenulisan. Saat ini saja tidak ada Taman Baca Masyarakat (TBM) atau perpustakaan masyarakat di dusun itu. Keduanya, setidaknya jadi salah satu indikator gairah literasi di perkampungan.
Perjalanan menuju Dusun Menulis, Sumbersari, Moyudan, Sleman terasa gerah. Jika di musim hujan area barat Sleman yang penuh persawahan akan terasa adem dan segar, pertengahan musim kemarau ini hampir semua sawah yang saya lewati sudah dipanen. Menyisakan lumpur yang mengering.
Saya tiba di Dusun Menulis Jogja jelang tengah siang pada Rabu (12/6/2024). Perjalanan naik motor dari pusat Kota Jogja memakan waktu sekitar 30 menit.
Awalnya, saya mencoba berkeliling dari jalan raya hingga gang-gang perkampungan. Tidak terasa suasana atau tampak ciri khas khusus yang menunjukkan identitas dunia kepenulisan di dusun ini.
Alih-alih menulis, dusun ini barangkali lebih lekat dengan dunia pertanian. Di beberapa sudut gang, banyak padi yang sedang dijemur usai dipanen dari sawah.
Siang itu, kebanyakan orang yang saya lihat di teras-teras rumah merupakan lansia. Salah satunya adalah Dahono (77). Lelaki ini sedang duduk di teras rumahnya. Kedatangan saya yang tiba-tiba membuat ia langsung terhenyak dan beranjak dari duduknya.
“Cari apa Mas?” katanya yang tentu menggunakan bahasa Jawa.
Pertama-tama saya mencoba menanyakan nama dan letak rumah Pak Dusun. Dahono dengan cepat langsung memberikan koordinat detail.
Dusun Menulis Jogja ternyata berawal dari abdi dalem yang mengajar sastra
Lantas, saya pun bertanya mengenai asal-usul nama dusun ini. Ia mengaku tak tahu banyak. “Dari dulu, dari saya kecil lahir di sini namanya sudah Menulis,” kelakarnya.
“Di deket sini juga ada tempat namanya Nulisan. Jadi, orang sering keliru mana yang Nulisan dan mana yang Menulis,” imbuhnya tertawa, gigi ompongnya terlihat jelas.
Saya dan Dahono hanya berbincang singkat. Perjalanan lalu berlanjut ke rumah Pak Dusun Menulis Jogja bernama Hayu. Sayangnya, rumah yang pintunya terpasang penanda posko KKN UGM itu tampak sepi. Kata tetangga, mungkin ia sedang bertugas di Kantor Kalurahan Sumbersari.
Sesampainya di Kantor Kalurahan Sumbersari, ternyata Pak Dusun juga tidak tampak batang hidungnya. Beruntung, petugas di sana mengarahkan saya kepada orang lain yang cukup paham sejarah desa. Ia adalah Junaidi (47), Carik Kalurahan Sumbersari, Moyudan, Sleman.
Ia langsung manggut-manggut saat mendengar penjelasan informasi yang sedang saya dalami. Junaidi cukup paham mengenai sejarah Dusun Menulis Jogja di desanya.
Sejarah dusun ini bermula dari sosok Ki Sastro Wilogo, seorang pengikut setia Sri Sultan HB I. Menurut catatan dokumen merti desa, Ki Sastro Wilogo yang saat muda bernama Mas Potro, memiliki keahlian di bidang sastra dan bahasa.
Di masa senjanya, usai mengabdi pada Keraton Jogja, Ki Sastro Wilogo pamit supaya bisa hidup berdekatan dengan masyarakat. Ia lantas pergi ke arah barat. Dari Godean, Sleman agak selatan hingga memutuskan menetap di daerah yang kini bernama Dusun Menulis Jogja.
“Dan di sinilah, Ki Sastro Wilogo yang punya pemahaman seputar agama, sastra, dan bahasa itu mengajarkan kepada masyarakat mengenai baca tulis. Ceritanya, masyarakat banyak yang belajar ke tempatnya,” papar Junaidi.
Baca halaman selanjutnya…
Menelusuri makam Ki Sastro Wilogo alias Mbah Jengger
Menurut catatan sejarah, Ki Sastro Wilogo juga mengajarkan olah krido atau bela diri bagi masyarakat setempat. Cukup banyak ilmu yang ia bagikan bagi warga sekitar Dusun Menulis Jogja di zaman itu.
Tidak ada kegiatan khusus bidang menulis
Sejarah panjang itulah yang akhirnya membuat kawasan itu dinamai Dusun Menulis. Sosok Ki Sastro Wilogo juga punya sebutan populer lain yakni Mbah Jengger.
Selain riwayat sejarah itu, menurut Junaidi, tidak ada kekhususan tertentu soal tulis menulis di Dusun Menulis Jogja. Dulu sempat ada Kelompok Taman Baca Masyarakat (TBM) tapi kata dia sudah tidak lagi aktif saat ini.
“Kalau secara demografi warga kebanyakan petani. Itu zaman dulu. Sekarang banyak yang jadi buruh lepas, pedagang, sudah mulai macam-macam,” ungkap Junaidi.
Menurutnya, desanya juga sudah hampir lepas dari permasalahan buta huruf. Hanya tinggal sedikit yang tak bisa baca tulis. Termasuk di Dusun Menulis Jogja.
“Paling-paling hanya sisa sedikit banget yang masih buta huruf. Itu pun orang yang sudah tua-tua,” terangnya.
Meski tidak ada kekhususan dalam budaya tulis menulis, warga kini melestarikan peninggalan Ki Sastro Wilogo dengan membentuk bregada. Sebuah seni penampilan yang diadaptasi dari prajurit Keraton Yogyakarta.
“Sudah berjalan beberapa tahun ini. Kalau mau lihat langsung bukti sejarahnya njenengan bisa datang ke makam Mbah Jengger,” katanya.
Sebuah makam sederhana penanda awal eksistensi Dusun Menulis Jogja
Berbekal informasi arah dari Junaidi, saya tancap gas ke lokasi makam di dalam perkampungan. Sempat nyaris kesasar, beberapa warga menuntun saya ke tempat tersebut.
Salah satu warga yang menunjukkan detail lokasinya adalah Ratiman (53). Saat saya lewat ia sedang membantu tetangganya merenovasi rumah. Kebetulan sekali ia juga anggota Bregada Sastro Wilogo.
“Ya sudah sejak awal bregada didirikan, saya langsung gabung. Berprestasi lho Mas di tingkat kabupaten,” kata lelaki ini bersemangat.
Ratiman sempat menyampaikan harapannya supaya Bregada Sastro Wilogo bisa dapat bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki kostum mereka yang mulai usang. Pasalnya, dulu mereka membuatnya dengan modal iuran bersama.
“Depan itu pertigaan tinggal belok kanan, nanti makamnya kelihatan di pinggir jalan,” ujar Ratiman usai kami berbincang singkat.
Di tempat itu, berdiri sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat setidaknya tiga makam, di dalam dan di teras bangunan. Di sanalah, Ki Sastro Wilogo bersemayam.
Dusun Menulis Jogja cukup asri. Wilayahnya, dikelilingi sawah dan tegalan. Tak jauh dari dusun ini juga berdiri Museum Memorial HM Soeharto. Tepatnya di Desa Kemusuk yang jadi tempat kelahiran Presiden Kedua RI tersebut.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Kampung Ahli Sumur di Jogja yang Mendadak Ditinggal Laki-laki Usai Gempa 2006
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News